
P3M.OR.ID. Sekarang ini kita berada dalam bulan istimewa. Orang yang menyambut kedatangannya dengan sukacita akan diharamkan tersentuh neraka. Itulah Ramadhan bulan yang diabadikan namanya dalam Kitab Suci Al-Qur’an (QS (2):185). Di bulan inilah al-Qur’an diturunkan. Di bulan ini juga ada peristiwa malam yang nilainya lebih bagus dari seribu bulan sehingga ia juga disebut sebagai bulan seribu bulan. Hanya saja, kapan malam itu ada hanya Allah yang mengetahui kepastiannya. Oleh karena itu kita harus serius dalam menjalani hari-hari Ramadhan dari awal hingga akhir.
Serius puasa di siang hari dan serius mengisi malam harinya dengan berbagai ibadah. Siapapun yang serius puasa semata-mata karena iman dan ikhlas maka dihapuskanlah dosa-dosa yang lalu. Puasa atau shaum secara dalam terminologi bahasa adalah imsak yang berarti mencegah atau mengendalikan diri. Sedangkan secara etimologis adalah sebuah tindakan pengendalian diri untuk tidak minum, makan, dan seks sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, yakni bedhug maghrib.
Lebih dari itu, puasa merupakan pengendalian seluruh panca indera, yakni kaki, tangan, mulut, telinga dan mata dari segala hal yang tidak baik. Adapun puncak dari puasa adalah pengendalian angan, hati, rasa dan akal pikiran dari segala hal yang negatif. Setiap tindakan ada penyangganya dan penyangga setiap tindakan seseorang adalah akalnya. Dengan demikian, terdapat klasemen puasa level dasar (awam), level menengah (dewasa, khusus), dan level atas (khusus al-khusus, bijak bestari). Dari sini kita bisa bercermin dan mengukur diri pada level manakah puasa kita?
Salah satu hadis Rasulullah saw yang bisa kita pedomani adalah sabda beliau yang menegaskan bahwa “di dalam tubuh ini ada segumpal daging (mudlghah). Jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia buruk maka seluruh tubuh akan buruk. Ketahuilah bahwa ia adalah hati”. Bagaimana agar hati kita ini terhindar dari hal-hal tidak baik sehingga ia tidak rusak? Dengan kata lain adalah bagaimana kita bisa menjaga hati dengan baik?
Imam Hasan al-Basri, salah seorang pembesar tabi’in, menyatakan bahwa sesungguhnya yang menyebabkan kerusakan hati itu ada 6 (enam) perkara yaitu: pertama, sengaja berbuat dosa dengan harapan akan bertaubat dalam upaya mendapatkan karunia-Nya. Harapan yang demikian itu adalah ilusi. Kedua, mempelajari ilmu pengetahuan namun tidak mau mengamalkannya.
Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tiada berbuah. Ketiga, tidak jujur dalam mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Artinya, pengamalan ilmu pengetahuan itu tidak dilandasi keikhlasan. Keempat, tidak mensyukuri karunia yang dinikmati. Pengertian syukur (terima kasih) dalam hal ini adalah mengerahkan seluruh anggota tubuh di jalan yang diridlai Allah swt dan menafkahkan atau mendistribusikan harta yang dimiliki pada jalan yang diridlai-Nya.
Kelima, tidak rela atas semua yang telah diberikan dan ditetapkan Allah swt. Dalam hal ini Syekh Abdul Qadir al-Jilani memberikan nasihat: “relakanlah dirimu dalam menerima sesuatu yang sedikit dan bersungguh-sungguhlah dalam sikap itu niscaya kamu akan bergeser ke derajat yang lebih tinggi dan lebih baik; dan kamu akan bahagia, tenteram dan terpelihara, tidak merasa kesulitan di dunia dan akhirat sedemikian rupa sehingga kamu akan meningkat lagi kepada posisi yang lebih kokoh dan nyaman”.
Keenam, mengubur mayat namun tidak mengambil pelajaran dari akhir perjalanan saudaranya yang dikubur itu, yaitu kematian. Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya kuburan itu merupakan permulaan akhirat. Jika seseorang selamat dari fase kuburan maka ia akan lebih mudah melangkahi fase berikutnya. Jika ia tidak lolos dari fase kubur ini maka ia akan mendapatkan kesulitan yang lebih pada tahap berikutnya” (HR Imam Turmudzi, Ibn Majah, dan al-Hakim).
Mencermati riwayat di atas maka puasa bulan Ramadhan ini merupakan sarana yang ces pleng untuk membersihkan dan menyehatkan hati sehingga kita dapat menghadap Allah swt dengan hati yang bersih dan sehat (bi qalbin salim).
KH. Miftah Faqih
Penulis adalah Ketua PBNU
Artikel ini pernah dimuat di detik.com