“We hold ourselves accountable to both those we seek to
assist and those from whom we accept resources.”
– Red Cross Code Principle 9
Pendahuluan
Ketika hendak memulai menulis tema ini, penulis teringat pada pernyataan pedas seorang teman ketika sedang membincang soal peran LSM dalam pembenahan kondisi bangsa. Perbincangan itu terjadi pada kisaran tahun 2004, ketika penulis masih aktif di P3M Jakarta. Dengan ketus, seorang teman-jelata itu menyatakan, “Kamu ini ngomong LSM mewakili rakyat, rakyat yang mana? Saya tidak merasa terwakili sama sekali. Kamu itu kerja, kerja padafunding, untuk kepentingan orang lain, orang luar!”
Pernyataan teman tersebut penulis sodorkan untuk membantah asumsi bahwa kegerahan terhadap LSM ini semata dimunculkan oleh pemerintah, para politisi, atau militer yang terpojok atas desakan-desakan pendampingan kawan-kawan LSM. Termasuk angka tahun 2004, itu saya sodorkan untuk menganulir bahwa kegerahan terhadap LSM semata terjadi di era Orde Baru.
Hal ini penting disampaikan untuk mendudukkan soal bahwa eksistensi LSM masih berada di menara gading. LSM masih belum betul-betul berhasil merebut jantung-hati masyarakat. Bahkan di mata teman-jelata itu, LSM hanya menjadi tangan panjang ekspansi pihak luar negeri.
Dari situ kemudian terbersit di hati penulis bahwa ada sesuatu yang kurang (untuk tidak mengatakan salah) di tubuh LSM yang menyebabkan kredibilitasnya tidak bersinar terang.
Titik Lemah LSM
Dalam praktik kehidupan demokrasi, aktivitas LSM terkesan masih retorik dan belum menjelma ke dalam perilaku dan tatanan organisasi. Paling tidak ada beberapa masalah yang menggelayuti akuntabilitas organisasi-organisasi non-pemerintah di Indonesia. (Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM, CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003).
Pertama, LSM belum secara kokoh berdiri atas dasar sistem kinerja organisasi atau kekuatan kelembagaan, tapi masih mengandalkan figur sentral seorang tokoh atau orang terkenal di dalamnya. Tidak jarang LSM tersebut hanya dikenal karena memiliki sosok publik figur. Tradisi ini amat kentara. Contoh, P3M tidak pernah lepas dari pribadi KH. Masdar F. Mas’udi, LBH dari sosok Adnan Buyung Nasution, Kontras dengan sosok Munir, KEHATI dengan figur Emil Salim, ICW akan menuju ke sosok Teten Masduki, dan lain-lain.
Dalam konteks organisasi, kultus individu tersebut tidak sehat bagi pengembangan kapasitas organisasi. Fenomena peran sentral individu hanya melahirkan kekuasaan oligarki yang berpusat pada sosok tokoh. Selain itu, proses regenerasi berjalan lambat. Sehingga tidak jarang pasca si tokoh pensiun, organisasi non-profit tersebut mengalami mati suri oleh sebab tidak terbinanya kreativitas organisasi dan pola regenerasi.
Kedua, aspek normatif. LSM mengalami hambatan aturan internal maupun legal formal, yaitu payung hukum yang menaungi geraknya. Banyak dijumpai lembaga yang belum menetapkan aturan main internal bagi pengembangan proses demokrasi. Tidak jarang manakala terdapat konflik di tingkat internal, maka AD/ART menjadi instrumen pembenar dalam mempertahankan posisi dan mengeliminasi oposisi di tubuh LSM. Banyak LSM yang belum mempunyai SOP (Standard Operational Procedures) yang menjadi sebab tata-kelola organisasi tidak jelas dan lemahnya
sistem administrasi.
Ketiga, manajemen organisasi dan implementasi program kerja. Banyak LSM yang belum terbuka dan mempertangungjawabkan kondisi dan perkembangan yang dicapai melalui laporan publik secara berkala dan terbuka. Secara psikologis ini meninggalkan kesan kepada konstituen bahwa mereka hanya menjadi obyek pasif yang dimanfaatkan untuk penggalian dana.
Dalam satu rapat pengurus suatu organisasi, penulis pernah bertanya kepada hadirin perihal kepada siapa organisasi tersebut bertanggungjawab. Belasan menit lamanya kami kebingungan, hingga muncul beberapa jawaban: (1) kepada dewan pembina, (2) kepada funding atau donor, (3) kepada konstituen. Ketika ditanya konstituen mana yang bisa meminta pertanggungjawaban dan dalam bentuk apa, kami semua kembali kebingungan, hingga kemudian lahir kesepakatan bahwa pertanggungjawaban diberikan kepada pihak donor dengan asumsi dasar anggaran diberikan oleh donor.
Keempat, ketidakjelasan konstituen. Hampir semua LSM mengklaim sebagai wakil masyarakat, namun di sisi lain, seperti pernyataan pedas teman-jelata di atas, tidak jarang masyarakat yang diwakili tidak merasa sama sekali. Ini menunjukkan rendahnya partisipasi konstituen yang notabenenya adalah kelompok yang paling berhak merumuskan apa yang mereka butuhkan. Lebih parah lagi, ketika LSM justru membodohi masyarakat dengan menyelewengkan hak-hak konstituen untuk kepentingan individu.
Hemat penulis, titik sentral akuntabilitas dan transparansi organisasi nonpemerintah, oleh sebab mengatasnamakan masyarakat, sepatutnya bertanggung jawab kepada konstituen. Kesepakatan organisasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban diberikan ke donor adalah salah satu wujud dari belum meresapnya hak-hak konstituen.
Kelima, ketergantungan pada dana dari donor asing. Suka atau tidak harus diakui, secara historis kelahiran LSM di Indonesia adalah untuk ‘menangkap’ dana-dana asing, bukan berasal dari donasi para muzakki yang menyisihkan kekayaannya untuk aktivitas sosial. Tidak heran apabila terjadi banyak penyelewengan, dengan asumsi oleh sebab lemahnya motif pemihakan sosial-kemasyarakatan. Kondisi miris pernah penulis alami pasca tsunami Aceh. Penulis pernah diajak untuk mendirikan sebuah LSM di Aceh berlandaskan asumsi donor asing sedang fokus di sana. Ajakan itu mengindikasikan bahwa tidak sedikit LSM yang berdiri tanpa landasan kokoh dari segi ide-gagasan maupun pemihakan pada masyarakat.
Untuk menjembatani ketergantungan ini, hemat penulis perlu ada pemikiran serius bagi upaya pemandirian sebuah LSM, paling minimal adalah pemandirian anggaran untuk biaya rutin kantor. Hal ini memang tidak mudah, namun upaya wujudnya dana abadi untuk pemandirian LSM bukanlah hal yang mustahil.
Contoh sederhana yang penulis sodorkan adalah: jika suatu LSM mempunyai lahan garap yang bisa menampung 2.400 pohon sengon, maka hampir bisa dipastikan anggaran rutin kantor, semisal biaya air dan listrik, selama setahun tercukupi. Lima tahun pasca tanam, pohon sudah bisa dipanen. Harga sengon usia lima tahun pada saat sekarang adalah sekitar @ Rp350.000,-. Jika setiap tahun dipanen 200 pohon, maka akan ada anggaran sebesar Rp70.000.000,-. Dibagi 12 bulan menjadi sekitar Rp5.800.000,-, sebuah angka yang besar yang bisa mencukupi biaya bulanan rutin kantor.
Akuntabilitas Organisasi
Dalam memaknai akuntabilitas penulis merujuk pada HM Rusli Zainal dalam buku Kritik & Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, bahwa akuntabilitas dapat disimpulkan sebagai kewajiban menjawab dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang atau badan hukum suatu organisasi kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban dan
keterangan dari yang bertanggungjawab.
Deklarasi Tokyo tahun 1985 memberikan arahan sebagai suatu kewajiban dari individu-individu atau otoritas yang dipercaya mengelola sumber-sumber daya publik untuk memberikan keterangan sejelas-jelasnya, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ledvina V. Carino mengatakan, sebagai sebuah evolusi kegiatan yang dilaksanakan oleh seseorang atau kelompok orang yang berada pada jalur otoritas untuk dapat mempertanggungjawabkan secara benar sesuai dengan tugasnya. Dalam buku yang sama Adhi Santika memberikan rincian menarik hal-hal apa yang semestinya menjadi fokus akuntabilitas.
Pertama, aspek finansial. Aspek ini merupakan hal yang sangat urgen dalam proses akuntabilitasi organisasi. Tanpa akuntabilitas keuangan, di samping akan menjadi sarang korupsi juga akan memerosotkan citra dan kredibilitas organisasi. Kepercayaan donatur dan konstituen akan luntur dengan sendirinya. Di sini, yang perlu dijembar secara terbuka adalah mengenai alur masuk dan alur keluar setiap anggaran secara berkala.
Kedua, operasi kinerja internal. Informasi perihal ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja LSM sudahon the track (sesuai platform rencana strategis) untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Selain itu, informasi ini dibutuhkan untuk koreksi dan kritisi bagi upaya perbaikan secara terus-menerus.
Ketiga, kepuasan staf. Staf merupakan aset utama lembaga yang harus dikelola dengan baik. Staf adalah penggerak organisasi, karenanya menempati posisi strategis dalam upaya pencapaian keberhasilan program organisasi. Kesadaran LSM di ranah ini masih sangat lemah, sehingga staf, khususnya staf administrasi, tidak jarang diposisikan sebagai robot yang harus menjalankan ini-itu semata atas perintah atasan. Paradigma baru bahwa staf adalah aset utama akan memberikan dampak positif, karena staf betul-betul akan merasa ‘di dalam’ dan ‘terlibat’ karenanya ‘ikut
bertanggungjawab’. Tanggung jawab organisasi di sini adalah menyediakan akses bagi pemberdayaan kapabilitas staf, baik secara individu maupun tim.
Keempat, kepuasan konstituen. LSM tidak beroperasi di ‘ruang hampa’, tapi di tempat nyata dengan tujuan dan sasaran yang nyata pula. Artinya, seluruh kegiatan LSM seyogianya selalu berinteraksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah konstituen yang diatasnamakan. Di sini mengandung pengertian bahwa konstituen bukanlah objek pasif, tapi subjek perubahan yang berhak menentukan wujud perubahan bagi dirinya. Sehingga dapat diketahui apakah kinerja LSM itu sudah tepat-sasaran, dalam artian apakah sudah mengentaskan problem-problem konstituen, atau belum. Ketika konstituen sudah merasa problem-problemnya terentaskan, dengan sendirinya tuduhan LSM adalah kepanjangan tangan asing akan terbantahkan.
Dalam membangun kepuasan konstituen, hal yang paling sering dilupakan adalah lemahnya pola komunikasi. Tidak sedikit LSM yang tinggal gelanggang nyolong mlayu, habis program, habis hubungan. Dalam proses kinerja pun banyak LSM yang tidak menyediakan akses interaksi-intensif, utamanya dalam hal komplain konstituen. Karenanya, patut dibangun sebuah pola hubungan dua arah dengan menyediakan akses untuk partisipasi konstituen dalam berbagai bentuknya.
Transparansi Organisasi
Transparansi merupakan kunci yang sangat penting dalam proses akuntabilitasi organisasi. Transparansi menjamin bisa diaksesnya hal-ihwal organisasi berikut kinerjanya bagi kepentingan pengawasan publik. Transparansi meniscayakan informasi-informasi penting dan mendasar tentang organisasi, seperti perihal tujuan, ideologi, mekanisme kerja dan tata-kelola organisasi, utamanya arus dana masuk-keluar dapat diawasi oleh publik. Tanpa transparansi mekanisme tanggung gugat atau kontrol publik tidak akan berjalan.
Paling tidak ada beberapa hal yang mesti diketahui oleh publik, yaitu dokumen lengkap AD/ART, arus masuk-keluar anggran, mekanisme pengawasan internal, dan mekanisme pengawasan eksternal.
Hal yang paling sering menjadi dilema organisasi-organisasi di Indonesia adalah dalam soal transparansi anggaran, terlebih lagi LSM. Bahkan, tidak sedikit LSM yang sama sekali tidak transparan, baik oleh sebab tata-kelola administrasi yang kacaubalau, maupun oleh sebab kesengajaan. Seperti kita tahu, tidak sedikit LSM di Indonesia yang pengurus intinya adalah kerabat dekat. Hal ini menjadikan LSM menjadi sasaran empuk caci-maki pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh LSM yang bersangkutan.
Hal demikian pula yang membenarkan anggapan ambivalensi, bahkan standar ganda, LSM: Ke pihak lain teriak-teriak demokrasi dan transparansi, namun dirinya sendiri tidak transparan tak pula demokratis. Teman-jelata bilang, “LSM itu persis agen bus malam, teriak naik-naik, tapi dirinya sendiri berdiri saja di pinggir jalan.” Oleh karenanya, transparansi anggaran merupakan tantangan serius yang harus dijawab oleh LSM.
Manfaat Akuntabilitas
Beberapa keuntungan dari akuntabilitas sebuah lembaga organisasi non pemerintah antara lain:
- Akuntabilitas mampu menjawab pertanyaan siapa yang paling diuntungkan dengan program-program LSM, oleh karenanya secara langsung maupun tidak akan meningkatkan kredibilitas LSM.
- Akuntabilitas berpotensi positif untuk meningkatkan kepercayaan dan komitmen dari para pemangku kepentingan karena dapat membuktikan efektivitas organisasi dan menunjukkan organisasi yang mewakili. Hal demikian meningkatkan legitimasi LSM.
- Akuntabilitas dapat meningkatkan kinerja organisasi dan pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat, baik staf maupun konstituen.
- Akuntabilitas dapat membantu counter kritik bahwa LSM adalah tidak demokratis dalam pengambilan keputusan, serba rahasia, tidak memiliki standar yang ketat seperti organisasi pemerintah.
Sebagai paragraf akhir dari tulisan ini, ada baiknya penulis kutipkan pernyataan Epstein, co-authored buku Counting What Counts (Perseus Books, 1999) dengan Bill Birchard. Dikatakan bahwa kekuatan akuntabilitas masih tidak diperhitungkan alias dicueki. Menurut Epstein, tes yang layak terhadap akuntabilitas itu spesifik: Organisasi harus mengukur penampilannya secara kuantitatif, finansial dan nonfinansial, lalu melaporkan secara luas seluruh proses dan hasil kinerja kepada konstituen, baik di dalam maupun di luar organisasi. Pertanggungjawaban satu pihak kepada pihak lain tidak cukup hanya secara kualitatif. Akuntabilitas meniscayakan data.*
Oleh Ali Sobirin
Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)