OpiniPilihan Editor

Apakah Kiai Membawa Perubahan Sosial?

626
×

Apakah Kiai Membawa Perubahan Sosial?

Sebarkan artikel ini
KH Abdurahman Wahid

P3M.OR.ID. Para agamawan sejak dahulu sering dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan. Karena tidak ada kemajuan tanpa perubahan, maka mudah saja tudingan jari diteruskan kepada mereka sebagai pihak yang menentang perubahan. Tanpa harus menjadi apologetik, kita dapat merasakan sikap itu dalam ungkapan ‘harus ada kelompok dinamis yang akan memulai modernisasi, walaupun masih ada keberatan dari mereka yang mempertahankan tradisi’. Modernisasi dihadapkan kepada tradisi, perubahan kepada status quo, dinamika pada keadaan statis. Upaya modernisasi dengan sendirinya adalah pengikisan sikap tradisional, ini adalah semboyan semua pemrakarsa modernisasi tanpa kecuali, termasuk di negeri kita di akhir dasawarsa enampuluhan dan awal dasawarsa tujuhpuluhan.

Bahwa kemudian terbukti kelompok-kelompok tradisional mampu mengemban amanat perubahan, seperti dilakukan oleh pondok pesantren di negeri kita melalui rintisan program pengembangan masyarakat sejak dasawarsa terakhir ini, lalu mengejukan orang. Sama terkejutnya orang dengan pemunculan tiba-tiba dari radikalisme kaum pendeta Katolik melalui teologi pembebasan yang dikembangkan di Amerika Latin, atau gradualisme gerakan Sarvodaya Shramadana di Sri Lanka. Pesantren, gereja Katolik, dan pendeta Buddha adalah simbol kebekuan dalam pandangan orang hingga belasan tahun yang lalu.

Dalam keheranan melihat perkembangan yang tak terduga sebelumnya itu, dilupakan bahwa gereja di Afrika Selatan adalah penggugat kewenangan-kewenangan rezim kulit putih dengan kebijakan apartheid-nya. Tokoh-tokoh gereja seperti Martin Luther King Jr. memimpin perjuangan anti-segregasi bangsa kulit berwarna di Amerika Serikat di paruh kedua tahun-tahun limapuluhan, juga dilupakan. Juga bahwa pemimpin-pemimpin agama seperti Vinoba Bhave yang memelopori landreform sukarela di India, sama sekali tidak pernah diingat lagi.

Di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, sering kali didapati kemampuan para pemimpin agama untuk merumuskan ajaran agama-agama baru yang membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat. Contoh terbaik dari kenyataan ini adalah Mahatma Gandhi, yang merumuskan persamaan melalui penentangan terhadap sistem kasta, dan menentang kebiadaban manusia melalui gerakan menentang kelaliman dengan tidak menggunakan kekerasan. Perlawanan tanpa kekerasan (civil disobedience) dan ajaran persamaan tanpa kasta itu bersumber sepenuhnya pada pembaharuan ajaran agama Hindu.

Tradisi untuk mempertahankan hak hidup sesuatu bangsa, bila ditempa dengan semangat keagamaan, juga dapat menimbulkan kekuatan dahsyat untuk melakukan perubahan. Contoh yang dapat diambil adala perjuangan Salahuddin al-Ayubi dalam sejarah Islam dan perjuangan panjang bangsa Yahudi untuk mempertahankan hak hidup mereka. Para rabbi Yahudi seperti Bar Kochba memperbaharui arti kehadiran sebagai manusia beragama dalam bentuk yang mendasar, di hadapan persekusi para prokonsul Romawi yang menjajah dan menjarahi tanah air mereka. Tradisi puputan di Bali, untuk menolak kehinaan menjadi bangsa terjajah tidak akan mungkin tumbuh jika tidak diberi motivasi oleh agama, sedangkan sekali ia menjadi tradisi maka ia mengubah sama sekali arti ajaran agama yang ada sebelumnya, berarti juga mengubah pengertian para pemeluknya atas kehidupan.

Namun, tidak seluruh perubahan yang dibawakan agama itu memiliki relevansi tinggi bagi kebutuhan masyarakat untuk mengangkat derajat dan martabat para warganya. Justru sebaliknya yang terjadi, seperti terlihat dari kasus rabbi Bar Kochba di kalangan bangsa Yahudi dan tradisi puputan di kalangan kaum Hindu di Bali. Perubahan arti kehidupan hanya terhenti pada penjagaan kemurnian corak kehidupan yang ada. Bukannya progresi atau kemajuan yang menjadi watak perubahan seperti itu, dan nilai-nilai emansipatoris dari perubahan yang dilakukan tidak muncul di permukaan maupun terpendam dalam jiwanya.

Perubahan yang dibawakan gerakan Martin Luther King Jr. untuk menuntut persamaan hak bagi kaum kulit berwarna memiliki emansipatoris, karenanya ia mampu mengangkat derajat mereka yang diperjuangkan itu. Demikian juga kerja pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, jelas memiliki watak emansipatoris, karena yang dituju adalah optimasi kemampuan mereka yang lemah dan miskin untuk mengembangkan sumber-sumber daya sendiri, dan dengan demikian membuat mereka mampu menentukan nasib sendiri. Gerakan Sarvodaya di Sri Lanka melakukan emansipasi nasib manusia melalui upaya kolektif dengan motivasi keagamaan untuk mengubah pola kehidupan yang sudah sedemikian lama mendera nasib mereka yang berada di lapisan terbawah kehidupan masyarakat. Kunci dari perubahan yang membawa makna baru bagi kehidupan itu adalah watak emansipatoris yang dimiliki upaya perubahan itu sendiri.

Sejauh yang dibicarakan dalam uraian di atas, kerja yang dilakukan adalah bersifat makro, dalam arti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan besar. Studi Lynn Compton atas gerakan Sarvodaya di Sri Lanka memperlihatkan dengan nyata, bahwa kolektivitas upaya yang dilakukan itulah menjamin sukses upaya perubahan emansipatoris yang dilakukan. Walaupun Gustavo Marino Guitierrez merumuskan teologi pembebasannya secara perorangan, namun tak dapat diingkari bahwa karyanya itu adalah kulminasi dari perdebatan cukup panjang yang dilalui gereja Katolik, semenjak para Paus berturut-turut mengeluarkan rangkaian ensiklik yang membela hak kaum buruh untuk mogok, hak untuk melawan pemerintahan yang lalim dan terutama penghargaan penuh atas martabat manusia. Martin Luther King Jr. memimpin gerakan massal yang menyangkut kegiatan kolektif ratusan ribu orang pada waktu yang sama. Memang Gandhi berangkat dari kegigihan perjuangannya sebagai individu di Afrika Selatan, sebelum memimpin gerakan luar biasa massal untuk menuntut kemerdekaan India dari tangan penjajah Inggris, namun dalam kenyataan sulit dibedakan mana yang merupakan pandangan pribadinya dan mana yang diterimanya secara kolektif dari lingkungan masyarakat yang dipimpinnya, selain ajaran ahimsa dan satyagraha, yang pada dirinya sudah lama terpendam pada khazanah spiritual agama Hindu selama berabad-abad.

Yang masih terasa sangat sedikit dilakukan hingga saat ini adalah kajian tentang perubahan pandangan hidup yang dilakukan oleh individu, atas dasar wawasan keagamaan. Kalaupun ada kajian seperti itu, maka hanya berkisar pada perubahan makro yang diinginkan individu tersebut, bukannya perubahan di lingkungan mikro yang dilakukannya dalam kapasitas perorangan. Contoh dari kecenderungan kajian pandangan makro ini adalah karya William Cleveland tentang Syakib Arslan, berjudul ‘Islam Against the West’. Dalam buku itu Cleveland melacak penolakan Arslan atas Nasioalisme Arab, yang dianggapnya kebangsaan sempit yang bertentangan dengan pandangannya yang Pan-Islamik. Kalaupun ada nasionalisme, seharusnya itu berbentuk nasionalisme Islam, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa muslim dari penjajahan Barat. Menurut lacakan yang dilakukan Cleveland, pandangan itu timbul dari kepentingan Arslan sendiri sebagai gubernur dan kemudian anggota Parlemen Imperium Turki Usmani (Ottoman Empire) di awal abad ini. Sebagai pejabat imperium Usmani, tentu ia harus menentang gerakan Nasionalisme Arab, yang justru ingin membebaskan diri dari belenggu penjajahan Turki.

Bagi Arslan, apa yang disebut Nasionalisme Arab sebagai ‘penjajahan Turki’, bukanlah penjajahan sama sekali. Ia adaah perwujudan pemerintah universal islami yang harus ditegakkan oleh kaum muslimin. Bahwa ia berpusat di Turki adalah kebetulan sejarah belaka, bukannya sesuatu yang prinsipil harus ditentang. Nasionalismenya yang Pan-Islamik itu akhirnya ditentang dan dikalahkan oleh Nasionalisme Arab dalam dasawarsa empatpuluhan, limapuluhan, dan enampuluhan, tetapi ia tidak mati sama sekali. Cleveland memperingatkan kita tentang munculnya kembali paham tersebut, terbukti dari pesatnya gerakan-gerakan fundamentalistik Islam di kawasan Timur Tengah. Ideologi-ideologi nasionalistik seperti Ba’athisme Irak dan Syria serta ideologi-ideologi internasionalistik seperti sosialisme, dalam pandangan mereka adalah pemikiran sekularistik yang harus dikikis habis dari benak kaum muslimin. Sebagai gantinya, mereka menyajikan gerakan mencapai ‘ masyarakat islami’ sebagai saluran perjuangan kaum muslimin. Kata itu bersifat menyeluruh. Bisa meliputi gagasan negara formal Islam (seperti Republik Islam Iran) maupun negara yang nominal disebut negara nasional tetapi dengan sistem pengaturan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang diterapkan Ja’far Nimeiry pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya di Sudan adalah contoh dari negara nasional seperti itu.

Memang menarik untuk melihat bagaimana pemikir-pemikir dan para aktivis agama melontarkan gagasan-gagasan makro seperti dicontohkan di atas. Pemikiran yang mereka ajukan dapat menggoncangkan dunia, dan mampu mengubah jalannya sejarah di berbagai kawasan. Sejak zaman para filosof purba manusia telah berbuat demikian, tidak terkecuali para teolog dan tokoh-tokoh agama. Untuk menyebutkan beberapa nama saja: Santo Agustinus dengan civitas dei-nya, al-Mawardi dengan al-Ahkam al-Sultaniyah-nya, dan kini Khomeini dengan konsepnya tentang velayat-i-fageeh (Pemerintahan Ulama) yang sekarang diterapkan di Iran.

Namun, betapa besarnya pun goncangan yang diakibatkannya, dan betapa berubahnya jalan sejarah di suatu negeri dibuatnya, pemikiran-pemikiran seperti itu pada dirinya tidak menggambarkan secara kongkret jalannya proses perubahan hidup yang terjadi. Skalanya yang terlalu masif dan perubahannya yang terlalu cepat membuat sulit dipelajari proses bagaimana pemikiran perorangan secara makro itu mengubah keadaan. Tugas untuk menangkap jalannya proses seperti itu selayaknyalah dipikul oleh antropologi. Pembedahan yang dilakukannya atas perubahan pandangan hidup yang berlangsung, akan menjelaskan secara rinci kepada kita bagaimana proses itu berlangsung secara klinis, kalaupun tidak historis. Dengan sendirinya, hal ini mengharuskan pengambilan obyek kajian yang bersifat mikro. Bagaimanakah pemikiran keagamaan secara mikro mengakibatkan perubahan pandangan hidup suatu kelompok? Sudah tentu paling tepat jika yang ditangkap sebagai pembawa perubahan (change agent) adalah pemuka dari lingkungan kelompok tersebut.

