Mengaji – |
Meningkatnya jumlah pondok pesantren dengan membuka sekolah formal hendaknya tidak menggeser tradisi yang telah mapan. Bahkan, lembaga pendidikan tersebut seharusnya justru memperkokoh tradisi yang sudah ada.
Penegasan ini disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Prof Dr KH Imam Suprayogo saat mengisi seminar nasional “Eksistensi Pendidikan Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional” di Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa (11/3).
Bagi Imam, dalam perjalanannya pesantren ternyata tidak bisa menutup mata dengan perkembangan baru yang mengitari. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama memalui sistem sorogan, wetonan dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendidikan sistem klasikal. “Bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah dan bahkan universitas juga ada di pesantren,” katanya.
Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim ini mengatakan, “Adaptasi adalah bentuk keniscayaan tanpa mengilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren.”
Apa hal yang tidak boleh hilang dalam tradisi di pesantren? Yakni pengajaran agama secara utuh. “Sejak awal, pesantren diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para santri menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat,” terangnya.
Hal lain yang menarik dari pesantren adalah tidak dikenalnya tradisi menyontek, apalagi memalsu daftar nilai, ijazah, dan membuat program yang berorientasi kepada aspek formal dengan menanggalkan aspek substansial.”Karena itu cukup rasional kalau pesantren tidak mengenal program kelas jauh dan kelas eksklusif berupa kuliah Sabtu-Minggu yang dikhawatirkan dapat memerosotkan kualitas pendidikannya,” ungkap Prof Imam.
Pada saat yang bersamaan, pesantren senantiasa diisi dengan nilai keikhlasan, ridha, tawadhu’, karamah, barakah dan semacamnya. “Inilah letak perbedaan antara pesantren dengan pendidikan modern, termasuk sekolah dan universitas,” katanya.
Dengan menyitir pandangan Prof H A Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, Prof Imam mengingatkan ungkapan bahwa pesantren adalah pesantren, dan tidak akan pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren.
Karena itu, Prof Imam sangat menyayangkan bila ada seseorang atau kelompok yang mengecilkan arti pesantren. “Pesantren adalah satu-satunya institusi yang berhasil melakukan transmisi Islam dan bahkan bagi kemajuan bangsa ini,” katanya. “Sebab kemuliaan pesantren terletak bukan semata kepada orientasi materi, tetapi keberadaannya lebih diorientasikan kepada memperkaya ilmu dan keluhuran budi,” lanjutnya.
Disamping Prof Imam, seminar ini menghadirkan DR H Suwendi dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dan DR KH Salahuddin Wahid selaku Rektor Unhasy. (Syaifullah/Mahbib)
Post: NU Online
Link: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,46-id,50735-lang,id-c,pesantren-t,Pendirian+Sekolah+Formal+Jangan+Hilangkan+Jati+Diri+Pesantren-.phpx