P3M.OR.ID. Di tengah hamparan kota Lamongan, Pondok Pesantren Al-Fattah muncul sebagai garda terdepan dalam pengelolaan sampah di pesantren. Mereka aktif mengelola sampah secara mandiri. Santri dan pesantren dengan 1.517 santri berpartisipasi penuh dalamnmengurangi sangat timbulan sampah. Selain itu, pesantren ini mempunyai program menciptakan nilai ekonomi baru yaitu mengolah sampah menjadi rupiah.
Adalah Bayu Eka Prasetia Putra, S.Pd., memimpin Bank Sampah Pesantren Al-Fattah menjadi garda depan pengelolaan sampah pesantren tersebut. dengan dukungan Agus Ghundar Muhammad Al-Hassan, pesantren al Fattah berhasil mengumpulkan 300-350 kg sampah organik . Selain itu juga ada 200 kg sampah anorganik. Sampah anorganik itu terdiri dari 100 kg kertas/kardus. Serta 100 kg botol plastik. Selain itu, 3.450 kg sisa sampah juga ada.
Strategi Kolaborasi untuk Lingkungan Berkelanjutan
Sejak 26 Agustus 2025, Pondok Pesantren Al Fattah Al Ausath Siman Lamongan telah serius dalam menggarap program pengelolaan sampah terpadu. Berkolaborasi terjalin dengan P3M dan CCEP Indonesia dalam rangka lingkungan pesantren harus bersih dan sehat, praktik pengelolaan sampah dimulai. salah satunya adalah dengan melakukan beberapa kebijakan internal dan aktivitas ekonomi pesantren.
Gus Gundar M. Al Hasan Pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah Al Ausath menyebut mengenai visi dan strategi kebijakan ternyata sangat efektif. “Struktur bank sampah sangat efektif. Struktur ini mewakili lima pesantren berupaya mengintegrasikan program ini dengan fokus kebijakan internal menjadi .” ujarnya.
Menurutnya Program integrasi terlihat jelas. Ada penyusunan sistem pengelolaan sampah yang masuk ke Tata Tertib Yayasan. ” Sosialisasi pengelolaan sampah juga gencar. Santri baru menerima informasi saat MPLS/MPLP. Pengumuman lisan dan tulisan mengenai pemilahan sampah sering dilakukan. Sebuah insentif menarik disiapkan. Setiap bulan, kamar terbersih mendapat hadiah. Nilainya Rp50.000 di Al Fattah Induk,” ungkapnya.
Kebijakan-kebijakan ini menegaskan komitmen pesantren. “Pimpinan pesantren sangat mendukung program ini. Dari sisi ekonomi, manfaatnya sudah terlihat. Penjualan sampah anorganik memberi keuntungan. Hasil budidaya lele juga menjanjikan. Namun, penghematan biaya pembuangan sampah belum tercapai. Sisa sampah masih dibuang ke TPS pesantren. Pembakaran juga masih terjadi,” tambahnya.
Namun di sisi lain Gus Gundar mengakui perlunya perbaikan. Kesadaran dan kebersihan lingkungan belum maksimal. “Ini membutuhkan banyak pembenahan,” jelasnya. Pesantren Al Fattah Siman melibatkan enam pesantren. Masing-masing memiliki pengasuh dan kebijakan. Yayasan berencana mengadakan pertemuan. Mereka ingin pemilahan sampah sesuai jenisnya berkembang,” tambahnya.
Pusat Pembelajaran dan Jalinan Kemitraan
Optimalisasi rumah sampah menjadi prioritas. Gus Gundar sangat mengharapkan pendampingan. Masukan berkelanjutan dari P3M dan CCEP Indonesia sangat penting. “Kami merasa belum percaya diri,” ungkapnya. Pesantren ingin menjadi tempat belajar. Komunitas dan pesantren lain dapat belajar di sini.
Visi jangka panjang pesantren sangat ambisius. Rumah sampah akan menjadi pusat pembelajaran. “Rumah sampah kami desain multi-fungsi,” paparnya. Ada pengumpulan sampah anorganik. Bioflok lele dan budidaya maggot juga ada. Bata terawang juga menjadi bagian dari desain. Ruangan khusus untuk pertemuan tersedia. Tempat ini akan menjadi pusat pembelajaran pengelolaan sampah.
Pesan utama Gus Gundar adalah kolaborasi. “Kami berencana bekerja sama,” katanya. Enam pesantren, Yayasan, dan Kampus akan terlibat. Mereka akan mengembangkan pengelolaan sampah organik. Kerja sama dengan pesantren lain juga dijajaki. Lirboyo, Sarang, dan Tambak Beras menjadi sasaran. Mereka akan mengumpulkan sampah plastik tertolak. Sampah itu akan disetorkan ke pesantren Serang. Untuk pengembangan sampah anorganik, Lirboyo terbuka.
Tantangan dan Harapan
Sementara itu Pak Suprapto, LO Pengelola Sampah, menjelaskan berbagai tantangan pesantrennya dalam mengelola sampah. “Pembangunan rumah sampah lancar dan mendapatkan dukungan dari yayasan dan enam pesantren. Namun, sayangnya operasionalnya masih terkendala. Efektivitas sistem pengelolaan sampah belum maksimal,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Suparapto, kaderisasi masalah menjadi fokus utama. Menurutnya saat ini ada beberapa pengurus bank sampah yang lulus belum tergantikan. :” Ini yang menyebabkan beban kerja pengurus yang ada menjadi lebih berat. Adaptasi juga menjadi tantangan,” ungkapnya. Selain itu pengurus maggot dan lele yang baru masih belajar. Mereka itu adalah pengganti pengurus lama yang meninggal. “Panen maggot sempat gagal pada akhirnya. Meski pencatatan data sampah sudah berjalan dan butuh kaderisasi. Dukungan kebijakan internal juga penting seperti evaluasi tata tertib dan sosialisasi yang terus berjalan,” jelasnya.
Sampah Anorganik: Dari Limbah Menjadi Sumber Rupiah
Setiap bulannya, Pondok Pesantren Al-Fattah mengumpulkan 200 kg sampah anorganik. Sampah tersebut berupa botol plastik, gelas plastik, dan kardus. Sampah terpilah ini dijual ke pengepul. Hasilnya mendapatkan Rp 400.000,-. Pengelolaan sampah organik juga patut mendapatkan acungan jempol. Sisa sayur, sisa makanan santri, sampah dapur, dan daun terkumpul. Sebanyak 300-350 kg/bulan kemudian diolah menjadi maggot dan nasi aking. Maggot belum terjual kemudian menjadi pakan lele. “Kami juga berhasil membudidayakan lele,” jelas Bayu Eka Prasetia Putra. Setiap panen menghasilkan 11 kg lele dengan nilai ekonomi sebesar Rp 231.000,-. Hasil panen lele dijual ke dapur pondok.
Setelah pemilahan, 3.450 kg sisa sampah tersisa. Sampah residu ini dibuang dan dibakar di TPA. Menariknya, pesantren tidak mengeluarkan biaya. Dinas Lingkungan Hidup tidak memiliki akses ke TPA pondok. Ini menunjukkan efisiensi pesantren. Mereka mandiri mengelola sampah.
Keberhasilan ini memacu pesantren al Fattah terus mengembangkan programnya. Penambahan kandang lalat sedang berjalan. Tempat penyurtiran lele juga akan ada. Bioflok dan empat hingga lima tong fermentasi sedang dalam proses. Belum ada budidaya lain selain lele. Mitra lain juga belum bergabung. Namun, pesantren punya rencana ambisius. “Kami merencanakan kerja sama,” ungkap Ketua LO. Rencananya mereka akan berkolaborasi dengan Pesantren Lirboyo, Sarang, dan Tambak Beras.