Karya Horikoshi yang berada di tangan pembaca kali ini adalah upaya seperti itu. Dicoba oleh penulisnya untuk menampilkan ajengan/kiai Yusuf Tajri dari Cipari, sebagai pembawa perubahan dalam pandangan hidup lingkungannya. Penelitian lapangan yang dilakukan Horikoshi menunjukkan adanya kemampuan individual ulama yang satu ini untuk melakukan perubahan sosial, di saat-saat yang paling sulit bagi kehidupan masyarakat di daerahnya, yaitu masa pemberontakan DI-TII masih merajalela. Daerah Garut di Jawa Barat, letak desa Cipari, adalah kabupaten paling menderita dan paling lama terkena akibat pemberontakan tersebut, dengan begitu banyak ulama menjadi korban keganasannya dan cukup banyak jumlah ulama yang terpengaruh dan mendukung pemberontakan itu sendiri.

Dengan latar belakang kawasan sulit itu, penelitian yang dilakukan Horikoshi menyembulkan beberapa kesimpulan yang penting untuk menangkap jalannya proses perubahan yang dibawakan oleh pandangan hidup tradisional ke arah modernitas hidup dengan watak emansipatoris. Pembuktian yang dilakukannya cukup menarik dan uraian deskriptif yang dituangkannya dari data-data lapangan juga menampakkan ketelitian kerjanya dalam menggali perubahan pandangan hidup yang dibawakan tokoh yang ditelitinya itu. Sebagai karya rintisan, metodologi penelitian yang digunakannya juga cukup kokoh, walaupun tidak spektakuler temuan-temuannya, seperti yang dihasilkan penelitian Clifford Geertz atas kelompok-kelompok ‘agama Jawa‘ di Mojokuto, Jawa Timur, dalam dasawarsa limapuluhan.

Dengan penelitiannya, Horikoshi memperbaiki teori Geertz, tentang peranan kiai sebagai ‘makelar budaya’ (cultural broker) menurut Geertz, kiai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Namun, menurut Geertz, peranan penyaring itu akan macet, manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin disaring lagi oleh sang kiai. Dalam keadaan demikian, kiai akan kehilangan peranan dalam perubahan sosial yang terjadi. Akibat peranannya yang sekunder dan tidak kreatif, kiai akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan masyarakat sekitarnya.

Menurut Horikoshi, penelitiannya tentang kiai Yusuf Tajri menunjukkan bahwa kiai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Bukan karena sang kiai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru karena memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Ia bukan kurang berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan informasi, melainkan ia sepenuhnya berperan karena ia mengerti bahwa perubahan sosial adalah perkembangan yang tak terelakkan lagi. Masalah yang dihadapinya adalah bagaimana kebutuhan akan perubahan itu dapat dipenuhi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial yang telah ada, melainkan justru dengan memanfaatkan ikatan-ikatan itu sebagai mekanisme perubahan sosial yang diinginkan. Masalah klasik yang dihadapi siapa pun, termasuk para negarawan agung seperti Jawaharlal Nehru, dan tokoh-tokoh agama tidak merupakan perkecualian dalam hal ini. Bahkan setiap agama besar memiliki tradisi menjaga kontinuitas sosial seperti itu, seperti dicontohkan oleh kaidah hukum agama (qa’idah fiqhiyyah) berikut dalam Islam: al-muhafazhatu ‘alal qadimis salih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara yang baik dari tradisi lama, dan mengambil yang lebih baik dari perubahan baru).

Ilmu-ilmu agama Islam digunakan secara kreatif untuk melakukan antisipasi terhadap kebutuhan akan perubahan, di samping sebagai alat penentu mana bagian esensial dari kehidupan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan harus tetap dipertahankan. Fiqh atau hukum agama merupakan alat utama untuk antisipasi seperti itu. Ketika kebutuhan akan perencanaan jumlah anggota keluarga, yang dibawakan baik oleh kebutuhan ekonomis maupun oleh kecenderungan kultural dari masyarakat yang hidupnya semakin canggih, fiqh menawarkan jalan keluar. Dalam karya agung Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, ditetapkan sejak seribuan tahun yang lalu, bahwa coitus interuptus (ejakulasi di luar vagina di waktu senggama) diperbolehkan, jika diminta oleh istri yang takut hilang kecantikan fisiknya bila mempunyai banyak anak. Kalau untuk kebutuhan begitu sepele dan perorangan saja praktik itu diperkenankan, tentu bagi tujuan lebih mulia (menyediakan kemungkinan pendidikan lebih baik bagi anak-anak yang akan dilahirkan, dan sebagainya) lebih utama lagi untuk diperkenankan. Dan kalau penggunaan coitus interuptus diperkenankan sebagai cara menjarangkan kelahiran anak, penggunaan cara lain yang sebanding tentu juga diperkenankan, seperti penggunaan kondom, pil (sepanjang tidak membawa akibat sampingan negatif) dan susuk. Betapapun terbatasnya, perubahan pandangan telah terjadi, dan hal-hal seperti itu secara akumulatif akan membawa perubahan pandangan hidup masyarakat, jika berlangsung dalam skala luas.

Tafsir al-Qur’an juga dapat difungsikan untuk melakukan perubahan. Dalam kasus perencanaan jumlah anggota keluarga seperti disinggung di atas, sebuah firman Allah sangat dominan kedudukannya: wa la taqtulu awladakum khasyata imlaq (dan janganlah kalian bunuhi anak-anak kalian, karena takut melarat). Dalam penafsiran yang antisipatif terhadap perubahan pandangan hidup masyarakat, arti ‘jangan kalian bunuhi anak-anak kalian’ justru melarang orang begitu saja beranak tanpa perhitungan, sehingga terpaksa nantinya membiarkan anak-anak yang dihasilkan tanpa perlindungan cukup terhadap malnutrisi, imunisasi dan pemeliharaan kesehatan anak yang memadai, karena semuanya akan mengakibatkan angka kematian bayi dan anak-anak rata-rata yang tinggi. Begitu juga, hadis Nabi Muhammad “kawinlah dan berbanyak-banyak anaklah kalian, (karena) aku akan berbangga dengan kalian (di hadapan) umat-umat lain pada hari kiamat kelak” sekarang ditafsirkan secara kualitatif: bukan jumlahnya yang penting, tetapi mutu umat yang dimaksudkan hadis itu untuk dibanggakan. Hadis lain yang mengalami penafsiran ulang untuk antisipasi perubahan pandangan berbunyi “kawinilah (wanita) yang banyak anak, dan pecinta”. Menurut penafsiran ulang tersebut, perkawinan haruslah didasarkan atas keseimbangan optimal antara jumlah anak dan kemampuan ibu mengasuh anak-anaknya. Kalau keseimbangan itu tidak dijaga, kecintaan ibu kepada anak-anaknya tidak tersalurkan secara optimal, mengingat terbatasnya waktu asuhan bagi masing-masing anak.

Namun, yang paling memungkinkan penggunaannya bagi alat antisipasi terhadap kebutuhan akan perubahan pandangan hidup adalah ajaran akhlak atau moralitas individu maupun kolektif dari masyarakat. Ajaran akhlak senantiasa bersifat praktis, dalam arti langsung dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat oleh para warganya. Dalam lingkungan moral yang sepenuhnya berorientasi kepada aspek-aspek normatif yang baku, sudah tentu sulit dilakukan antisipasi kebutuhan akan perubahan pandangan hidup. Namun dalam ajaran akhlak yang berwatak antisipatif terhadap kebutuhan perubahan pandangan itu, terdapat sejumlah prinsip yang secara lentur akan mengarahkan warga masyarakat kepada perubahan itu sendiri. Contohnya adalah prinsip membawa manfaat. Prinsip inilah yang senantiasa menjaga, agar reaksi-reaksi sesaat yang umumnya negatif terhadap gagasan dan gaya baru dalam kehidupan, justru tidak mematikannya. Reaksi keras terhadap rambut gondrong dalam dasawarsa tujuhpuluhan dihadapkan kepada kenyataan mereka yang berprestasi tinggi dalam studi dan pekerjaan sering kali adalah mereka yang memiliki potongan rambut yang gondrong.

Dengan menampilkan sosok tokoh agama seperti kiai Yusuf Tajri dari Cipari ini, Horikoshi telah mampu melakukan sebuah kerja besar, yaitu menangkap proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara tepat. Perubahan sosial terjadi dalam tradisi, bukan atas dirinya. Betapapun tradisionalnya suatu masyarakat, ia memiliki kemampuan melakukan perubahan atas pandangan hidupnya. Jika tidak demikian, masyarakat itu sudah mati sejak dini, seperti terbukti dari banyak perkembangan masyarakat. Masyarakat modern mana pun, bila diukur dari zamannya sendiri, juga akan mengalami kematian manakala ia dihinggapi kebekuan dan tidak mampu menampung kebutuhan akan perubahan pandangan hidup. Sebaliknya, masyarakat tradisional yang berumur ribuan tahun masih dapat bertahan di panggung sejarah, karena kemampuan melakukan perubahan sosial dalam dirinya. Tesis ini sering kali dilupakan orang dalam meneliti perkembangan suatu masyarakat. Dengan mudahnya lalu dilontarkan generalisasi seperti ’memudarnya masyarakat tradisional’ (D. Lerner).

Dengan munculnya kajian-kajian seperti dilakukan Horikoshi atas perilaku tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga tradisional ini, cakrawala kita tentang perubahan sosial juga menjadi lebih luas. Kita tidak hanya terjebak oleh kesimpulan-kesimpulan klise yang digarap dari penelitian rutin belaka, melainkan akan mampu merambah sudut pandangan baru dalam memahami proses perubahan sosial, terutama pada tahap lapangan dan dalam skala mikro. Jika ini yang kita ambil sebagai hikmah dalam membaca karya ini, rasa-rasanya pentinglah arti penelitian yang dilakukan Horikoshi. Itu pun kalau ia tidak menghasilkan temuan-temuan sangat berharga, seperti kritiknya atas teori makelar budayanya Clifford Geertz.

Bagi kalangan pesantren, kajian Horikoshi ini memiliki arti khusus. Zamakhsyari Dhofier telah merintis kajian tentang pesantren dari sudut tradisi keilmuannya. Sidney Jones menelusuri (dalam penelitian yang hasilnya belum juga kunjung diterbitkan hingga saat ini) pola-pola hubungan sosiologis pesantren, dalam kaitannya dengan ikatan-ikatan patron-klien yang demikian dominan di masyarakat Jawa. Horikoshi menampilkan dampak peranan pemimpin pesantren atas proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Saat kata pengantar ini ditulis, Bambang Pranowo sedang meneliti berlangsungnya proses rekonsiliasi antara ajaran agama dan budaya lokal, yang dilakukan oleh pesantren dan tokoh-tokohnya. Kesemuanya itu adalah upaya pembedahan anatomi kehidupan tradisional di pesantren, yang dihadapkan kepada tantangan modernisasi dari luar. Berbahagialah kita yang memperoleh peluang mencernakan itu semua.

KH Abdurahman Wahid

( Tulisan ini diambil dari buku Kyai dan Perubahan Sosial karya Hiroko Horikoshi, Penerbit Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, Desember 1987)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *