P3M.OR.ID. Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz menyebut pesantren seharusnya menjadi tempat yang memberikan kedamaian dan pendidikan yang berkualitas. Pesantren bukan tempat untuk kekerasan atau perundungan.
Hal tersebut dikatakan Kiai Abdul Hakim Mahfudz dalam Bahtsul Masail Nasional dalam rangka Haul ke-15 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Masyayikh Pesantren Tebuireng. “Kita harus menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang bagi para santri. Perundungan, apalagi yang berakhir dengan korban meninggal dunia, adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan,” jelasnya.
Sementara itu KH Achmad Roziqi, penasihat Pengurus Wilayah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur, mengingatkan bahwa pengurus pesantren memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi santri dari segala bentuk kekerasan, baik verbal, fisik, maupun sosial. “Pengurus pesantren harus memiliki peran aktif dalam mencegah terjadinya perundungan. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan hukum yang harus ditegakkan,” katanya.
Hasil Bahtsul Masail
Acara yang berlangsung pada 19-20 Desember 2024, di Pesantren Tebuireng, Jombang, dihadiri sebanyak 47 delegasi dari berbagai daerah. Di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Forum ini menghasilkan beberapa keputusan terkait perundungan yang terjadi pada santri tidak dibenarkan dengan pertimbangan berikut:
Pertama, Perundungan atau bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Kedua, Menurut pandangan syariat perundungan adalah tindakan merendahkan, meremehkan, dan mengolok-olok akan kekurangan yang dimiliki oleh korban.
Ketiga, Perundungan adalah perbuatan tercela yang diharamkan.
Keempat, Perundungan secara verbal dihukumi haram apabila korban merasa tersakiti. Jika tidak, seperti halnya orang yang sengaja menampakkan kekurangannya untuk bahan tertawaan maka hal tersebut merupakan bagian dari bercandaan yang diperbolehkan.
Kelima, Pengurus pesantren berkewajiban melaksanakan amanah berupa memberikan pendidikan dan menjaga keamanan santri.
Keenam, Pengurus pesantren berkewajiban melarang dan mencegah terjadinya perundungan serta memberikan edukasi akan bahaya perundungan.
Ketujuh, Menormalisasi adalah sikap pembiaran dan pembiasaan.
Lalu, jika perundungan berakibat kematian diputuskan bahwa dalam pandangan syariat, tanggung jawab atas tindakan yang menyebabkan kematian (qishash dan diyat) ditimpakan kepada pelaku (mubasyir). Oleh karena itu, pengurus tidak memiliki tanggung jawab secara syariat.
Adapun terkait hukum positif maka wajib mengikuti aturan yang berlaku. Sehingga Pesantren Tebuireng memberikan rekomendasi untuk mendorong pesantren-pesantren untuk mensosialisasikan bahaya perundungan. Serta, mendorong pesantren-pesantren untuk menerapkan sistem pendidikan ramah santri.
Data Perundungan
Berdasarkan data , jumlah kasus perundungan di Indonesia mengalami lonjakan signifikan. Tercatat sebanyak 293 kasus tercatat pada tahun 2024. Untuk itu pesantren, yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan moral, perundungan harusnya jarang terjadi. Namun kenyataannya masih sering terjadi dalam bentuk perploncoan atau kekerasan fisik dan verbal yang oleh para seniornya .
Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng, K.H. Ahmad Musta’in Syafi’i yang juga turut hadir berharap hasil Bahtsul Masail ini dapat menjadi langkah awal bagi pesantren-pesantren di Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih bagi santri, serta menghindari terjadinya perundungan yang dapat merugikan semua pihak. “Hasil dari Bahtsul Masail Nasional ini nantinya akan kami serahkan kepada pemerintah atau pengambil kebijakan melalui surat rekomendasi,” pungkasnya.