“Model-model dakwah yang dilakukan oleh Wali Sanga (wali sembilan) merupakan contoh yang sangat populer tentang proses Islamisasi yang melalui persuasi, adaptasi, dan akomodasi. Dan bukan melalui jalan konfrontasi dan penaklukan secara paksa.”
Indonesia Masa Kesultanan image: google |
Islam Nusantara sebagai praktik keagamaan di Indonesia sebelum maupun sesudah kemerdekaan pada dasarnya memiliki karakteristik yang khas: moderat, toleran, dan akomodatif. Karakteristik ini bukan sesuatu yang aneh, karena persis seperti dinyatakan Khaled Abou el Fadl, Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menjadi orang-orang yang moderat. Lebih jauh lagi, hadits-hadits Nabi meriwayatkan bahwa manakala dihadapkan pada dua pilihan ekstrem, Nabi selalu memilih jalan tengah. Dengan kata lain, Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok moderat yang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrem. Itulah sebabnya, menurut Abou el Fadl, mayoritas kaum muslim adalah moderat. Moderasi menggambarkan pendirian keagamaan mayoritas umat Islam.[1]
Tentu saja, dalam praktiknya di Indonesia, wajah umat Islam dari dulu hingga kini tidak pernah tunggal. Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi umat Islam yang amat beragam. Sejak zaman pra kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan wajahnya yang beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh beragam organisasi baik yang berorientasi keagamaan, sosial, maupun politik.
Keragaman pola keberagamaan umat Islam oleh para pengamat Islam diidentifikasi dengan memakai berbagai nama atau label. Salah satu tipologi yang paling populer dikemukakan Clifford Geertz yang membagi praktik keagamaan umat Islam Indonesia menjadi tiga: santri, abangan, dan priayi.[2] Meski sudah banyak yang melakukan kritik atas tesis ini,[3] klasifikasi Geertz tetap menjadi salah satu rujukan penting dalam melihat tradisi keagamaan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Sementara pembacaan lain membaginya menjadi Islam tradisional, modern, dan neo-modern.[4]
Keragaman praktik keagamaan di Nusantara bukan semata-mata karena perbedaan geografis antara mereka yang bermukim di dekat pantai dan yang di pedalaman, tetapi terutama karena kepulauan nusantara merupakan wilayah yang sangat kaya dengan beragam etnis, suku, dan bahasa. Sehingga ekspresi keagamaan umat Islam di Indonesia sangat beragam sesuai dengan ekspresi sosial, budaya, ekonomi, dan politik masing-masing.
Polarisasi keberagamaan umat bisa dilihat dari aspek ritual (ibadah), orientasi aliran (dalam berbagai bentuk ormas), orientasi pilihan politik, sampai pada kecenderungan politis untuk turut terlibat dalam proses-proses kekuasaan, baik melalui jalur partai maupun jalur birokrasi. Meski terekspresi dalam beragam wajah, praktik keagamaan Islam di Indonesia secara umum merupakan representasi dari karakter moderat, toleran, dan akomodatif. Kenyataan ini bisa dilihat dari fakta kerukunan antar umat beragama yang bisa hidup berdampingan secara damai selama puluhan tahun.
Data Konflik antar Agama di Indonesia 1945 – 2005[5]
Periode
|
Jumlah
|
Persentase
|
Rata2/Tahun
|
1945-1954
|
0
|
0
|
0
|
1955-1964
|
2
|
0
|
0.2
|
1965-1974
|
46
|
13
|
4.6
|
1975-1984
|
89
|
24
|
8.9
|
1985-1994
|
132
|
35
|
13.2
|
1995-2004
|
180
|
41
|
18
|
Jan. – Sept. 2005
|
20
|
|
20
|
Total
|
469
|
100 %
|
|
Data ini menunjukkan bahwa pada sepuluh tahun pertama setelah Indonesia merdeka, konflik antar agama di Indonesia bahkan tidak pernah terjadi. Pada sepuluh tahun kedua terjadi konflik, itu pun hanya dua kasus. Baru setelah Orde Baru berkuasa, konflik antar agama mulai menunjukkan gejala yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada dekade 1995 – 2004 yang tercatat sebanyak 180 kasus.*Diolah dari data FICA (Fellowship of Indonesian Christians in America), PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), PIK (Pusat Informasi Kompas), PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo).
Serangkaian konflik bernuansa agama pada dekade 1995 – 2004 memang sempat menodai citra Indonesia sebagai bangsa yang ramah, santun, dan toleran. Namun demikian, terjadinya berbagai konflik agama yang demikian marak pada dekade ini tidak bisa menghapuskan fakta kerukunan umat beragama yang sudah berjalan puluhan tahun. Di samping sarat dengan muatan politis itu, serangkaian konflik tersebut juga sangat dipengaruhi oleh maraknya perkembangan Islam trans-nasional yang puritan dan bahkan cenderung radikal. Meski gerakan puritan yang dimotori oleh kelompuk Islam modernis sudah dimulai sejak Indonesia belum merdeka, yang ditandai oleh lahirnya organisasi muslim modernis seperti Muhammadiyah (1912) dan Persis (1913)[6] yang kemudian disusul oleh munculnya organisadi di kalangan tradisional seperti NU, Perti, dan Al-Washliyah, namun konflik bernuansa agama yang bahkan beberapa diantaranya diwarnai kekerasan, baru terjadi setelah Orde Baru berkuasa.
Meski terfragmentasi dalam beragam organisasi yang mencerminkan karakteristik dan basis sosio-kultural masing-masing, dalam praktiknya, di antara mereka tidak sampai terjadi bentrokan fisik. Ketegangan di antara kelompok tradisionalis dan modernis lebih bersifat furu’iyah (hanya menyangkut cabang-cabang ajaran agama) dan bukan prinsip dasarnya, sehingga tidak sampai terjadi saling mengkafirkan, apalagi bentrokan fisik. Bahkan di antara para pemimpin mereka terjadi persahabatan dan kerja sama yang bahkan terlembaga melalui berdirinya suatu federasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) di Surabaya tanggal 21 September 1937.[7]
Proses Awal Islamisasi Nusantara
Sejarah masuknya Islam ke Indonesia, atau lebih tepatnya Kepulauan Nusantara, hingga saat ini memang masih kontroversial. Awal sejarah Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia, menurut Azyumardi Azra, bahkan sangat rumit dan problematis. Banyak masalah yang muncul meliputi asal usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini. Masalah itu muncul tidak hanya karena perbedaan-perbedaan tentang apa dimaksud dengan “Islam”, tetapi yang terpenting karena sedikitnya data yang memungkinkan kita merekonstruksi suatu sejarah yang bisa dipercaya. Terdapat banyak ketidaksepakatan di antara para sarjana dan peneliti mengenai makna “Islam” yang sesungguhnya, maka konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tentang penetrasinya ke Nusantara. Berbagai sarjana dan peneliti tertentu mendefinisikan Islam dengan menggunakan kriteria formal yang sederhana seperti penyebutan syahadat atau pemakaian nama Islam; sedangkan yang lain mendefinisikan Islam dengan cara yang lebih sosiologis: suatu masyarakat akan dianggap Islam jika Islam telah aktual, memberikan prinsip-prinsip yang berfungsi secara aktual bagi segenap lembaga sosial, budaya dan politik. Dalam pandangan ini, semata-mata membaca syahadat tidak dapat dijadikan indikasi yang sebenarnya mengenai penetrasi Islam dalam suatu masyarakat.[8]
Ada banyak diskusi di kalangan para sarjana dan peneliti tentang tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan perkembangan awal Islam di kepulauan nusantara; yaitu sumber Islam atau dari mana datangnya, siapa para pembawa Islam pertama, dan kapan waktu kedatangannya.
Sejumlah ahli mengajukan teori bahwa sumber Islam di Kepulauan Nusantara adalah Anak Benua India selain Arab dan Persia. Orang pertama yang mengemukakan ini adalah Pijnappel yang berkebangsaan Belanda dari Universitas Leiden. Dia mengemukakan asal usul Islam di Nusantara ke kawasan Gujarat dan Malabar dengan alasan bahwa orang-orang Arab mazhab Syafi’i bermigrasi dan menetap di daerah-daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian direvisi oleh Snouck Hurgronje yang menyebutkan bahwa ketika Islam datang memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota pelabuhan India Selatan, sejumlah Muslim Dhaka banyak yang hidup di sana sebagai perantara dalam perdagangan antara timur Tengah dan Nusantara – datang di Kepulauan Melayu sebagai para penyebar Islam pertama. Berikutnya, menurut Hurgronje, mereka diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. dengan memakai gelar sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai ustadz maupun sultan. Dia berpendapat bahwa waktu yang paling mungkin bagi saat awal islamisasi di Kepulauan Melayu-Indonesia adalah abad ke-12.[9]
Menurut W.P. Groenevelt dalam Historical Notes on Indonesia and Malay; Compiled from Chinese Sources, yang dikutip Fachry Aly dan Bachtiar Effendy, diduga orang-orang Ta’shih itu adalah orang-orang Arab. Pemukiman mereka di abad ketujuh adalah di sepanjang pantai Sumatera Barat. Di daerah itu mereka, yang kemudian dikenal sebagai pedagang Muslim, melakukan kontak dengan orang-orang Indonesia dan masyarakat Asia Tenggara lainnya. Kontak yang dimungkinkan karena adanya tiga dinasti yang kuat, yakni Dinasti Umayah (660-749) di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya (abad ke 7-14) di Asia tenggara, dan Dinasti T’ang (618-907) di Asia Timur.[10]
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, setidak-tidaknya terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia.
Pertama, karena ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan (Allah) Maha Tunggal. Pada gilirannya ajaran ini memberikan pegangan kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan diri dari ikatan kekuatan apa pun selain Allah. Ajaran Tauhid ini menunjukkan dimensi pembebasan manusia dari kekuatan-kekuatan asing.
Sebagai konsekuensi yang harus diterima dari ajaran Tauhid ini, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Hal ini merupakan ajaran baru yang bertentangan secara diametral dengan sistem hubungan kemasyarakatan waktu itu, yaitu sistem kasta yang berasal dari ajaran hindu. Dengan memilih Islam, yang mempunyai ajaran-ajaran dasar yang bersifat membebaskan ini, pada dasarnya, mereka telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan, dan keadilan.[11] Dengan demikian, Islam menempatkan mereka dalam posisi terhormat. Prinsip kesamaan (equity) inilah yang, oleh C.A.Q Nieuwenhuijze dalam Aspect of Islam in Post-Colonial Indonesia (1958), disebut sebagai faktor pendorong masyarakat kota dan pantai utara laut Jawa yang tidak senang dengan ajaran kasta dalam agama Hindu, untuk memeluk Islam.
Kedua, karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan demikian, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Karena watak ajaran yang demikian, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang lain, dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam ajaran Islam. Sebab, nilai-nilai itu juga dikandung dalam Islam.
Namun demikian, menurut Fachry Aly dan Bachtiar Effendy, tidak semua nilai lama yang bersifat paganistik itu, secara keseluruhan, bersesuaian dengan ajaran Islam. Karenanya, ada sebagian – terutama yang secara prinsipal bertentangan dengan ajaran islam, dihilangkan secara berangsur-angsur.
Ketiga, pada gilirannya, Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi dan pengaruh Barat yang, melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis dan kemudian Belanda, mengobarkan dan menyebarkan agama Kristen. Antara dominasi kolonialisme dan penyebaran agama Kristen berjalan seiring, di mana penyebaran agama Kristen tidak semata-mata dimaksudkan untuk kepentingan keagamaan, tetapi lebih jauh lagi dimaksudkan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, yakni kolonialisme Belanda.[12]
Sementara, dari segi pintu masuk penyebaran Islam melalui beberapa saluran. Antara lain, pertama, saluran perdagangan. Pada awalnya, islamisasi terjadi melalui kontak para pedagang dengan pribumi. Pemukiman muslim yang mereka dirikan di pesisir pantai cepat berkembang karena tingkat ekonomi mereka rata-rata bertambah baik dengan ikut sertanya golongan bangsawan dalam perdagangan tersebut.
Kedua, saluran perkawinan. Ketika umat Islam semakin banyak, sementara penghasilan mereka relatif tinggi, banyak di antara putri pribumi dari keluarga bangsawan maupun masyarakat biasa merasa tertarik dan ingin menikah dengan mereka. Dalam perkembangannya, wanita-wanita muslim pun menikah dengan kaum pribumi. Di sini saluran perkawinan menjadi semacam saluran penyebaran agama Islam yang cukup efektif.
Ketiga, saluran tasawuf. Para penyebar islam, yaitu sufi, mengajarkan ajaran-ajaran Islam dengan melakukan “adaptasi” dengan kepercayaan yang sudah dikenal luas di masyarakat. Dengan demikian, Islam mudah dimengerti dan dipahami.
Keempat, saluran pendidikan. Melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan dan dikembangan oleh masyarakat muslim, calon-calon ulama dididik dan dipersiapkan. Dan begitu lulus, mereka kembali ke masyarakat untuk menyebarkan Islam atau menjadi juru dakwah.
Kelima, saluran kesenian; misalnya melalui pertunjukan wayang di Jawa. Sunan Kalijaga, konon, adalah seorang dalang yang terkenal. Ia mementaskan cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana dengan menyelipkan pesan-pesan Islam di dalamnya.
Keenam, saluran politik, melalui lembaga kekuasaan dan kerasaan, Islam kian meluas karena mendapat dukungan struktur kekuasaan. Di samping kerajaan-kerajaan yang memang didirikan oleh umat Islam, seperti kerajaan Pasai, banyak para raja yang memeluk Islam dan kemudian diikuti oleh masyarakatnya.[13]
Persuasi, Adaptasi, dan Akomodasi
Terlepas dari perdebatan sekitar masuknya Islam di Kepulauan Nusantara, karakteristik Islam Nusantara yang cenderung moderat, toleran, dan akomodatif tentu saja tidak bisa dilepaskan dari model-model dakwah yang dilakukan oleh para penyebar Islam melalui cara-cara persuasi, adaptasi, dan akomodasi. Para sarjana dan peneliti tentang proses datangnya dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu hampir sepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi kawasan ini terjadi melalui jalan damai.[14]
Model-model dakwah yang dilakukan oleh Wali Sanga (wali sembilan) merupakan contoh yang sangat populer tentang proses Islamisasi yang melalui persuasi, adaptasi, dan akomodasi. Dan bukan melalui jalan konfrontasi dan penaklukan secara paksa.
Model Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga merupakan contoh sempurna dari proses adaptasi, persuasi, dan akomodasi. Apa yang dilakukan Ja’far Shadiq atau yang dikenal sebagai Sunan Kudus merupakan contoh sempurna dari sebuah upaya toleransi dan sekaligus adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Di Kudus, Ja’far Shadiq melarang penduduk Kudus (Jawa Tengah) makan hewan sapi karena banyak manusia minum susu sapi. Alasan sebenarnya dari Sunan Kudus adalah dalam rangka menghormati komunitas Hindu yang sudah mengakar di sana. Hal yang sama dilakukan Sunan Bonang dengan menciptakan tembang-tembang Jawa yang penuh dengan nasehat dan bobot spiritual, salah satunya tembang Ilir-ilir yang sangat populer dan memasyarakat di Jawa. Selain itu dia juga menciptakan salah satu perangkat gamelan yang hingga kini masih populer dan dipakai dalam pentas musik Jawa dan seni pewayangan: bonang. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh Wali Sanga yang paling kreatif. Seni pewayangan yang semula sangat kental dengan nuansa Hindu, disulap jadi sebuah pertunjukan bernuansa Islam. Sunan Kalijaga juga sangat piawai dalam meramu kesenian lokal sehingga menjadi hiburan yang mengasyikkan bagi masyarakat Jawa ketika itu. Untuk bisa menikmati kesenian tradisional yang “diciptakan” oleh Sunan Kalijaga, masyarakat setempat tidak perlu membayar tapi cukup membaca kalimat syahadat. Pertunjukan yang murah meriah ini dimanfaatkan para wali untuk menyampaikan wejangan-wejangan keislaman terutama yang bernuansa tasawuf..[15]
Model Islamisasi yang dilakkukan para wali dengan cara yang sangat luwes dan bahkan longgar, tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa mazhab Islam yang masuk ke Indonesia adalah mazhab Sunni, khususnya Syafi’i. Berbeda dengan aliran aliran Wahhabi yang kaku, keras, dan hitam putih, mazhab Sunni yang juga dikenal sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah ini relatif moderat dan akomodatif. Sebagaimana terlihat dalam sejarah, Ahlussunnah Wal Jamaah[16] merupakan reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang marak pada akhir abad ketiga Hijriyah.
Secara garis besar, Ahlussunnah Waljamaah adalah penganut garis tengah dalam polarisasi teologis antara Khawarij vs Muktazilah, perihal isu mukmin yang berdosa besar. Demikian juga, golongan ini menjadi moderasi dalam polarisasi politik antara Khawarij vs Syiah dalam masalah Imamah Ali Ra.. Dalam fikih, juga menjadi penengah dalam polarisasi fikih antara madzhab Muktazilah vs mazhab literal Dawud Dhahiri yang diwakili oleh Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dari segi akidah, kelompok ini juga menjadi penengah dalam polarisasi teologis antara kaum rasionalis Muktazilah vs kaum dogmatis Ahmad bin Hambal. Demikian juga dalam masalah tasawuf, Ahlussunah menganut garis tengah (yang diwakili Imam Ghazali dan Imam Junaed Al-Baghdadi) antara penganut mazhab kebatinan vs kalangan legalistik-formalistik. Itulah sebabnya, secara sederhana, Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh mainstream umat Islam Indonesia adalah golongan yang menganut salah satu madzhab empat dalam masalah fikih, menganut Mazhab Asyaraiy-Maturidiy dalam masalah teologi, dan menganut Mazhab Al-Ghazali – Junied Al-Baghdadi dalam masalah tasawuf.
Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah menjadi semakin mengakar dan melembaga dalam masyarakat muslim Indonesia karena adanya pesantren-pesantren yang didirikan oleh para ulama Sunni di Indonesia. Paham ini menjadi semakin kuat dengan lahirnya Nahdlatul Ulama (NU, 1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI, 1928), dan Al-Washliyah (1930) yang menjadi tulang punggung penyebaran dan penguatan paham Ahlussunnah Wal Jamaah di Tanah Air.
Lahirnya Kelompok Puritan Awal
Paham Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika kelompok puritan yang menganggap bahwa umat Islam telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kelompok ini sering juga disebut sebagai Islam modernis, Islam revivalis, Islam reformis, dan atau Islam pembaharu. Semua julukan ini pada dasarnya sama, yakni adanya semangat baru untuk melakukan perubahan terhadap tatanan lama yang dianggap mandeg dan jumud.
Gerakan ini biasanya dihubungkan dengan upaya pemurnian (purifikasi) yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke-12 Masehi. Bahkan tokoh ini disebut-sebut sebagai orang yang paling awal melakukan pembaruan dalam Islam karena pemikiran Islam telah dianggap beku. Ia mengecam keras– dengan ketajaman pena dan ucapan yang sering menyakitkan lawannya – segala keyakinan, kepercayaan, dan praktik-praktik dari luar Islam yang menyusup dalam ajaran Islam. Ia mengajak kembali kepada Qur’an dan Sunnah, membuka pintu ijtihad, dan menentang taqlid.
Paham Ibnu Taimiyah dihidupkan lagi oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1787) lima abad kemudian. Meski Muhammad ibn Abd Wahab sulit digolongkan sebagai mujaddid, karena hanya melanjutkan apa yang digagas Ibnu Taimiyah, namun tokoh inilah yang berperan besar hingga kemudian menjadi paham tersendiri yang disebut paham Wahhabi yang terus berkembang di Arab Saudi hingga saat ini.[17]
Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali kepada satu-satunya agama yang benar mereka akan diterima dan mendapat ridha Allah. Dengan semangat puritan, Abd al-Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti agama Islam, yang di antaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul), serta banyak praktik lain yang dinilai bid’ah.[18]
Menurut kaum Wahhabi, kita wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus yang diyakini sepenuhnya dapat direbut kembali dengan mengimplementasikan perintah dan contoh Nabi secara literal, dan secara ketat kita mentaati praktik ritual yang benar. Akibatnya, kaum Wahhabi menyikapi teks-teks agama– al-Qur’an dan Sunnah – sebagai suatu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari Nabi.[19]
Ciri khas pendekatan fikih yang dilakukan Wahhabi adalah hasilnya yang bersifat pasti, kesimpulannya tidak bisa digugat, dan penetapannya yang bersifat tegas. Mereka menolak gagasan tentang kesetiaan terhadap mazhab hukum tertentu dan menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengikatkan diri pada seperangkat ketetapan tertentu.[20]
Pandangan holistik mereka terhadap Islam berimplikasi, terutama lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal, skriptual, dan harifiah. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik “penampilan-penampilan tekstualnya”-nya hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai instrumen ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.[21]
Dalam pandangan William Liddle, kelompok skripturalis tidak memandang diri mereka terlibat terutama dalam kegiatan intelektual yang mencoba mengadaptasikan pesan-pesan Muhammad dan makna Islam ke dalam kondisi-kondisi sosial sekarang ini. Menurut mereka, pesan-pesan dan makna itu sebagian besarnya sudah jelas termaktub di dalam al-Qur’an dan Hadits, dan hanya perlu diterapkan dalam kehidupan.[22] Inilah keyakinan mereka tentang memperjuangkan Islam secara Kaffah. Yakni, obsesi kembali ke masa lalu Islam secara keseluruhan tanpa melihat perubahan sosial-budaya yang telah dialami masyarakat Muslim dewasa ini. Pandangan ini menunjukkan sikap literal mereka dalam memahami teks-teks agama sehingga harus sesuai atau sama dengan perilaku Nabi Saw. Padahal, Islam adalah agama kontekstual, yang sesuai dengan perubahan zaman.
Jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah lebih banyak dimaksudkan sebagai perintah untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik-praktik Nabi yang puritan dalam mencari keaslian (otentitas) dan pembaruan. Kalau umat Islam tidak kembali pada “jalan yang benar” dari para pendahulu mereka, maka mereka tidak akan selamat. Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah ini dipahami secara skriptural dan totalistik.[23]
Dengan merujuk pada tulisan-tulisan Abd Wahhab sendiri, Khaled Abou el Fadl menyebutkan bahwa Abdul Wahhab dan para pengikutnya kerap mengumbar ungkapan teroris terhadap para ahli hukum terkemuka abas pertengahan dan kontemporer yang dinilainya bid’ah, dan bahkan memerintahkan eksekusi atau hukuman mati terhadap sejumlah besar ahli hukum yang tidak sependapat dengan mereka.[24]
Penetrasi Wahhabisme ke seluruh Dunia Islam sangat dimungkinkan terutama setelah Arab Saudi jatuh ke tangan Al-Saud. Menurut Khaled Abou el Fadl, ide-ide Abd al-Wahhab tidak akan meluas, bahkan di Arab, andai saja pada akhir abad ke-19 keluarga Al-Saud tidak menggabungkan diri dengan gerakan Wahhabi dan berperang melawan kekuasaan Dinasti Utsmani di Semenanjung Arab. Dengan memadukan semangat keagamaan dan nasionalisme Arab yang kuat, pemberontakan itu sangat besar dampaknya, hingga mencapai Damaskus di Utara dan Oman di Selatan. Aliansi al-Saud-Wahhabi sejak 1745 hingga 1818 dikenal sebagai negara Saudi pertama, yang berakhir tatkala militer Mesir dan Turki menghancurkan kota al-Diriyyah, ibu kota kerajaan Saudi pertama, dan membantai penduduknya. Pembunuhan masal ini benar-benar membekas dalam memori kaum Wahhabi dan membakar semangat mereka dengan menjadikannya sebagai simbol penderitaan dan pengorbanan mereka.[25]
Ideologi Wahhabi dihidupkan lagi pada awal abad ke-20 di bawah kepemimpinan Abdul Aziz ibn al-Saud (memerintah 1919 – 1973), pendiri negara Saudi modern, yang menganut teologi puritan kaum Wahhabi. Pemberontakan Wahhabi pertama pada abad ke-18 bertujuan menggulingkan kendali Utsmani dan memperkuat jenis Islam puritannya Abd al-Wahhab ke Dunia Arab, sebanyak-banyaknya. Kaum Wahhabi juga mengontrol Mekah dan Madinah; dan dengan melakukan itu, mendapatkan kemenangan simbolis yang besar dengan mengendalikan pusat spiritual Dunia Islam.[26]
Menurut Abou el Fadl, ada empat faktor yang berperan besar terhadap meluasnya paham Wahhabi di Dunia Islam. Pertama, dengan memberontak melawan Dinasti ‘Utsmaniah, Wahhabisme menyeru untuk ideologi nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan memperlakukan pemerintah muslim ‘Utsmani sebagai kekuatan asing yang berkuasa, Wahhabi menciptakan suatu preseden kuat bagi tertanamnya benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab.
Kedua, seperti dicatat di atas, Wahhabisme mendorong umat Islam untuk kembali pada apa yang oleh Abd al-Wahhab dipandang sebagai Islam yang asli dan murni. Karena itu, Wahhabisme menolak seluruh pengalaman historis dan mendesak untuk kembali pada contoh “para generasi awal yang terbimbing dengan benar” (al-salaf al-shalih). Ungkapan “generasi awal yang terbimbing dengan benar” merujuk pada generasi para Sahabat Nabi dan generasi sesudahnya (generasi penerus, al-tabi’in). Dua generasi penerus ini dilihat dari sudut idealistik, dan mereka sering disitir sebagai contoh yang harus ditiru. Ide Wahhabi sebenarnya mengandung arti pembebasan yang sejalan dengan semangat kaum reformis muslim, karena hal itu berarti lahirnya kembali ijtihad, atau kembali ke pengujian dan penentuan isu-isu hukum tanpa harus terbebani oleh presenden dan doktrin-doktrin yang diwariskan. Dengan kata lain, ide melepaskan masa silam berikut muatan yang dimilikinya dan memulai sesuatu yang segar adalah hal yang membebaskan. Paling tidak, secara teoretis, umat Islam dapat menggunakan ijtihad (analisis dan pemikiran independent dan baru) untuk melihat dengan mata baru pada sumber-sumber orisinal Al-Quran dan Sunah hingga dapat tiba pada interpretasi dan solusi baru bagi problem-problem masa kini tanpa dibebani oleh masa silam. Menurut kaum Wahhabi, satu-satunya masa lalu yang relevan dan mengikat adalah yang telah dicipta oleh Nabi, para sahabat, dan tabi’in.
Ketiga, dengan memegang kendali atas Mekah dan Madinah, Arab Saudi dapat memerankan pengaruh yang luar biasa pada budaya dan pemikiran umat Islam. Tempat-tempat suci- Mekah dan Madinah – adalah jantung simbolis Islam dan tempat jutaan kaum muslim menunaikan ibadah haji setiap tahun. Dengan mengatur apa yang dipandang sebagai keyakinan atau praktik yang sah pada saat pelaksanaan ibadah haji, Arab Saudi menjadi mulai mempengaruhi sistem keyakinan Islam itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan yang semata simbolis, raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam (khadim al-haramayn). Kenyataannya, gelar itu hanya menegaskan posisi moral otoritas raja Saudi yang diklaimkan untuk dirinya sendiri dalam kaitanya dengan dunia Islam.
Keempat. barang kali yang paling penting untuk dicatat adalah penemuan dan pemanfaatan seumber daya minyak di Arab Saudi yang menjadi sumber dana segar yang melimpah untuk negara itu. Khususnya, setelah 1975, dengan naiknya harga minyak, Arab Saudi dengan agresif mendukung promosi pemikiran Wahhabi ke seluruh dunia. Bahkan, jika kita mencermati sepintas lalu pada sejumlah ide dan praktik dominan yang secara khusus ditemukan di masjid-masjid, akan terlihat betapa luas pengaruh pemikiran Wahhabi pada dunia Islam saat ini.[27]
Dengan bantuan Kerajaan Arab Saudi, paham Wahhabi segera meluas ke seluruh Dunia Islam, termasuk Indonesia. Penyebaran paham Wahhabi di Indonesia terutama dilakukan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad. Ketiga organisasi ini sama-sama mengusung gagasan puritanisme, dengan beragam variasi model dakwah. Perbedaan ketiganya terletak pada cara mereka dalam penyebaran gagasan-gagasan tersebut. Persis, misalnya, bersikap lebih radikal, tanpa kompromi, seperti sikap Ibnu Taimiyah atau bahkan seperti Ahmad bin Hambal. Sedangkan Al-Irsyad, sebagaimana halnya Muhammadiyah, adalah gerakan Islam yang lebih moderat dengan jangkauan pengaruhnya yang terbatas, yaitu terutama di kalangan keturunan Arab.[28] Berbeda dengan kedua organisasi di atas, Muhammadiyah memiliki jangkauan yang lebih luas. Ini bisa dipahami karena, Muhammadiyah relatif lebih moderat dibanding Persis misalnya. Demikian juga, berbeda dengan Al-Irsyad yang hanya menjangkau kalangan keturunan Arab, Muhammadiyah melampaui batas-batas etnis dan geografis.
Seperti gerakan Wahhabi pada umumnya, ketiga organisasi ini berusaha melakukan pemurnian terhadap Islam di Indonesia yang dianggap sudah tercemar dengan berbagai praktik dan budaya yang berasal dari luar Islam. Mereka datang untuk memerangi apa yang kemudian terkenal dengan istilah TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Budaya TBC inilah yang banyak dipraktikkan oleh kelompok Islam tradisional.
Dengan munculnya kelompok-kelompok baru yang mengusung pemurnian dengan jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”, kalangan muslim tradisional tentu saja merasa terancam. Namun ancaman yang lebih hebat datang dari Kerajaan Arab Saudi yang mengikuti paham Wahhabi. Ibnu Sa’ud sebagai penguasa Kerajaan Arab Saudi adalah pengikut Wahhabi, sekte puritan yang sangat dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahhabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Pada awal abad ke-20, kaum Wahhabi menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota Mekah, memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahhabi ini, penaklukan atas Mekah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan. Apalagi di Arab Saudi sendiri akan diadakan Kongres Mekkah untuk menandingi Kongres Kairo. Dan meski sempat diwarnai perselisihan apakah akan menghadiri Kongres Mekkah atau Kongres Kairo, umat Islam di Indonesia waktu itu akhirnya memilih Kongres Mekkah.
Pada Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Dalam rahim pertemuan inilah lahir organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama.[29] Organisasi inilah yang kemudian menjadi representasi dan pembela kalangan Islam tradisional di Indonesia dalam menghadapi pengaruh Wahhabi yang semakin kuat.
Sampai awal 1920-an, pengaruh gerakan-gerakan reformis-modernis semakin kuat dalam ruang publik, namun demikian relasi ulama tradisionalis dengan ulama reformis-modernis di Jawa masih tetap terjaga dengan baik.[30] Meski terdapat ketegangan antara dua kelompok ini, terutama menyangkut masalah-masalah khilafiyah, pada umumnya kedua belah pihak mulai menyadari bahwa perbedaan mereka hanya terletak dalam soal furu’, sedangkan dalam hal pokok, ushul, mereka sepaham. Oleh sebab itu, sekitar tahun 1935 mereka mulai berseru pada perlunya persatuan dengan mengemukakan perlunya toleransi, serta tekanan bahwa mereka tergolong sesama saudara, umat Muhammad.[31]
Puritanisme Gelombang Kedua
Hingga abad ke-20, Islam tradisional dan Islam modernis masih bisa hidup berdampingan dengan damai dan masing-masing sibuk dengan urusan intern mereka sendiri. Meski ketegangan yang bermula dari masalah furu’iyah itu sering dipertajam oleh kepentingan-kepentingan lain, kedua kelompok ini tidak sampai terlibat dalam konflik terbuka. Baru pada akhir abad ke-20, mulai muncul kelompok puritanisme baru yang jauh lebih ekstrem dibanding kelompok modernis. Kelompok ini bahkan sering dikaitkan dengan eforia kebangkitan Islam.
Abad ke-15 Hijriyah atau abad ke-20 Masehi sering disebut sebagai abad kebangkitan Islam. Iran dan Mesir adalah dua negara yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan Islam yang oleh para pengamat lebih dimaknai sebagai awal dari radikalisme Islam.
Fenomena revolusi Islam Iran 1979 dianggap banyak pengamat sebagai salah satu bentuk dari radikalisme yang kemudian mengilhami kaum muslim di banyak negara untuk mengeskpresikan aspirasinya secara lebih frontal. Sementara, di Mesir, lahirnya al-Ikhwan al-Muslimun yang dibidani oleh Syaikh Hasan Al-Banna (1906-1949) pada bulan April 1928 mengalami perkembangan pesat yang ditandai oleh tersebarnya organisasi ini di kurang lebih 70 negara, tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga di wilayah lainnya.[32]
Bagi banyak pengamat, Revolusi Iran 1979 bukan sekadar fenomena politik, tetapi juga fenomena agama. Keberhasilan kelompok Islam menggulingkan rezim Shah Iran bahkan lebih dipahami sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam ketimbang sebuah perubahan politik dan pergantian kekuasaan.
Anggapan seperti itu memang bisa dipahami. Keberhasilan menggulingkan Dinasti Pahlevi (1925-1979) merupakan fenomena yang luar biasa, bukan semata-mata karena Dinasti Pahlevi terlalu kuat apalagi waktu itu Shah Iran didukung oleh Amerika, tetapi terutama karena gerakan itu “diorganisir” dari jarak jauh oleh Imam Khomeini yang diasingkan di Prancis.
John L Esposito dan John O. Voll menggambarkan fenomena itu dengan sangat menarik.
Reza Syah (1941-1979) adalah Dinasti Pahlevi yang terakhir. Pada masa-masa awal kekuasaannya, Reza Syah mendapat dukungan dari pemimpin Syi’ah. Namun dukungan dari para ulama mulai berkurang menyusul berbagai kebijakan Reza yang cenderung mengikuti Barat dan bertentangan dengan keyakinan dan identitas Islam. Ketika kekuasaan semakin terpusat di tangan Syah dan kelompok elite sekuler yang berkiblat ke Barat, hubungan ulama-negara pun memburuk. Kaum agamawan dan kelompok pedagang tradisional bergabung dan melibatkan diri dalam isu-isu sosial, ekonomi dan politik rakyat vis a vis birokrasi negara. [33]
Ayatullah Khomeini tampil sebagai suara anti-pemerintah di antara minoritas ulama vokal yang menganggap Islam dan Iran terancam bahaya. Modernisasi yang dijalankan Syah (terutama pembaruan hukum pertanahan dan hak suara bagi perempuan) dan ikatan erat Iran dengan Amerika, Israel, dan perusahaan-perusahaan multinasional, dipandang sebagai ancaman bagi Islam, kehidupan muslim, dan kemerdekaan nasional Iran.
Dari pengasingannya di Prancis, dia terus mengajar, menulis, dan berbicara lantang menentang Syah dan mengutuk kebijakan-kebijakan yang “tidak Islami”. Kaset-kaset dan pamflet-pamflet berisi pidato Khomeini diselundupkan ke Iran dan disebarluaskan melalui masjid-masjid. Revolusi pun berkobar. Khomeini akhirnya menggantikan Dinasti Pahlevi yang telah berjaya lebih dari setengah abad.
Revolusi Islam Iran yang melambungkan Ayatullah Khomeini sebagai simbol perlawanan terhadap Amerika kemudian menghilhami banyak kegiatan yang sama meski dalam format gerakan yang berbeda.
Gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir juga menjadi semacam tipologi dari kebangkitan Islam. Pola gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir tidak hanya menjadi inspirasi bagi gerakan yang sama di berbagai belahan dunia Islam, tetapi tidak jarang dijadikan semacam “pilot project” yang kemudian ditiru oleh umat Islam di negara-negara lain.
Ikhwanul Muslimin didirikan Hasan Al-Banna di Mesir pada 1928. Pada awalnya organisasi ini merupakan respresentasi dari keprihatinan terhadap dunia Islam yang berada dalam cengkraman penjajahan Barat. Bisa dipahami jika gerakan mereka banyak menggunakan jargon anti-kolonialisme, anti-imperialisme, yang belakangan kemudian berubah menjadi anti-Barat.[34]
Ikhwanul Muslimin memang lahir dan besar di Mesir, tapi organisasi ini memiliki cabang di banyak negara. Pada tahun 40-an, Ikhwanul Muslimin sudah membentuk “Departemen Hubungan Antar Dunia Islam”. Bagian ini bukan saja membahas mengenai propaganda, tapi juga mengatur komunikasi antar sesama gerakan dunia muslim. Tak lama kemudian, cabang-cabang Ikhwanul Muslimin dibentuk di Yordania, Suriah, Palestina, Kuwait, Sudan, dan Yaman. Sebagian Ikhwanul Muslimin mulai radikal sejak tahun 70-an yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Sayid Qutb dan Abul A’la Al-Maududi.[35]
Pada abad ke-20, fundamentalisme Islam menjadi fenomena yang cukup mengejutkan. Esposito melukiskan kekagetan pengamat terhadap fenomena ini dalam uraian berikut:
Meskipun Islam diakui sebagai kekuatan yang cukup penting pada saat gerakan abad ke-20, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik sering tidak diperhatikan. Bagi kebanyakan pengamat, Islam hanyalah penghalang perubahan, suatu penghalang yang relevansinya bagi tatanan politik dan sosial akan semakin berkurang. Karena itu, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di dunia Islam tidak dapat dijelaskan oleh para pengamat pada umumnya. Tiba-tiba saja para ahli (baik yang di perguruan tinggi maupun yang di pemerintahan) dan juga media massa tersentak oleh adanya suatu gejala yang diberi nama bermacam-macam, seperti “Kebangkitan Islam”, “Islam Militan”, atau “Kebangunan Islam”. Revolusi Iran, pendudukan Masjidil Haram di Mekah, usaha memperkenalkan sistem Islam (nizham al-Islam) di Pakistan dan juga laporan dari banyak negara Islam mengenai semakin dilaksanakannya ajaran-ajaran Islam (kehadiran di masjid, busana muslim, berpuasa di bulan Ramadhan, dan lain-lain) telah memperkuat dugaan bahwa Islam telah tampil kembali dan menjadi faktor penting dalam perubahan politik dan sosial dalam bentuk yang sukar untuk dijelaskan.[36]
Namun demikian, ada satu benang merah yang dapat ditangkap dari maraknya radikalisme di dunia Islam, yakni respons atas makin kuatnya dominasi dan hegemoni Barat, khususnya Amerika dan Israel, di dunia Islam. Pada awalnya, fundamentalisme Islam muncul sebagai gerakan pemikiran untuk mendefinisikan Islam sebagai sistem politik, mengikuti ideologi-ideologi besar abad ke-20.[37] Mereka berusaha menandingi – dan kalau bisa menggantikan – ideologi-ideologi besar yang berkembang saat itu. Namun, seiring semakin kuatnya hegemoni dan dominasi Barat, apalagi Soviet sebagai simbol ideologi sosialisme kemudian runtuh, maka gerakan Islam kemudian mengambil wujud baru yang disebut Oliver Roy sebagai neo-fundamentalisme yang mencoba memperjuangkan syariat Islam dan melupakan Islam sebagai ideologi politik.
Pada awalnya, gerakan Islam ini merupakan respons terhadap politik domestik yang dianggap tidak aspiratif terhadap umat Islam. Menurut Gilles Kapel,[38] munculnya gerakan radikal dalam islam tidak bisa dilepaskan dari dialektika sosial politik yang terjadi pada saat masyarakat Muslim setelah meraih kemerdekaan dari penjajah. Akan tetapi masalahnya sendiri sudah mulai sejak mereka berjuang melawan penjajahan. Ketika itu peran yang dijalankan oleh kelompok-kelompok Islam sangat signifikan. Organisasi-organisasi keagamaan melancarkan serangan terhadap penjajah. Para ulama mengerahkan pengaruh mereka kepada rakyat dengan mengobarkan perang suci (jihad). Semua ini hampir berlaku umum di negara-negara yang memiliki penduduk muslim. Namun setelah merdeka, Islam ternyata tidak dipakai sebagai simbol pemersatu atau identitas sosial politik, karena yang dipakai adalah sistem negara-bangsa (nation-state) yang oleh mereka dianggap sekuler. Lebih dari itu, sistem ini cenderung menempatkan kelompok agamawan dalam posisi pinggiran. Umumnya negara-negara yang baru merdeka itu dipimpin oleh mereka yang telah mengalami sosialisasi dalam kebudayaan Barat sekuler. Karena mereka lebih siap menduduki posisi dalam institusi sosial modern untuk menjalankan roda organisasi yang baru lahir. Dalam konteks ini, seakan-akan peran dan agenda yang dicanangkan oleh agamawan pada masa perjuangan kemerdekaan tidak diakomodasi secara memadai dalam wadah negara modern.
Dalam kasus Mesir, Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai cikal bakal gerakan Islam radikal di berbagai negara muslim merupakan contoh menarik mengenai hal ini. Sebagai organisasi yang lahir pada awal abad ke-20, Al-Ikhwan al-Muslimun merupakan representasi dari sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi sosial politik yang dihadapi masyarakat muslim Mesir yang waktu itu mulai terbaratkan. Ketika Gamal Abdul Nasser melancarkan revolusi pada 1952, Al-Ikhwan al-Muslimun memberikan dukungan penuh. Akan tetapi, setelah berhasil dan Nasser duduk sebagai presiden, keinginan Al-Ikhwan al-Muslimun untuk menegakkan Islam tidak dihiraukan. Nasib yang sama juga dialami oleh kalangan agamawan di Sudan maupun Aljazair. Mereka lebih banyak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi kepentingan mereka jarang diakomodasi.
Suasana ini semakin memburuk ketika negara-negara yang baru lahir itu tidak mampu membuktikan efektivitasnya. Hampir semuanya mengalami persoalan ekonomi yang sangat serius. Sementara, model kehidupan sekuler semakin menampilkan pola hidup yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional. Krisis yang muncul dalam negara-negara baru ini memberi ruang kalangan agamawan membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada untuk kemudian diganti dengan sistem Islam. Mereka terus menerus berjuang untuk mengganti institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik dengan model Islam.[39]
Menurut Juergensmeyer, radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekuler yang dianggap tidak mampu mengakomodasi aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu, yaitu sekularisme dan materialisme.[40]
Dalam konteks inilah, menurut mereka, diperlukan adanya usaha untuk menghancurkan kehidupan jahiliyah modern dan menaklukan kekuasaan-kekuasaan duniawi melalui jihad, perang suci. Upaya jihad tidak dalam pengertian defensi semata, tetapi tujuan jihad adalah menaklukan semua hambatan penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial dan tradisi-tradisi asing, di mana para mujahidin akan melakukan jihad yang komprehensif, termasuk menggunakan kekerasan. Karena kewajiban jihad disertai dengan imbalan dengan menguasai “seni kematian”, mati syahid.[41]
Gerakan ini memiliki prinsip-prinsip antara lain: Pertama, din wa daulah. Islam merupakan sistem kehidupan yang total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, tempat dan waktu. Pemisahan antara agama (din) dan negara (dawlah) tidak dikenal dalam Islam. Hukum syari’ah dalam Islam bersifat inheren. Al-Quran memberikan syari’ah dan negara berkewajiban menegakkannya.
Kedua, fondasi Islam adalah Qur’an dan Sunnah Nabi dan tradisi para sahabatnya. Ummat Islam diperintahkan untuk kembali pada akar-akar Islam yang awal dan praktik-praktik Nabi yang puritan.
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Ummat Islam diperintahkan untuk menjaga nilai-nilai Islami baik dalam pergaulan dan pembagian peran laki-laki-perempuan, maupun kehidupan sehari-hari. Mereka wajib membentengi diri dari pengaruh budaya asing. Hal lain yang penting dalam mewujudkan kehidupan Islami adalah tegaknya keadilan sosial-ekonomi. Pembangunan ekonomi Islami selain harus meninggalkan sistem riba juga harus memutus ketergantungan kepada negara-negara Barat.
Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syari’at. Tujuan ummat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di bumi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menetapkan tatanan Islam –Nizam Islami—di mana syari’ah sebagai undang-undang yang tertinggi.
Kelima, jihad sebagai pilar menuju nizam islami. Untuk mewujudkan tatanan islami diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh. Sebab mereka harus menghancurkan tatanan jahiliah dan menaklukkan kekuasaan-kekuasaan duniawi mereka melalui jihad perang suci. Tujuan jihad adalah menaklukkan semua halangan yang mungkin akan menghambat penyiaran Islam ke seluruh dunia, apakah halangan itu berupa negara, sistem sosial, dan tradisi-tradisi asing.[42]
Transmisi dari Timur Tengah ke Indonesia
Meluasnya gerakan Islam radikal di dunia Islam, termasuk di Indonesia, bukan semata-mata respons terhadap politik global yang dirasakan tidak adil terhadap umat Islam, tetapi juga karena ada proses transmisi dari Timur Tengah sebagai kawasan yang paling awal melahirkan gerakan radikal ke negara-negara muslim lainnya.
Dalam kasus Indonesia, pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan hal baru dalam sejarah. Semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks keagamaan, pengetahuan dan politik, transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam. Negara-negara yang memiliki kota-kota suci dan pusat ilmu pengetahuan selalu dikunjungi orang Indonesia baik untuk berhaji, ziarah maupun belajar. Dari aktifitas ini kemudian muncul berbagai bentuk jaringan baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah maupun jaringan gerakan politik.[43]
Mennurut penelitian Mona Abaza, a pada periode 1980-an mahasiswa Indonesia di Mesir lebih banyak menyerap gagasan Islam fundamentalis. Pada masa itu, minat baca para mahasiswa diorientasikan kepada pemikiran-pemikiran pemimpin Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Qutb dan pemikir Pakistan kenamaan Abul A’la Al-Maududi. Karya-karya Ali Syari’ati dan Imam Khomeini juga dapat ditemukan dalam daftar bacaan mereka. Selain itu, tulisan-tulisan para tokoh level berikutnya seperti Muhammad al-Bahi, Fahmi Huwaydi (sebelum berubah menjadi lebih liberal), Husein Mu’nis, dan Ahmad Shalabi juga mereka ikuti.[44] Kesaksian seorang alumni al-Azhar menuturkan maraknya kelompok-kelompok Usroh di kalangan mahasiswa Indonesia hingga saat ini dipengaruhi oleh banyak alumni Al-Azhar.[45]
Para alumni Timur Tengah yang telah bersentuhan dengan pemikiran dan gerakan Ihwanul Muslimin memperkenalkan manhaj (metode) dakwah Ikhwanul Muslimin kepada kalangan mahasiswa di Tanah Air. Paska kepulangan mereka dari Timur Tengah mereka banyak diundang pada acara-acara pengajian dan latihan-latihan keislaman di kampus-kampus. Melalui forum-forum inilah mereka mensosialisasikan manhaj baru dan memperoleh sambutan baik dari para mahasiswa.[46]
Selain itu, gerakan penerjemahan buku-buku dari kalangan organisasi-organisasi di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafi juga memuluskan transmisi ideologi, pemikiran, dan platform gerakan ini ke Indonesia. Sejak era 80-an, buku-buku para tokoh gerakan Islam Timur Tengah seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Said Hawwa, Muhammad Al-Ghazali, Yusuf Qardlawi, Syaikh Mustafa Masyhur, Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Albani, dan sebagainya tersebar luas di Indonesia. Buku-buku tersebut sebagian besar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para alumni Timur Tengah.[47] Buku-buku tersebut, menurut Imdad, bahkan menjadi rujukan utama bagi berbagai forum pengkaderan di kalangan pendukung organisasi-organisasi baru tersebut.[48]
Selain melalui alumni Timur Tengah dan penerjemahan buku-buku, gerakan baru ini juga ditransmisikan melalui para veteran jihad di Afghanistan. Kontak mereka dengan para sukarelawan dari Timur Tengah yang sebagian besar adalah pendukung gerakan Islam militan di negara asal mereka memperkenalkan mereka dengan gagasan-gagasan Islam Politik yang bercorak fundamentalis. Kontak ini pada taraf berikutnya berkembang menjadi jaringan komunikasi, pendanaan hingga jaringan organisasi bawah tanah. Jaringan pelaku serangkaian teror bom di berbagai kota besar dan bom Bali adalah wujud nyata dari adanya modus transmisi ini.[49]
Yang nyata-nyata mengimpor pemikiran dari Timur Tengah adalah gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Lasykar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah. Gerakan Tarbiyah pemikirannya sangat dekat dengan IM (Ikhwanul Muslimin), Hizbut Tahrir Indonesia bahkan secara resmi merupakan cabang dari Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat di Yordania. Sedangkan Lasykar Jihad, menurut Hilal[50] yang dikutip Imdad, adalah himpunan dari para aktifis dakwah Salafi yang berjejaring dengan gerakan Salafi di Timur Tengah khususnya Arab Saudi dan Kuwait.[51]
Sementara itu, pada awal tahun 80-an, beberapa mahasiswa yang dikirim Natsir untuk belajar ke Timur Tengah telah kembali ke Tanah Air, di antaranya Abu Ridlo yang belajar di Arab Saudi dan sangat terpengaruh oleh ideologi Ikhwanul Muslimin. Setelah tiba di Tanah Air, ia segera mempromosikan ideologi dan metode dakwah IM di kalangan aktivis DDII.
Ide-ide IM kemudian menyebar ke kalangan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia). Di samping sejarah panjang hubungan dekat antara PII dan para aktivis Masyumi/DDII, kantor Pusat PII berlokasi di kompleks yang sama dengan kantor pusat DDII. Selama periode kepemimpinan Mutammimul Ula (1983-1986), karya-karya terjemahan Qutb terutama Petunjuk Jalan, digunakan dalam latihan kader PII. Buku yang sama juga dijadikan bahan bacaan wajib bagi alumni LMD Masjid Salman.[52]
Melalui LMD yang kemudian berkembang menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK), gerakan tarbiyah (pembinaan dan pendidikan dakwah secara laten) menyebar ke hampir seluruh kampus negeri di Indonesia. Jaringan LDK makin kuat dengan berdirinya Forum Silaturahmi LDK pada tahun 1987 di Masjid Salman ITB. Melalui forum inilah mereka melakukan pertemuan secara periodik. Pada pertemuan kesepuluh yang diselenggarakan di kampus Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 25-29 Maret 1998, yang diikuti oleh 64 LDK dari 69 yang tergabung dalam FS-LDK, mereka sepakat mengubah jaringan LDK menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), mengadopsi lembaga Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang legendaris pada tahun 1966.[53]
Meski gerakan mereka murni bersifat keagamaan, namun bukan berarti mereka tidak memiliki pretensi politis. Terbukti, ketika Orde Baru runtuh, mereka seolah-olah berlomba dalam eforia politik. Di samping mendirikan organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan aspirasi mereka, sebagian di antara mereka juga mendirikan partai politik. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang lahir dari komunitas mereka. Di samping PKS, ada juga Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad Ahlussunnah Waljamaah, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin. Sementara, di lingkungan kampus muncul kelompok yang menamakan diri HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Masa Depan Islam Nusantara
Dengan maraknya kelompok-kelompok puritan jilid II yang mengusung gagasan dan ideologi yang sama sekali berbeda dengan Islam mainstream, masa depan Islam Nusantara sebagai kini tidak mudah diprediksi. Meski kelompok-kelompok puritan ini tidak terlalu besar jumlahnya, namun mereka memiliki semangat, loyalitas, dan militansi yang tinggi – hal-hal yang tidak dimiliki oleh kaum muslim mainstream.
Ancaman kelompok-kelompok Islam puritan terhadap Islam mainstream yang moderat, tentu saja bukan semata-mata karena mereka memiliki semangat, loyalitas dan militansi yang tinggi, tetapi juga karena mereka sangat solid dan mulai melebarkan gerakan dakwah mereka ke sekolah-sekolah. Jika sebelumnya mereka menggunakan forum-forum pengajian, masjid, dan kampus sebagai ajang penyebaran gagasan dan pengkaderan, sejak akhir dekade 80-an mereka mulai aktif masuk ke sekolah-sekolah dengan merevitalisasi lembaga Kerohanian Islam (Rohis). Melalui lembaga inilah mereka menebarkan ideologi dan paham puritan kepada para siswa sekaligus melakukan rekruitmen dan pengaderan terhadap mereka.
Disamping itu, kelompok-kelompok puritan jilid dua juga mulai mendirikan sekolah-sekolah Islam yang perkembangannya kian hari kian pesat. SD IT (Islam Terpadu), SMP IT, SMU IT, adalah contoh kisah sukses mereka dalam dunia pendidikan dasar dan menengah yang sangat diminati oleh masyarakat muslim kota. Mereka juga majalah-majalah yang isinya menyuarakan paham puritanisme mereka. Majalah Sabili adalah salah satu media yang sangat fenomenal. Riset saya mengenai majalah ini pada tahun 2001, oplagnya mencapai kira-kira 100.000 eksemplar, suatu tiras yang tidak pernah dicapai oleh media Islam kelompok mainstream di Indonesia. Sampai sekarang, media-media Islam mainstream bahkan ibarat “hidup enggan mati tak mau.”
Pertanyaannya adalah, bagaimana masa depan Islam Nusantara yang menjadi mainstream Islam Indonesia di tengah “kepungan” kelompok Islam puritan yang semakin mendapat tempat di ruang publik? Tidak ada prediksi yang dapat memberikan jawaban pasti terhadap pertanyaan ini. Meski tidak bisa dikatakan bahwa masa depan Islam Nusantara cukup menggembirakan, namun setidaknya belum ada “tanda-tanda kiamat” bagi Islam Nusantara. Di tengah ancaman yang demikian serius, masih ada harapan bahwa Islam Nusantara masih akan menjadi corak dominan dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Harapan ini setidaknya didasarkan pada beberapa hal.
Pertama, puritanisme dalam pengertian yang ekstrem, keras dan radikal tidak cocok bagi kehidupan masyarakat muslim di Indonesia yang secara umum memiliki karakter moderat, toleran dan akomodatif. Persatuan Islam (Persis) adalah salah satu contoh kecil yang dapat dijadikan cermin. Meski masih tetap bertahan hingga kini, perkembangan kelompok yang paling puritan diantara penganut paham Wahabi awal ini tidak menunjukkan prestasi yang fenomenal, bahkan cenderung mandeg. Ini berbeda dengan Muhammadiyah yang – meski sama-sama menganut Wahabi – lebih moderat dan relatif mampu beradaptasi dengan perkembangan waktu. Bisa dipahami jika Muhammadiyah jauh lebih besar pengaruhnya dibanding kelompok-kelompok puritan awal lainnya.
Kedua, kelompok Islam tradisional memiliki sejumlah pranata yang menjadi penopang bagi keberlangsungan ajaran dan praktik keagamaan mereka. Pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara memberikan andil yang luar biasa bagi upaya ini. Bahkan, sejak dekade 70-an, pesantren juga mulai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal. Bahkan, kini, hampir semua pesantren besar di Indonesia, khsusnya di Jawa, memiliki perguruan tinggi. Bahkan sebagian dari mereka mulai mendirikan Ma’had Aly yang berusaha mencetak santri yang berpengatahuan luas dan mendalami khazanah keislaman klasik tapi juga berwawasan kontemporer.[54]
Ketiga, konstitusi negara ini tidak memberi kesempatan bagi berdirinya Negara Islam seperti yang dicita-citakan oleh kelompok puritan, khususnya puritanisme gelombang kedua yang lahir pada abad ke-20. Akomodasi negara terhadap aspirasi kelompok puritan paling jauh hanya sebatas Perda yang sering diistilahkan sebagai “Perda Syariat”, ini pun jangkauannya terbatas, cenderung tidak efektif dan bahkan sering hanya dijadikan sebagai alat “jualan politik”.
Meski demikian, tentu saja kelompok Islam mainstream harus segera menyadari bahwa kini telah hadir “pesaing” mereka yang suatu saat dapat menjadi lawan serius.[]
Oleh: Drs. Agus Muhammad
——————————————————————–
Agus Muhammad, lahir di Bondowoso, 17 Agustus 1967. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan pesantren sebelum menyelesaikan S1 Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996). Sejak mahasiswa aktif menulis di sejumlah media massa baik lokal maupun nasional khususnya berkenaan dengan isu-isu keagamaan. Menyunting sejumlah buku antara lain Membedah Politik Orde Baru (kumpulan essei Dr Riswandha Imawan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, l996); 17 Tokoh Bicara Halal (Jakarta: Info Halal Multimedia, l997); Demokratisasi dan Demiliterisasi, Wacana dan Pergulatan dari Pesantren (Jakarta: P3M, 2001). Disamping itu juga menjadi kontributor naskah untuk buku Islam di Tengah Transisi (Jakarta: Harian Umum Kompas, 2000), Gus Dur di Istana Rakyat (Jakarta: Lakpesdam 2002) dan Siapa Mau Jadi Presiden (Jakarta: Harian Umum Kompas, 2004). Melakukan penelitian, antara lain, “Jihad Versi Sabili dan Media-media Islam lainnya” (PANTAU, 2001) dan “Islam and Peace Bulding” (ICIP, 2004). Sejak 1999 aktif di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kini menjadi Deputi Direktur Moderat Muslim Society Jakarta.
——————————————————————–
Artikel “Islam Nusantara di Tengah Gelombang Puritanisme” dimuat di Jurnal Tashwirul Afkar edisi 26 th. 2008
———————————————————————
[1] Khaled M. Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Serambi, Jakarta, 2005, hlm. 29.
[2] Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Free Press, Glencoe, 1960.
[3] Ulasan kritis terhadap tesis Geertz dikemukakan antara lain oleh Harsya W. Bachtiar, ”The Religion of Java: A Commentary”, Majalah Ilmu-ilmu Sastera Indonesia 5, 1975; Mark R. Woordward, “The Syari’ah and the Doctrine: Muslim Law and Mystical Doctrine in Central Java, Disertasi University of Illinois, 1985; M.C. Ricklefs, “Six Centuries of Islamization of Java”, dalam Nihemia Levtzion (ed.) Conversion to Islam, New York 1979.
[4] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005, hlm. 5-6.
[5] Agus Muhammad dkk, Modul Fikih Tasamuh, Membangun Toleransi Berbasis Masjid dan Pesantren, P3M Jakarta, 2007, hlm. 40.
[6] Ulasan yang relatif komprehensif tentang gerakan modernis Islam di Indonesia, baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, 1980.
[7] Deliar Noer, Op Cit, hlm. 260-267.
[8] Azyumardi Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 17.
[9] Azra, Op Cit, hlm. 24.
[10] Uka Tjandrasasmita, “The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia”, makalah pada Seminar on Islam in Southeast Asia, Jakarta, 1982; lihat pula George Fadlo Hourani, Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Early Mediavel Times, Princeton University Press, 1951; keduanya dikutip dari Fachry Aly dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Mizan, bandung, 1986, hlm 29.
[11] Hafidz Dasuki, The Pondok Pesantren: An Account of Its Development in Independence Indonesia, tesis MA, McGill University, Montreal Canada, 1974, hlm 5.
[12] Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Op Cit, hlm. 34.
[13] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996, hlm. 123.
[14] Azra, Op Cit, hlm. 18
[15] Sumanto Al Qurtubi, Arus Cina, Islam, Jawa, INSPEAL AHIMSAKARYA PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm. 112-113. Ulasan yang lebih lengkap tentang Wali Sanga, baca Amen Budiman, Wali Sanga: Antara Legenda dan Fakta Sejarah (2 Jilid), Semarang, 1982.
[16] Ulasan yang relatif komprehensif tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, lihat KH Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta 1985.
[17] Jalaluddin Rakhmat, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas”, dalam Al Chaidar (eds.), Islam, Fundamentalisme dan Ideologi Revolusi (Jakarta: Madani Press, 2000), hlm. 16.
[18] Khaled M. Abou el Fadl, Op.Cit., hlm. 61.
[19] Khaled M. Abou el Fadl, Ibid, hlm. 63.
[20] Khaled M. Abou el Fadl, Atas nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Serambi, Jakarta, 2005, hlm.253.
[21]Bahtiar Effendy, “Agama dan Politik: Mencari Keterkaiatan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik”, dalam M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. xvii.
[22]R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet. I, Bandung: Mizan, 1999
[23] Shireen T. Hunter, Politik Islam di Era Kebangkitan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 15
[24] Pembantaian terhadap para ulama Islam oleh kaum Wahhabi digambarkan dalam karya Ibrahim al-Rawi al-Rifa’i, Risalat al-Awraq al-Baghdadiyah di al-Hawadits al-Najdiyyah, Mathba’at al-Najah, Baghdad, 1927, hlm. 34; dikutip dari Khaled M. Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, hlm. 64.
[25] Khaled M. Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, hlm. 79.
[26] Ibid.
[27] Khaled M. Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, hlm. 89-91.
[28] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES Jakarta, 1985, hlm. 60.
[29] Sudah banyak buku yang membahas sejarah NU, beberapa di antaranya adalah Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LkiS Yogyakarta, 1994; Andre Feillard, NU Vis a VIS Negara, LKiS Yogyakarta, 1999; Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952 – 1967, LKiS Yogyakarta, 2003; Dr Ali Maschan Moesa, Islam tradisional, Realitas Sosial & Realitas Politik, Jenggala Pustaka Utama Kediri, 2008; Ahmad Baso, NU Studies (Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal), Erlangga Jakarta, 2006; As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati, LP3ES, Jakarta, 2008.
[30] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Mizan Bandung, 2005, hlm. 282.
[31] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, hlm. 337.
[32] Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2005, hlm. 28.
[33] John L Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem, dan Prospek, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 70-71.
[34] Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, 1996), hlm. 5.
[35] Oliver Roy, ibid.
[36] John L. Esposito, Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 3-4.
[37] Oliver Roy, Op.Cit., hlm. xix.
[38] Gilles Kepel, The Revenge of God (Cambridge: The Polity Press, 1994), dikutip dari Tarmizi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM IAIN Syarif Hidayatullah), hlm. 27-28.
[39] Tarmizi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM IAIN Syarif Hidayatullah), hlm. 30.
[40] Mark Juergensmeyer, The New Clod War?, Religious Nationalism Confronts the Secular State (Berkeley: University of California Press, 1993), hlm. 39.
[41] Shireen T. Hunter, Politik Islam di Era Kebangkitan, hlm. 15.
[42] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, hlm. 154-155.
[43] M. Imdadun Rahmat, Ibid., hlm. 4.
[44]Mona Abaza, “Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al-Azhar”, Islamika, No. Januari-Maret 1994, hlm. 38.
[45]Arsyad Hidayat, “Mencari Islam Alternatif; Perjalanan Seorang Mahasiswa Al- Azhar”, artikel dimuat dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi No.8 Tahun 2000, hlm. 72-88.
[46]Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 97.
[47] Ibid.
[48] Muhammad Imdadun, Op.Cit., hlm. 5
[49]Ibid, hlm. 6.
[50] Syamsu Hilal, Gerakan Dakwah Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2002), hln. 119.
[51] Muhammad Imdadun, Ibid, hlm. 88.
[52] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, hlm. 547.
[53] Yudi Latif, Op.Cit., hlm. 481.
[54] Hasil penelitian Marzuki Wahid dan kawan-kawan, Profile Tradisi Akademik Pendidikan Tinggi Pondok Pesantren, Ma’had Aly (2000).