Selamat Idul Fitri 1446H
OpiniPilihan Editor

Mempertimbangkan Tradisi Keilmuan Baru di Pesantren

352
×

Mempertimbangkan Tradisi Keilmuan Baru di Pesantren

Sebarkan artikel ini
KH. Masdar F. Mas`udi
KH Masdar Farid Mas’udi

P3M.OR.ID. Beberapa tahun  belakangan, perlahan-lahan kita menyaksikan tumbuhnya fenomena baru di kalangan pesantren yang dikenal dengan “halqah”. Secara harfiyah berarti lingkaran, atau duduk melingkah. Halqah merupakan suatu kegiatan keilmuan yang diikuti oleh sejumlah kiai untuk membahas masalah agama, atau masalah tertentu dilihat dari sudut pandang agama.

Cukup menarik, bahwa kegiatan yang relatif baru ini segera mendapatkan tempat yang layak dalam daftar kegiatan pondok-pondok pesantren. Tidak sedikit di antara mereka yang dalam kalender resminya mencantumkan “halqah” sebagai salah satu mata kegiatan, bergabung dengan acara baku tahunan seperti khataman, haul, mauludan, dan sebagainya.
Berbeda dengan forum-forum keilmuan pesantren yang dikenal dengan sebutan “pengajian”, kegiatan keilmuan dalam halqah ini agaknya lebih pas disebut dengan “kajian” atau “pengakajian”. Dekat dengan “pengajian”, istilah ‘kajan” menunjuk pada muatan (maddah) pokok bahasan yang relatif kontemporer (mu’ashirah) dan dengan cara (thariqah) penghampiran dan pembahasan uang katakanlah “akademis”.
Pengajian lazimnya merupakan aktivitas keilmuan yang mengacu pada muatan atau materi pengetahuan normatif yang sudah baku atau dibekukan. Tujuan utamanya adalah pemindahan (transfer) pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikut; atau dalam level individu, dan seorang guru kepada seorang atau sejumlah muris, sehingga terjadi apa yang kita sebut kesinambungan wacana, ajaran dan tradisi.
Pengajian mengasumsikan pengetahuan sebagai suatu fakta yang secara substantif sudah jadi, sudah selesai. Kerja keilmuan di seputar konsep pengajian berkisar pada upaya memelihara (menghafal pengetahuan sebagaimana bunyi aslinya, memahami makna harfiyah seperlunya dan sebagai muaranya dan mengamalkan setepat-tepatnya.
Dalam konsep pengajian, ilmu yang dipandang sebagai fakta dan terberi (given, al-manqul) cenderung diawetkan dengan pemberian status “kesakralan”, bahkan keilahian. Pendekatan yang dipakai adalah pemindahan (meriwayatkan untuk dihafalkan) dengan hati yang jernih dan sikap penuh pasrah. Pertanyaan kritis yang dikemukakan dalam rumus “mengapa” umumnya dipandang dengan curiga dan dianggap tidak pada tempatnya.
Sebuah sya’ir yang diklaimkan kepada Imam Syafi’i r.a. yang dikenal luas di kalangan masyarakat pesantren dengan jelas menggambarkan dengan baik konsep pengetahuan di balik tradisi pengajian yang dimaksud:
Syakautu ila Waqi’I sua hifdhiy; fa arsyadaniy ila tark al-ma’ashiy; wa akhbaraniy bianna al-ilma nurun; wa nurullahi la yu’tha  lil ‘ashiyl/ Aku mengadu kepada guruku (Waqi’) perihal buruknya hafalanku, beliaupun menasihatiku untuk meninggalkan perbuatan maksiat, beliau pun kepadaku, bahwa sesungguhnya ilmu itu cahaya, sedangkan cahaya \allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang maksiat”.
Di lain pihak, konsep “kajian” yang melatari kegiatan “halqah” menganut pandangan epistemologis bahwa secara substantif, pengetahuan atau ilmu, memang berasal dari Allah. Bukan hanya ilmu, semua yang ada di jagat raya ini, yang material maupun yang immaterial, diyakini datang dan bersumber dari Allah. Akan tetapi, tidak semua yang berasal dari Allah harus dipaham secara harfiah sebagai langsung “hadir” dari pada-Nya. Jika pengetahuan atau ilmu yang dimaksud adalah “sabda-sabda al-Qur’an” (meskipun juga diyakini adanya instansi perantara, malaikat Jibril), kita boleh percaya bahwa ia memang otentik mengalir dari Allah. Dengan demikian, kita, manusia, tinggal mengimani, memahami dan mengamalkannya.
Akan tetapi, apabila pengetahuan yang dimaksud adalah tafsir, atau fiqh (yakni, pemahaman manusia terhadap sabda-sabdanya), maka sudah barang tentu harus diakui adanya ruang bagi manusia untuk tidak sekedar mengajinya, tapi juga mengkajinya. Dengan kata lain, tugas keilmuan di seputar konsep pengajian tidak lagi sekedar meriwayatkan, menghafalkan, akan tetapi sekaligus mengkritisinya, kemudian menimbang-nimbang mana yang kita anggap lebih “ahsan, aslah atau rjah” untuk dipilih. Ayat Al-Qur’an berikut ini boleh ditunjuk sebagai landasannya:
…. fabasysyir ‘ibadi; alladzina yastami’una al-qaula fa yattabi’una ahsanul/…. berilah kabar gembira untuk hamba-hamba-Ku, yaitu orang-orang yang mau mendengarkan pendapat lalu mengikuti mana yang paling baik di antaranya.. “(QS, al-Zumar [39] : 18).
Ada dua alasan (dibelakang konsep pengkajian), mengapa manusia memiliki mandat untuk meng-“kaji” bukan sekedar me-“ngaji” ilmu yang muatannya adalah pemahaman manusia (: tafsir atau fiqh dalam pengertian luas), termasuk didalaminya seluruh kahazan keilmuan Islam sejak dari generasi sahabat sampai dengan sekarang ini. Pertama, khazanah keilmuan Islam sebagai tanggapan manusiawi atas ajaran (ilmu Allah) adalah produk makhluk berkapasitas nisbi, yang dengan demikian juga berstatus nisbi; ia terikat oleh ruang dan waktu. Kedua, secara doktrin, kita harus menghindarkan diri untuk menempatkan pendapat (tafsir atau fiqh) manusia pada maqam kesucian dan kemutlakkan yang setara dengan “Fakta Keilmuan” yang kita pahami atau tafsiri, yakni sabda-sabda-Nya an sich.
Tradisi “kajian” melalui halqah yang mulai tumbuh di kalangan pesantren menandakan bahwa di sana sedang terjadi transformasi dalam tradisi keilmuan menyangkut konsep epistemology, filsafat dan metodologinya. Yakni, suatu pandangan yang menempatkan “ilmu” sebagai fakta manusiawi yang relatif, nisbi, dan bagaimana pun masih dalam proses “menjadi”, maka, ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan agama tidak bisa lepas dari siklus evolutif: kelahiran, pertumbuhan, kematangan, penuaan, kebangkrutan, kelahiran kembali, dan seterusnya.
Fenomena pengkajian melalui forum-forum halqah dan sejenisnya, yang oleh Martin Van Bruinessen (1994) disebut sebagai “gejala pembentukan wacana keagamaan baru di lingkungan pesantren”, bisa dilacak ke belakang, ketika pada bulan Desember tahun 1988 sejumlah kyai dari pesantren terkemuka di Jawa khususnya, berkumpul di Pesantren Watucongol, Magelang, dalam sebuah halqah yang diinisiatifi oleh P3M dan RMI yang mengangkat topik bahasan “Pemahaman Kitab Kuning Secara Kontekstual”.
Dalam halqah yang boleh disebut sebagai tonggak bagi kuncupnya tradisi baru keilmuan pesantren, setelah melalui diskusi yang alot dan panas, pada akhirnya para kiyai mengakui bahwa, meskipun ilmu yang mereka galuti adalah ilmu agama, akan tetapi tidak semua yang bisa disebut sebagai “ilmu agama” memiliki kedudukan dan derajat kemutlakan yang sama. Pengetahuan agama (Islam) yang terdapat dalam ribuan kitab-kitab, baik yang putih (kontemporer) maupun yang kuning (klasik), pada dasarnya adalah produk dari proses pergumulan mental-intelektual manusia (ulama) atas sabda ilahi yang diimaninya di satu pihak dan realitas kehidupan (sosio-historis) yang menghadangnya di lain pihak.
Dalam maqamnya (posisinya, ed.) yang demikian itu, kitab-kitab kuning karya luhur para ulama, tidak mungkin bisa dipahami secara adil tanpa mempertimbangkan konteks (dhuruf) sosial dan historis yang melatarbelakanginya. Hanya dengan perangkat yang demikian itu, kita bisa mengerti kenapa para ulama, baik individual maupun dalam rumpun madzhab, bisa berbeda-beda sambil diakui kemungkinan adanya kebenaran (sekaligus berarti kemungkinan adanya salah) pada masing-masing. Kitab kuning sebagai dokumen pendapat para ulama, dalam pandangan keilmuan yang kontekstual, memang selayaknya tidak hanya menjadi objek “pengajian”, tapi lebih proporsional justru kita letakkan pula sebagai objek “kajian”.
Menyusul halqah Watucongol yang menggaris-bawahi prinsip kontekstualitas dalam memahami khazanah pemikiran keagamaan, selanjutnya diselenggarakan halqah di Pesantren Krapyak Yogyakarta pada bulan Maret 1989 yang secara khusus membahas metode (thariqah) bagaimana pendekatan kontekstual itu diterapkan dalam mengkaji pemikiran keagamaan; baik konteks ruang dan waktu ketika pemikiran dalam kitab kuning dituangkan, maupun konteks ruang dan waktu kontemporer ketika pikiran keagamaan dalam kitab-kitab itu di coba pahami kembali.
Dengan demikian, dalam perspektif kegiatan, kitab kuning: karya-karya besar dan cerdas para ulama terdahulu, tetap menduduki tempat yang penting. Bedanya, dalam kerangka “pengajian”, kitab kuning lebih diperlakukan sebagai obyek bacaan harfiyah dari kalimat per-kalimat dengan penekanan analisa bahasa dan muatan juz’iyahnya. Sementara dalam kerangka “kajian” (halqah), di samping analisa bahasa (semantik atau lughawi) tidak kalah penting adalah analisa konteks (dhuruf ruang waktu) yang dipastikan membentuk kesadaran muallif (pengarang,ed.) pada saat-saat menuangkan pikirannya dalam kitab kuning itu.
Artinya, secara metodologis ada persyaratan atau piranti yang berada antara “kajian” dan “pengajian”. Untuk pengajian, piranti yang diperlukan bertumpu pada ilmu-ilmu bahasa (: nahwu dan sharaf, terutama). Di lain pihak, untuk kegiatan “kajian”, piranti (alat) yang diperlukan disamping ilmu bahasa, adalah analisis sosial dan kesejahteraan.
Pilihan pokok bahasan, juga merupakan hal lain yang membedakan kajian dengan pengajian. Dengan pendekatan kontekstual, kegiatan “halqah” di satu pihak mengkaji kitab-kitab kuning tertentu seperti misalnya: ihya ‘ulum al-din karya al-Ghazali, atau al-Risalah karya Imam Syafi’i, atau al-Ahkam al-Sulthaniyah karya Imam al-Mawardi. Di lain pihak, pendekatan yang sama, bisa dilakukan untuk mengkaji masalah-masalah aktual dalam tema-tema tertentu, seperti misalnya: konsep Syari’ah dalam negara Kebangsaan; Keadilan Sosial Menurut Pandangan Islam; Demokrasi Menurut Tinjauan Islam, dan sebagainya.
Baik halqah untuk mengkaji kitab tertentu atau tema aktual tertentu, sama-sama dilakukan dengan mempertimbangkan realitas sosial dan sejarah (konteks), baik pada saat kitab/pemikiran dilahirkan, dahulu; atau ketika kita coba pahami kembali sekarang.
Fenomena kajian inilah, meskipun masih taraf mencari  bentuk dan pola yang pas, agaknya merupakan pilihan tradisi keilmuan yang lebih relevan dengan komitmen dasar keagamaan kita agar nilai-nilai universal dalam Islam selalu bisa hadir ikut memecahkan persoalan kemanusiaan empiris yang terus bergulir dari waktu ke waktu, dengan tingkat kemusyrikan yang, seperti dikatakan al-Qur’an, benar-benar semakin mendaki (QS. Al-Insyiqaq [84]; 16-19).
Artikel ini diambil dari buku Membumikan Agama Islam terbitan P3M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *