P3M.OR.ID. Pengunaan bahasa agama sangat penting dalam mendorong pelestarian lingkungan secara global. Pendekatan berbasis agama dapat menembus sekat-sekat perbedaan keyakinan demi tujuan bersama.
“Jika kita ingin memperbaiki lingkungan, kita harus menggunakan bahasa agama. Diplomasi agama adalah salah satu cara yang kami dorong agar pelestarian lingkungan menjadi agenda bersama lintas keyakinan,” ujar Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar. Hal tersebut disampaikan oleh Menag dalam acara Bali Interfaith Movement di Denpasar, Sabtu (14/12).
Menag juga memperkenalkan konsep green theology atau eco-theology. Menurutnya pendekatan teologis yang menghubungkan nilai-nilai agama dengan pelestarian lingkungan. Menag menyebut peran agama tidak hanya terbatas pada ritual ibadah, tetapi juga dapat menginspirasi aksi nyata untuk menjaga bumi sebagai amanah ilahi. “Segala sesuatu harus kembali ke teologi. Kami memperkenalkan green theology sebagai cara untuk menjawab tantangan lingkungan yang semakin kritis,” jelasnya.
Menurut Menag, narasi spiritual (mythos) memiliki peran penting dalam membahas isu-isu lingkungan seperti polusi dan kerusakan sosial. Untuk itu, lanjutnya, pendekatan yang mengedepankan rasa hormat terhadap tradisi agama lain dapat membangun solidaritas yang kuat, terutama dalam menghadapi isu global seperti krisis lingkungan.
Green Theoogy
Kiai Nasaruddin juga mengajak organisasi keagamaan, dan masyarakat umum untuk berperan aktif dalam mempromosikan green theology. Menag sanggat optimis, pendekatan ini mampu menyatukan umat manusia demi masa depan bumi yang lebih baik. “Jika kita bekerja dengan hati, tidak ada yang membedakan kita. Semua agama pasti mendukung kebaikan, termasuk menjaga lingkungan,” tegas Menag.
Selain itu Menag menyampaikan pendekatan berbasis agama dapat menembus sekat-sekat perbedaan keyakinan demi tujuan bersama. Dirinya mencontohkan penerapan diplomasi agama di Masjid Istiqlal, Jakarta, yang secara rutin menerima kunjungan 40 duta besar dari berbagai negara. Dalam kunjungan tersebut, Masjid Istiqlal berbagi pengalaman mengenai pengelolaan isu lintas agama melalui pendekatan religius. “Kami mencoba mempromosikan apa yang disebut sebagai diplomasi agama. Bahasa agama mampu menembus batas keyakinan, karena bagi kami, kemanusiaan itu satu. Tidak ada yang lain,” kata Nasaruddin.
Menurutnya, diplomasi formal sering kali terbatas oleh protokol dan kepentingan politik. Sebaliknya, pendekatan berbasis agama lebih inklusif dan mampu menyentuh nilai-nilai universal seperti kemanusiaan dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan.