Selamat Idul Fitri 1446H
ArtikelPilihan Editor

Tajdid: Adakah Suatu Kemestian?

39
×

Tajdid: Adakah Suatu Kemestian?

Sebarkan artikel ini
tajdid
ilustrasi
Tajdid
KH Ali Yafie

P3M.OR.ID. Apabila kita mengamati kehidupan ini, di mana kita berada di dalamnya dan merupakan bagian daripadanya, maka jelas nampak bahwa gerak dan dinamika (al harakah wan nasyath) merupakan cirinya yang sangat nyata. Dari gerak dan dinamika ini, timbullah perubahan dan perkembangan dari suatu tahap ke tahap yang lain dan dari suatu warna ke warna yang lain dalam dimensi ruang dan waktu secara terus menerus tanpa henti. Sesuatu agama dapat berfungsi dan terasa dibutuhkan dalam kehidupan yang demikian keadaannya, jika di dalam agama itu ada ruang bagi gerak dan dinamika kehidupan yang digambarkan di atas.

Demikianlah halnya agama Islam, sekalipun ia terbangun di atas pondasi-pondasi yang tertanam kukuh dan tetap, dan hakekat-hakekat kebenaran yang abadi, namun ia penuh dengan kehidupan dan dinamika yang menjadikannya mampu membimbing kehidupan manusia yang bergerak dan berubah terus dari masa ke masa, serta berkembang dari suatu keadaan kepada keadaan lain sepanjang perjalanan sejarahnya. Berbeda dengan anggapan sementara orang di dalam dan di luar Islam yang memandang agama ini hanya sebagai suatu wujud peradaban manusia di zaman tertentu, yang pada zaman sekarang ini tinggal puing-puing historis dan tidak mempunyai relevansi dengan kenyataan hidup yang sedang berkembang dewasa ini.

Agama Islam adalah agama yang hidup sekaligus merupakan agama yang abadi. Ia hidup seperti halnya dengan kehidupan itu sendiri, dan abadi seperti abadinya hakekat dan hukum yang menguasai kehidupan dari semesta alam ini. Di sinilah terletak pengertian inti tentang kesempurnaan agama Islam yang dijelaskan dalam Qur’an (Terjemahannya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agamamu, dan telah Kucukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan telah Kurestui Islam itu menjadi agama kalian…” (Q.S. Al Maidah, ayat 3). Dalam diri agama Islam itu terpadu antara kesempurnaan, asas-asas kepercayaan dan bimbingan keagamaan, nilai-nilai dasar moral, dan patokan-patokan norma tata kehidupan, sehingga kebutuhan beragama bagi manusia sudah tercukupi dengan Islam ini sepanjang masa, di samping adanya di dalam Islam itu ruang yang cukup luas bagi gerak dan perkembangan yang menjadi ciri kehidupan itu sendiri. Dan di dalam hal yang disebutkan terakhir ini terkait masalah “tajdid” atau “pembaharuan” yang ingin kita soroti lebih jauh.

II

Dunia pesantren dalam rangka kajian Ahlu Sunnah wal Jama’ah, telah mengenal adanya konsepsi “tajdid”, dan sejarah Islam telah mencatat tampilnya banyak tokoh-tokoh pelaku tajdid (mujaddid) dari kurun ke kurun waktu sepanjang sejarah itu. Kenyataan ini merupakan pembenaran dari apa yang secara dini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW (Bahwa Allah menampilkan pada kurun tiap abad, pembaharu bagi ummat ini dalam urusan agamanya) (H.R. Sunan Abi Daud). Tampilnya mujaddid (pembaharu) yang silih berganti dari waktu ke waktu secara berkesinambungan merupakan pertanda adanya dinamika yang besar dalam Islam itu sendiri, sekaligus menggambarkan pula banyaknya tantangan yang silih berganti dihadapinya. Tantangan ini tidak terbatas pada yang bersifat lahiriyah saja berupa kesulitan-kesulitan dalam perjuangan fisik yang berhubungan dengan gerakan penyampaian dakwah, dan upaya pembinaan ummat dalam rangka pembangunan masyarakat yang dicita-citakan (khaira ummah), bahkan—mungkin ini lebih berat—ialah tantangan batin yang bergumul di dalam hati dan jiwa setiap mukmin, yaitu godaan atau tekanan yang dihadapinya; oleh karena setiap detik dapat timbul bisikan-bisikan dalam hati, merongrong iman yang sedang tumbuh dan berkembang dalam jiwa kita. Dalam hubungan ini dapat kita fahami salah satu petunjuk Rasulullah SAW (Supaya kita senantiasa memperbaharui iman kita) (H.R. Ahmad, An Nasai, Al Hakim).

Dari gambaran sepintas yang diuraikan di atas terlihat adanya dua sisi dari tajdid dalam kehidupan beragama di dalam Islam, yaitu sisi defensif, dan sisi ofensif. Sisinya yang pertama adalah untuk memelihara dan mempertahankan kemurnian ajarannya, dan sisinya yang kedua adalah untuk memberi ruang gerak bagi dinamika kehidupan dalam rangka penerapan asas-asas kepercayaan dan bimbingan keagamaan, nilai-nilai dasar moral keagamaan, dan patokan-patokan norma keagamaan dalam tata kehidupan. Di sinilah berperan lembaga ijtihad yang merupakan sarana dan sekaligus sebagai pengendali gerak masyarakat dan dinamika kehidupan, supaya tetap berada dalam prinsip dan pola kehidupan beragama (Islam).

III

Rasulullah SAW dan para penerus ajarannya, dengan agama Islam itu mereka telah berhasil melaksanakan suatu perubahan besar dan pembaharuan total atas kondisi ummat manusia dari tingkat kehidupan jahiliyah, yang penuh keonaran, kesesatan, keterbelakangan, dan kekejaman, kepada suatu tingkat kehidupan “khaira ummah”, yang memiliki karakteristik: Keimanan yang kuat – Akhlak yang mulia – Ilmu pengetahuan yang luas – rasa persaudaraan yang mantap dalam persatuan. Maka Islam sebagai agama telah menjiwai, mengarahkan dan membimbing kehidupan masyarakat manusia di tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa). Dan Islam sebagai budaya telah menggantikan kebesaran Romawi dan Parsi.

Dalam proses kelanjutannya di mana timbul berbagai faktor internal dan eksternal yang pada gilirannya ummat Islam menjadi kehilangan sifat-sifat karakteristiknya sebagaimana yang disebutkan di atas, berbarengan dengan kebangkitan dunia Barat yang mampu menangkap jiwa pembaharuan Islam dalam suatu proses sejarah yang cukup lama, dapat membangun suatu pembaharuan total dengan melepaskan belenggu gereja atas kehidupannya, yang ketika itu menyebabkan keterbelakangannya dan ketinggalannya dari kemajuan yang sudah dinikmati dunia Timur (Islam) di abad pertengahan; lalu mereka membangun suatu modernisasi yang berciri rasionalisme (serba dasar akal), sekularisme (pemisahan agama dari sistem sosial), materialisme (pandangan hidup serba benda), dan berujung kepada ateisme (pengingkaran terhadap Tuhan). Dari pembaharuan total tersebut muncul suatu kekuatan yang dahsyat, yaitu kekuatan teknologi yang didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Mitos modernisasi Barat kemudian menguasai pandangan dunia sejak abad ke-17 Masehi sampai sekarang.

Dunia Timur di bawah kekuasaan penjajahan Barat beberapa abad terakhir ini, dalam menghadapi pengaruh dan tekanan modernisasi Barat terbagi dalam tiga golongan dengan sikap yang berbeda: Pertama, ialah mereka yang menutup diri dari pengaruh modernisasi Barat itu dan memandangnya sebagai bahaya mutlak yang mengancam Islam. Kedua, ialah mereka yang membuka diri terhadap modernisasi Barat itu, dan menganggapnya sebagai satu-satunya kunci kemajuan. Ketiga, ialah mereka yang menerima modernisasi Barat itu secara terbatas, dengan sikap selektif menyaring mana yang baik dan bermanfaat untuk diambil dan digunakan, dan mana yang buruk dan berbahaya supaya dihindari dan ditinggalkan.

Isu pembaharuan dalam bentuk modernisasi Barat tersebut, mempunyai pengaruh yang nyata dalam merubah alur konsepsi tajdid yang dikenal dalam ajaran Islam. Keadaan seperti itulah yang berkembang pada dua abad terakhir ini di dunia Islam.

IV

Dari gambaran yang diungkapkan di atas, maka terlihat adanya kebutuhan pokok bagi ummat Islam, untuk meluruskan pengertiannya tentang “pembaharuan” itu, dan melihatnya serta mendudukkannya dalam konteks ajaran “tajdid” yang sudah dikenal sejak semula dalam ajaran Islam itu sendiri.

Islam tidak menolak pembaharuan, bahkan ialah yang mengaktualkan pembaharuan itu sejak semula kehadirannya di abad ke-7 Masehi. Dari para pelaku pembaharuan (mujaddid) dalam dunia Islam yang muncul silih berganti dari abad ke abad, telah melakukan pembaharuan di segala macam bidang kehidupan yang menyangkut kebutuhan yang berkembang dalam masyarakatnya. (Fat-hul Qadir II/282).

Pembaharuan dalam kehidupan beragama (tajdid) yang menjadi kebutuhan ummat Islam dewasa ini, harus bertitik tolak dari tajdidul iman, untuk membangkitkan semangat kemandirian yang akan memberikan arti bagi kemerdekaan yang telah kita capai dan kebebasan yang telah kita nikmati seusai berlalunya masa penjajahan Barat di tanah air kita. Sisa-sisa mental ketergantungan kepada dunia Barat harus cepat-cepat dikikis dari alam fikiran kita. Kepercayaan akan kemampuan Islam memberikan dasar moral yang kuat bagi suatu kehidupan yang maju, melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya, perlu kita pupuk suburkan dalam menjiwai pembangunan kita.

Tajdid merupakan upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial, untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat, dengan berpegang pada dasar-dasar (ushul) yang sudah diletakkan oleh agama itu, melalui proses pemurnian yang dinamis.

Jadi tajdid yang kita maksudkan bukan berarti mengganti ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya yang bersifat mutlak, fundamental, dan universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan yang otentik (qath’iyyat). Tetapi tajdid itu mempunyai ruang gerak yang cukup luas dalam hal memperbaharui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi dan melakukan re-passing atas ajaran-ajaran agama itu, yang berada di luar wilayah qath’iyyat, yaitu ketentuan-ketentuan yang sifatnya zhanniyyat yang menjadi wilayah kajian ijtihad.
Kemajuan budaya ummat manusia dewasa ini, seperti perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan kemajuan teknologi yang serba canggih, menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan kita. Maka menghadapi gejala yang demikian itu, wilayah garapan tajdid menjadi luas dan mencakup banyak masalah, baik sifatnya syar’iyah (pemahaman dan penerapan hukum), atau ilmiyah (penyesuaian antara kepercayaan yang ada dengan hasil-hasil penemuan yang sudah mantap), maupun yang sifatnya ijtima’iyah (dalam bentuk tatanan masyarakat atau pelayanannya).

Dalam upaya mencapai tujuan tajdid itu, haruslah senantiasa diperhatikan penyelamatan dan perlindungan atas sifat-sifat karakteristik “khaira ummah” dengan jalan menjaga dan memelihara ummat dari erosi iman, kemiskinan ilmu, dekadensi moral, dan krisis ukhuwwah yang memperlemah persatuan.

Untuk lebih memahami makna tajdid itu, perlu ada pembedaan antara upaya pembaharuan yang lebih bersifat teknis dalam hal-hal kemasyarakatan dan keduniawian (seperti masalah-masalah ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, dan lain sebagainya) yang tidak langsung menyangkut asas-asas keimanan dan norma-norma dasar yang sudah ditentukan secara pasti dalam ajaran agama (Islam). Pembaharuan seperti tersebut di atas, disebut tajdid ‘urfi di mana penalaran manusia mempunyai kebebasan yang luas sekali untuk menggarapnya dan mengembangkannya. Berbeda halnya dengan pembaharuan yang ada kaitannya secara langsung dengan asas-asas keimanan dan norma-norma dasar yang sudah ditetapkan secara pasti dalam ajaran agama itu, yang membentuk sistem keyakinan dan hukum syari’at (seperti masalah halal-haram, keabsahan menurut agama dan lain sebagainya). Pembaharuan di bidang ini disebut tajdid syar’i, di mana penalaran diberikan kebebasan dalam batas-batas kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan ushul fiqh, untuk mencapai hasil penemuan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam keyakinan keagamaan. Dalam bidang inilah terkait fungsi para mujtahidin.

V

Para pelaku tajdid (mujaddid) itu, termasuk dalam kategori mujtahidin dalam arti yang luas, meskipun tidak selalu setaraf dengan mujtahid mutlak seperti Imam-imam mujtahidin para peletak dasar mazhab-mazhab hukum Islam yang terkenal semacam Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun para mujaddid itu mempunyai citra ketokohan ilmiyah dan amaliyah, seperti:
Penguasaan yang luas dan mendalam terhadap ilmu-ilmu keislaman. Semangat yang tinggi dan budi yang luhur untuk membela, mempertahankan, dan mengembangkan agama dan kepentingan ummat Islam, serta taat beragama. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang masyarakatnya dan lingkungannya. Mempunyai integritas moral dan sikap mental yang baik, yang oleh karenanya ia memperoleh kepercayaan dari masyarakat Islam.

Citra mujaddid yang sudah dikenal luas dalam dunia Islam dan memperoleh pengakuan dari hampir semua kalangan kaum Muslimin seluruh dunia antara lain adalah: Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, Imam-imam mujtahidin (Abu Hanifah, Malik, Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal), Imam al-Asy’ari, Imam al-Ghazali.

Dalam penampilan tokoh-tokoh tersebut di atas, tidaklah mengurangi penghargaan kita kepada para pelaku tajdid (mujaddid) lainnya yang dari masa ke masa bermunculan di panggung sejarah Islam, mulai dari abad pertama sampai abad kelima belas sekarang, dengan peranannya masing-masing di dalam masyarakatnya.

Selanjutnya kehadiran organisasi-organisasi Islam dan lembaga-lembaga lainnya yang bergerak di berbagai macam bidang kehidupan ummat Islam dalam rangka menjawab tantangan zamannya dan memenuhi kebutuhan ummatnya, semuanya itu merupakan juga bagian dari perwujudan makna tajdid di zaman modern sekarang ini.

Ummat Islam yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia, sedang terlibat dalam kancah pembangunan besar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya sebagaimana digambarkan dalam mukadimah UUD 45. Tentunya upaya besar ini tidak dapat dilepaskan dari langkah-langkah pembaharuan di segala bidang kehidupan, untuk mengikis sisa-sisa mental dan praktek penjajahan dan membangun serta mengembangkan mental baru dan praktek kehidupan yang bebas dan terhormat. Maka untuk menjiwai upaya besar ini pembaharuan dalam kehidupan beragama yang mengembangkan makna tajdid yang sesungguhnya bersifat rehabilitatif, korektif, dan renovatif menjadi suatu kebutuhan yang nyata, untuk memberikan dasar moral yang kuat dan motivasi kegiatan yang tinggi bagi lajunya pembangunan di tanah air Indonesia ini, yang merupakan amanah dari Allah di atas pundak kita semua.

Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Pesantren No.1/VOL/1988

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *