P3M.OR.ID. Manuskrip karya Kiai Hasan Mugni menjadi salah satu bahasan dalam sebuah kajian Ramadhan tahun ini di Koln, Jerman. Ulama asal Kuningan, Jawa Barat ini memiliki banyak karya manuskrip. Beberapa karyanya berupa syair-syair berbahasa Sunda yang hingga kini belum tercetak dan terbubukan
Hal tersebut terungkap dalam Pesantren Kilat Ramadhan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman. Salah satu pematerinya, Muhammad Nida Fadlan menyebut kiai Mugni yang memiliki banyak karya manuskrip. Isinya berupa syair-syair berbahasa Sunda yang hingga kini belum tercetak atau terbukukan. Mahasiswa Doktoral Filologi Islam Indonesia Universitas zu Koln ini mengatakan salah satu karya Kiai Mugni adalah terjemah Maulid Diba’iy berbahasa Sunda.
“Menariknya menerjemahkan Maulid Diba’ itu ke bahasa Sunda dengan bahar Madid. Menerjemahkan teks utuh bahasa Arab ke bahasa lokal. Dari puisi ke puisi lagi, ada qofiyah dan rimanya, bisa dilagukan,” ujar Nida.(6/3)
Selain itu, Nida juga menjelaskan karya puitis Kiai Mugni yang tertulis dengan aksara Pegon dengan bahar Kamil. Menurutnya syair kiai Hasan Mughni tersebut adalah tafsiran ayat Al-Quran. Tepatnya Surah al-Baqarah ayat 183 dan Surah Ali Imran ayat 133-134. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut lalu mengkonversikannya ke bait bahasa Sunda yang puitis.
Ulama Sunda yang Puitis
Nida Fadlan menjelaskan bahwa Kiai Hasan Mughni (1913-1978) adalah salah satu ulama Sunda asal Kuningan di abad ke-20. Ia merupakan cucu Kiai Hasan Maolani, yang memiliki nasab sampai ke Rasulullah saw melalui jalur Sunan Gunung Jati Cirebon. Ia pernah nyantri ke berbagai tempat, di antaranya ke Pesantren Ciwaringin, Ciamis, dan Lengkong. Selain itu, Kiai Mugni juga pendiri Pondok Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso, Kuningan, Jawa Barat.
Melansir dari laman nu.or.id, ulama Nusantara dahulu berupaya keras mengenalkan Islam ke orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab. Melalui manasukrip karyanya, ulama Jawa, Aceh, Sumatra, bahkan Sunda, menurutnya telah melakukan vernakularisasi Islam atau pelokalan Islam, atau dalam terminologi Gus Dur adalah pribumisasi Islam. “Asalnya al-Qur’an dalam bahasa Arab, hadits bahasa Arab itu dilokalkan, biqodri uqulihim. Supaya mendapat Islam yang sama, tidak terlalu jauh, menerjemahkan Islam ke dalam bahasa lokal,” ungkap Nida.