Selamat Idul Fitri 1446H
KabarKabar TerkiniPilihan Editor

Hasil Riset terbaru PPIM UIN Tentang Pesantren dan Kekerasan Seksual

30
×

Hasil Riset terbaru PPIM UIN Tentang Pesantren dan Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
hsil Riset PPIM UIN Ciputat sebut santrui laki-laki lebih rentan mengalami kekerasan seksual
 Riset PPIM UIN Jakarta mengungkap data kekerasan seksual di pesantren yang menyebut santri laki-laki justru lebih rentan menjadi korban.

Jakarta – Sebuah riset terbaru tentang lembaga Pesantren dirilis oleh . Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam risetnya itu ada beberapa  temuan penting ang menunjukkan hanya sebagian kecil pesantren di Indonesia yang rentan terhadap kekerasan seksual. Angkanya tercatat hanya 1,06% dari total 43.000 pesantren yang ada.

Temuan ini merupakan bagian dari buku Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren. PPIM meluncurkan kedua buku tersebut di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7/2025). Acara ini bertujuan melindungi kehormatan pesantren. Selain itu, kegiatan ini mendorong perbaikan sistem pengasuhan di dalamnya. Menurut Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, riset ini bentuk bagian dari kontribusi  memperbaiki pesantren. “Pesantren memiliki jasa besar dalam pendidikan anak-anak Indonesia serta memberi warna keislaman yang moderat. Buku ini adalah bagian dari upaya kita bersama untuk memastikan pesantren terus menjadi lembaga luhur yang menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak, sejalan dengan kebijakan Pesantren Ramah Anak yang diinisiasi pemerintah.”

 

Metode Penelitian

Iim menambahkan para peneliti menegaskan riset PPIM ini adalah bentuk kontribusi dari dalam. Mereka ingin memperbaiki lembaga dari tempat mereka berasal. “Kami hampir semua adalah alumni pesantren. Ini bentuk khidmah, kontribusi dari dalam, bukan kritik dari luar, jadi bukan hanya outsider tapi insider selaku alumni,” ujar Prof. Iim.

Salah satu anggota penulis, Windy Triana, Ph.D., memaparkan menyebut penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Prosesnya berlangsung selama 2023–2024 pada 514 pesantren. Riset ini juga melibatkan 1.800 responden dari 34 provinsi. Selain itu, lanjut Windy tim sangat berhati hati dalam menangani data karena ssu kekerasan seksual sangat sensitif. “Kami sampaikan ini di lebih dari 10 forum tertutup sebelum akhirnya mengundang media, karena kami sangat berhati-hati. Isu ini sensitif, dan pendekatan kami bukan menuding, tapi membangun,” katanya.

Data Kementerian Agama mencatat ada sekitar 43.000 pesantren. Total santri di seluruh Indonesia mencapai 7 juta jiwa. Dengan angka kerentanan tinggi hanya 1,06%, temuan ini justru menunjukkan kekuatan. Menurut Windy, pesantren memiliki daya tahan yang jauh lebih besar daripada kerentanannya. Namun, setiap kerentanan tetap harus tertangani secara serius.

Fakta Mengejutkan: Santri Laki-Laki Lebih Rentan

Salah satu temuan paling menonjol dari riset PPIM  ini adalah profil korban. Peneliti Haula Noor, Ph.D., mengungkapkan bahwa santri laki-laki lebih rentan menjadi korban. Angkanya mencapai 1,90% untuk santri laki-laki. Sementara itu, santri perempuan hanya 0,20%. Haula menjelaskan beberapa faktor penyebabnya. “Faktor utamanya ada empat: sosial budaya, kesehatan mental, literasi kesehatan reproduksi, dan lingkungan fisik, dan juga tentang proteksi yang lebih dominan di perempuan, termasuk toxic maskulinity,” jelas Haula.

Sistem perlindungan di pesantren sering kali lebih fokus pada santri perempuan. Kamar tidur hingga kamar mandi mereka lebih tertutup dan mendapat pengawasan. Sebaliknya, santri laki-laki banyak yang menanggap mampu menjaga diri sendiri. Anggapan ini justru menciptakan celah kerawanan. Perundungan seksual terhadap santri laki-laki sering kali dianggap candaan biasa.

Dr. M. Falikul Isbah dari Universitas Gadjah Mada memberikan tanggapannya. Ia menekankan pentingnya melihat pesantren sebagai ekosistem yang utuh. “Pesantren itu bukan hanya ruang belajar, tapi ruang hidup 24 jam. Pendidikan dalam pesantren melibatkan pengasuhan dan tidak menemukannya pada sekolah umum,” ujarnya.

Falikul menyoroti masalah otoritas tunggal. Menurutnya, kekuasaan yang terpusat pada satu figur membuat sistem rentan. Diperlukan sebuah mekanisme pengawasan internal yang sehat. “Perlu ada check and balance, seperti trias politik di dalam sistem kepengasuhan,” tegasnya. Ia menambahkan, salah satu ciri pesantren rawan adalah komunikasi santri yang terputus total dari orang tua. Hal ini diperparah oleh budaya ketaatan mutlak kepada figur kiai.

Pentingnya Edukasi dan Keterbukaan

Sementara itu Widi Laras Sari dari Puskapa UI mengapresiasi keberanian riset ini. Ia menyoroti minimnya literasi seksual dan pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren. Padahal, melindungi santri dari kekerasan seksual adalah amanah besar. Pada akhirnya, riset ini bertujuan mendorong implementasi kebijakan Pesantren Ramah Anak. Upaya ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membangun. Keterbukaan pesantren terhadap lembaga eksternal menjadi kunci. Keterbukaan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan membantu proses pemulihan korban.

Kegiatan peluncuran buku dihadiri oleh lebih dari 150 peserta luring dan daring. Peserta terdiri dari peneliti, perwakilan pemerintah, pengurus pesantren, dan masyarakat umum. Harapannya, setiap pesantren di Indonesia dapat menjadi ruang yang aman untuk belajar, bertumbuh, dan terlindungi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *