Selamat Idul Fitri 1446H
OpiniPilihan Editor

Menguak Pemikiran Kitab Kuning

219
×

Menguak Pemikiran Kitab Kuning

Sebarkan artikel ini
ilustrasi
KH. Masdar F. Mas`udi
KH Masdar Farid Mas’udi

P3M.OR.ID. Tidak jelas dari mana asal mulanya istilah Kitab Kuning (seterusnya disingkat KK) dan mengapa. Hanya dalam kegunaannya, istilah itu lazim dipakai untuk menunjuk karya-karya tulis (kitab;Arab) yang disusun oleh para ulama beberapa abad yang lalu, dan karena itu pula yang sering disebut kitab kuno. Pada umumnya, kitab-kitab itu meskipun dari sudut kandungannya cukup komfrehensif dan dapat dikatan akademis, tapi dari sisi sistematikanya masih sangat sederhana–tidak mengenal tanda bacaan seperti: titik, koma, tanda tanya dan sebagainya. Peralihan dari subtopik ke subtopik lain, bukan dengan menggunakan sistem alinea baru, tapi dengan pasal-pasal atau kode-kode sejenis seperti : tatimmah, muhimmah, far’un, tanbihun, dan sebagainya.

Ciri lain dari penjilidan kitab ini biasanya dengan sistem koras. Dimana, lembar-lembarannya dapat di pisahkan sehingga memudahkan para pembaca untuk menelaahnya sambil santai atau tetiduran, tanpa harus menggotong semua kitab yang kadang mencapai ratusan halaman. Surat kabar, satu-satunya jenis bacaan masa pada masa kini adalah penganut model korasan yang paling fanatik.
Dikalangan masyarakat pesantren, kedudukan KK ini saling melengkapai dengan kedudukan kiai. KK merupakan kodifikasi tata nilai yang dianut masyakat pesantren, sedang kiai adalah personifikasi yang utuh (atau yang seharusnya) dari sistem nilai-nilai itu. Keduanya hampir-hampir tak terpisahlan. Seorang kiai bari disebut kiai, apabila dia benar-benar telah memahami dan mendalami isi ajaran-ajaran yang terdapat dalam KK, dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Kadar kedalam dan pengalaman terhadap KK adalah salah satu criteria yang paling refresentatif untuk mengukur derajat seorang kiai atas kiai lain3 Dan di mata para santri – meskipun sekarang tidak dominan–suatu KK akan dijadikan pedoman berfikir atau tingkah laku apabila telah dikajikan di hadapan kiai, atau sekurang-sekurangnya sang kiai panutan telah menyatakan ijazah (izinya) untuk itu. Inilah sebabnya, mengapa seorang santri (senior) yang telah mampu membaca sendiri kitab-kitab, acapkali masih tetap merasa perlu mengkajinya di hadapan seorang kiai yang menurut si santri telah mengejawantahkan isi kandungan dan piwulang (ajaran) kitab yang akan di kajinya itu.
Tapi, apa yang ingin penulis kemukakan disini bukanlah gambaran dari konsep pemikiran seluruh kitab yang dapat dikategorikan sebagai KK, ada dua alasan mengapa itu tidak mungkin, setidak-tidaknya bagi penulis sendiri. Pertama, karena jumlah kitab kuning itu sendiri sangat banyak. Kedua, aliram, faha, madzhab yang di anut oleh KK pun sangat beragam. Syahdan, jika di sebut KK di dalam tulisan ini, maka maksudnya adalah KK yang beredar secara merata di kalangan masyakarat pesantren. Inipun sesungguhnya belum berarti hambaran yang bisa dikemukakan di  sini dapat di generalisasikan kepada semua kitab-kitab itu. Sebab, meskipun dari pola pikir dan  pandangan yang kurang lebi sama, tapi sejauh mana kitab suatu kitab dapat di katakana populer di kalangan masyarakat pesantren, kriterianya pun berbeda-beda. Ada kitab yang di kalangan awam pesantren populer, tapi di kalangan elite (khawas)-nya tidak; dan sebaliknya. Kendatipun seperti dikatakan di atas, khawas itu panutan si awam, dan khawas sendiri adalah pencerminan dari kitab-kitab yang di bacanya.
Di kalangan masyarakat pesantren masih tetap keyakinan kokoh bahwa ajaran-ajaran yang dikandung dalam KK tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah, artinya ajaran-ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan tidak ketinggalan sebagai unsur pelengkap adalah piwulang-piwulang luhur dari ulama-ulama salaf  yang saleh. Relevan, artinya, bahwa ajaran-ajaran itu masih cocok dan berguna untuk meraih kebahagiaan hidup kini, maupun ‘nanti’. Disinilah letak perbedaan antara masyarakat pesantren yang tradisional dan masyarakat Islam lain yang di sebut ‘modern’. Dokhotomi ini, belakangan masih banyak mendapat kritik. Masyarakat pesantren, pengikut KK, mempercayai bahwa pedoman hidup adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tapi mereka hanya akan mempedominya melalui tafsiran-tafsiran dan penjabaran-penjabaran yang telah diupayakan oleh ulama-ulama terpercaya di masa lalu. Sementara kelompok lain yang disebut kelompok ‘modern’ ingin mempedomani kedua sumber itu, bukan dengan alat bantu tafsiran ulama-ulama tadi, melainkan melalui tafsiran-tafsiran atau penjabaran-penjabaran yang di upayakan sendiri. Dengan lain perkataan, perbedaan itu kurang lebihnya  hanya berkisar pada soal cara, bukan pada tujuan. Tapi dengan latar belakang ini, maka kelompok berpredikat ‘modern’ itu hampir-hampir tidak dapat memberikan apresiasi terhadap KK, juga para ulama yang telah menyusunnya, sesuatu yang bertolak-belakang dengan sikap masyarakat pesantren yang ‘tradsional’ itu.
Sebagai sistem ajaran yang komprehensif, cakupan KK secara keseluruhan meliputi berbagai aspek yang sangat luas, baik yang mencakup keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, maupun yang berupa pandangan (outlook) dan data nilai kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, yang kesemuanya itu diharapkan bermuara pada satu tujuan, yakni terbentuknya suatu kualitas manusia yang berahlak mulia (insan kamil) baik terhadap Tuhan, diri sendiri maupun terhadap sesama.
Dalam mendekati masalah akidah khususnya yang berkaitan dengan aspek ketuhanan, KK sepakat mengikuti prinsip-prinsip ajaran Sunniy seperti yang telah disrumuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935) dan Imam Muhammad al-Maturidi (825-944). Madzhab ini, dari sudut substansi ajaran bersifat ortodoks, tapi dari segi pendekatannya telah bekerjasama cukup jauh dengan dialektika Greek (Yuni, ed). Inilah mengapa pada mulanya ajaran aAsy’ari ini dipandang curiga oleh umat. Adalah al-Ghazali dengan karya-karyanya, terutama Ihya’ Ulum al-Din, yang telah membuat faham Asy’ari menjadi popular dan akhirnya praktis merupakan system teologis satu-satunya yang dikenal dan diterima hampir di seluruh dunia Islam, tak terkecuali masyarakat pesantren.
Kecuali yang beredar di kalangan khawas seperti kitab siraj al-Thalibin, karya Syeikh Dahlan, Ihya’ Ulum al-Din sendiri dan untuk kalangan yang sedikit lebih terbuka seperti kitab al-Khusun al-Hamidiyah, kebenyakan KK tidak memberikan pembahasan yang berbelit dan abstrak dalam soal-soal ketuhanan. Berbeda dengan KK untuk kalangan Khawas dan karya-karya yang lain dari kalngan peminat filsafat, KK yang berpopuler tidak tertarik untuk berspekulasi, misalnya apakah Tuhan itu substansi (dzat) atau bukan. Dengan semangat taslim, pasrah mereka mengikuti petrunjuk sebuah Hadits yang mengatakan: “berfikirlah tentang mahluk Tuhan, jangan berfikir tentang dzat-Nya, kalian bisa celaka.”3 Cukup dikatakan, bahwa Tuhan adalah Dzat yang sangat unik, mukhalif li al-Hadits, tak ada di langit maupun di bumi yang menyerupai-Nya. Tuhan adalah dzat yang tan kinaya ngapa; tidak terkait dengan dimensi dan waktu; ia berada diluar jangkauan pemikiran dan angan-angan manusia.3
Mengikuti rumus al-Asy’ari yang kemudian dilengkap Abu Bakr al-Baqilani (w. 1012,) KK selalu memasuki pembahsan perihal ketuhanan dengan mengurai apa yang disebut dengan sifat wajib  yang 20, sifat muhal (muhal) juga, dan satu sifat jaiz (pilihan) yakni kebebasan bagi Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang mungkin (possible thing)3
Sedikit terpengaruh oleh para pendekatan falsafi yang dipakai oleh al-Asy’ari dan al-Ghazali ketika berpolemik dengan lawan-lawannya dari kalangan ahli filsafat, KK ikut menggaris bawahi kegunaan dalil aqli (reasoning) disamping dalil naqli dalam menerangkan sifat-sifat ketuhanan, meskipun tetap dalam penampilan yang sederhana. Dalil aqli adalah argumentasi yang diramu dari kebenaran-kebenaran logis, sedang dalil naqli ialah dalil yang disusun atas dasar kebenaran-kebenaran wahyu, al-Qur’an dan al-Hadits.
Jika pemikiran spekulatif telah dibatasi untuk soal-soal ketuhanan, maka tidak hanya untuk soal-soal yang menyangkut kemakhlukan, dan rahasia penciptanya. Kitab Daqaiq al-Akhbar (berita yang unik), karya Ahmad Muhammad Yunus Langka, barangkali merupakan KK yang cukup popular yang paling pantastik dalam mengurai rahasia penciptaan semesta. Menurut kitab ini, asal mula segala sesuatu (mahluk) di jagat raya ini adalah Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Untuk memproses penciptaan alam semesta ini, Allah menciptakan sebuah ‘pohon’ yang diberi nama pohon Muttaqien. Pada pohon ini Nur Muhammad disemayamkan selama 70.000 tahun sambil terus menerus memuji nama Tuhannya. Setelah itu, Allah menciptaka sebuah cermin yang diletakan di hadapan Nur Muhammad. Rupanya ia pemalu; melihat gambar dirinya, tiba-tiba ia berkeringat. Dari tetesan-tetesan keringatnya itulah Allah menciptakan para nabi, para sahabat, Muhamad SAW., dan segala ujud yang ada. Nur Muhammad itu kemudian mengerlingkan matanya lima kali; dan itulah asal mula kewajiban shalat lima waktu.4
Cerita pantastis ini agaknya sulit dicarikan pembenarannya dalam al-Qur’an, beberapa Hadits Nabi yang kurang populer dikalangan awam. Misalnya, suatu ketika Nabi berkata kepada Jabir (seorang sahabat yang cukup menonjol) ; “Wahai Jabir, mahluk pertama yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, dari cahaya itu Allah menciptakan segala sesuatau yang ada, termasuk dirimu”.
Dalam Hadits lain dikatakan:
“Aku datang dari Allah, dan orang-orang mukmin dariku. Allah menciptakan ruh Muhammad dengan Dzat-Nya dan menciptakan segala yanag ada dari cahaya Muhammad . .. Wahai Jabir, Allah menciptakan cahaya nabimu langsung dari cahaya Diri-Nya, sebelum diciptakan yang lain-lain. …Aku adalah pangkal dari segala jiwa, sedang Adam adalah pangkal segala Raga”.3
Untuk mendukung konsep ini, dikutip ayat al-Qur’an yang mengatakan “sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang memperjelas.” (QS. Al-Maidah[5]:15).  Cahaya disini di artikan dengan “Nur Muhammad”. Tapi perlu dicatat, bahwa konsep penciptaan tadi bukan satu-satunya yang dianut KK. Selain konsep Nur Muhammad, ada yang mengatakan, bahwa segala mahluk adalah Lauh (papan); ada yang mengatakan Qalam (pena) dan ada pula yang mengatakan Lauh dan Qalam.4
Syahdan, setelah langit dan bumi diciptakan, Allah berkehendak memakmurkannya dengan menciptakan Adam, bapak seluruh umat manusia. Adam dititahkan Tuhan dari tanah liat, yang diambilkan dari berbagai bagian bumi yang berwarna-warni. Itulah mengapa mahluk manusia yang berkembang biak darinya mempunyai warna kulit yang berbeda-beda.3 segera setelah Allah meniupkan ruh-Nya kedalam tubuh Adam, ia bangkit berdiri. Hal ini merupakan bukti awal bahwa manusia manusia memang suka tergesa-gesa.4 Akan tetapi Allah, menghendaki agar Adam sebagai Khalifah Tuhan di atas bumi merupakan mahluk yang paling mulia diantara mahluk-mahluk lainnya. Maka kepada Adam, Allah menganugerahkan sesuatu yang tidak diberikan kepada mahluk lain yang manapun termasuk malaikat, yaitu ilmu atas asma  (definisi). Demi keunggulannya ini, Allah menitahkan kepada malaikat untuk sujud kepada adam; dan merekapun sujud kecuali iblis.3 Suatu isyarat bahwa sejak mula, iblis telah menyatakan bahwa dirinya adalah musuh bubuyutan bagi manusia. Tapi kebanyakan mereka tidak menyadari, tak terkecuali adam sendiri. Hal ini terbukti ketika Adam bersama pasangannya, Hawa, tinggal di dalam surga, godaan iblis agar mereka mau memakan buah huldi ternyata tetap ditanggapi positif, kendatipun sebelumnya, Adam-Hawa telah diwanti-wanti Tuhan untuk tidak mendekati buah itu. Akibatnya, Adam dan Hawa diusir dalam keadaan terpisah satu dari yang lain selama lebih kurang 930 tahun. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah diterima taubatnya, dipadang Arafat.6
Tidak seperti tafsiran para cendekiawan mutakhir terhadap proses kejadian manusia pertama (Adam) yang allegoris, maka KK cenderung melihat proses itu sebagaimana adanya. Tidak tampak semangat yang sungguh-sungguh untuk mecoba menari makna dan fungsi kekhalifanhan yang dipikulkan kepada Adam sebagai fungsi yang juga harus dipikul oleh umat manusia secara keseluruhan. Di mata KK, hampir-hampir tidak dikenal sebutan lain untuk manusia kecuali sebagai hambal Allah  yang harus selalu tunduk dan patuh kepada segala perintahnya-Nya dan ridla terhadap segala kehendak-Nya. Mungkin sikap tawadlu (merendahkan hati) sebagai salah satu perwujudan akhlak yang mulia yang telah meredusir keberanian KK untuk meletakan manusia dalam kedudukan sebagai khalifat (wakil) disamping pada waktu yang sama juga hamba Allah. Kalau saja istilah khalifatullah harus ditolelir, maka itu terbatas untuk orang-orang tertentu yang memiliki posisi yang menentukan (decisive position) dalam kehidupan umat, seperti para raja atau sultan.
Ditarik lebih jauh kebelakang, maka tampak, segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini telah ditentukan oleh Allah. Inilah yang disebut qadr, taqdir yang menurut ajaran Sunniy merupaka satu dari enam perkara yang di imani oleh setiap Muslim.5 Jika dalam kenyataannya harus juka diimani adanya tuntutan pertanggungjawaban manusia atas segala amal yang diperbuat, maka hal ini diterangkan dengan apa yang disebut konsep iktisab dari al-Asy’ari. Konsep meyakini bahwa manusia tidak punya kewenangan atau  kekuatan apapun untuk mewujudkan kebaikan dan keburukan. Tapi manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kebaikan/keburukan mana hendak ia kerjakan kebaikan/keburukan mana hendak ia tinggalkan. Proses  penentuan ini dalam bahasa agama disebut niat. Kewenangan manusia untuk menyatakan niat itulah yang membuat manusia bertanggungjawab atas amal perbuatannya.7 Sementara itu, niat adalah amaliah hati-nurani yang gerak-geriknya ditentukan oleh kualitas keimanan dan sentuhan bimbingan Tuhan (taufiq). Maka di mata KK, taufiq Allah adalah yang sangat berharga, melebihi segalanya.
Sebagai hamba, maka capaian yang paling agung bagi manusia, menurut KK, adalah ridla Allah. Tinggi rendahnya suatu amal akan ditentukan oleh sejauh mana amal itu conform  dengan upaya meraih ridla Allah itu. Dalam konteks ini dikenal ada tiga kesadaran bagi manusia sebagai hamba mengabdi kepada Allah. Pertama mereka yang pengabdiannya di motivisir oleh kekuatannya terhadap siksa. Inilah orang-orang yang merasa cukup hanya dengan menjalankan yang wajib dan menjauhi yang haram. Kedua, adalah manusia yang pengabdiannya lebih didorong oleh keinginan mengejar pahala. Kelompok ini tidak merasa cukup hanya mengerjakan yang wajib, tapi juga yang sunnah; dan tidak hanya menjauhi yang haram, tapi juga yang makruh. Dan ketiga,  adalah manusia yang tidak lagi menghitung soal pahala atau siksa, karena itu mereka akan tampil lebih sempurna, (perfect); semua yang mendatangan ridla Allah akan dikerjakan, karena Dia. Yang terakhir ini yang paling tinggi, dimana para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang saleh berada.4
Sebagai mahluk utama, manusia dapat menjalin komunikasi langsung dengan Tuhan, sebagaimana Firman-Nya, “Waidza sa’alaka ibadi ‘ani faini qarib, ujibu da’watad-da’i ida da’ani/ Jika  hamba-hamba-Ku tanya kepadamu tentang Aku, katakanlah (Muhammad) bahwa aku ini dekat. Aku memperkenankan do’a yang berdo’a kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 186).
Juga ayat,
“… Wanahnu aqrabu ilayhi min habli al-qarid/… Aku lebih dekat kepadanya (manusia) dari pada urat nadinya sendiri.” (QS. Al-Qaf[50]: 16 ).
Dengan hati menunduk, KK menyatakan tashdiqnya terhadap penegasan ayat-ayat tadi. Tapi sikap tawadlu ‘nya tidak bisa membuatnya tinggi hati untuk mengatakan bahwa setiap do’a, atau sekurang-kurangnya, sebagian besar dari do’a-do’a, selalu akan dikabulkan oleh Tuhan. Dimata KK, tetap terasa lebih sopan untuk mengatakan bahwa sebagian besar manusia terlalu kotor untuk dapat memastikan do’a-do’anya dikabulkan oleh Tuhan. Allah memang maha dekat sekaligus Dia adalah Yang  Maha Suci, dan karenanya hanya bisa didekat oleh hamba-hamba-Nya yang berhati suci juga. Inilah pangkal dari lahirnya konsep tawasul, yang memohon kepada Tuhan dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci, dank arena itu ia memilki tingkat kedekatan yang khusus di hadapan Allah.4 Nama-nama suci yang dimaksud bisa para nabi, teristimewa Nabi Muhammad SAW. Dan orang-orang yang dianggap sebagai waliyullah (kekasih Allah). Kesucian digapai dengan ketaqwaan kepada Tuhan.
Bagi KK, prinsip ini sama sekali tidak betentangan dengan prinsip lain bahwa pada dasarnya manusia itu lahir dengan derajat yang sama, yang refleksinya dalam kehidupan sehari-hari berarti bahwa warna kulit (ras), status kelamin (gender), status sosial, dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kualitas derajat hakiki dari manusia. Perbedaan derajat seorang dari yang lain hanya hanya ditentukan oleh kualitas taqwanya. (QS. Al-Hujarat[49]:13). Banyak juga dikutip Hadits Nabi yang, antara lain:
“Sorga untuk orang yang saleh, tak  peduli diaitu hanya seorang budak Habsyi (kulit hitam). Da neraka itu untuk orang yang fajir (culas), tak peduli dia itu dari bangsawan Quraisy… Semua kamu adalah turunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah liat. Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab atas bangsa-bangsa lain kecuali karena Taqwa. ”6
Pantulan logis dari prinsip kesamaan derajat (egalitarian) adalah aras persaudaraan dengan sesama. “tidak sempurna iman seorang hamba selagi belum mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri. Seorang yang memutuskan tali persaudaraan diantara sesama kemudian mati tanpa penyesalan, maka sekakan dia mati dalam kekufuran. “Hadits-hadits semisal banyak sekali dikurip oleh KK.4” Pernyataan rasa saudara itu tidak saja harus dibuktikan di waktu hidup. Sunnah hukumnya menengok orang yang sedang sakit, dan rafdlu kifayah hukumnya mengantar sampai di kuburan jenazah teman yang mati.
Dalam kenyataannya, tali persaudaraan sering mudah terganggu oleh sesuatu yang oleh Hadits Nabi justru harus melahirkan rahmat, yaitu perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, ulama-ulama fiqh khussunya yang sadar, bahwa dunianya bidang sangat rawan bagi perselisihan pendapat, telah sejak dini menyepakati suatu prinsip pemecahan yang cukup bijak, yang antara lain berbunyi: “al-khuruj ‘an al-khilaf mustahabun/ menghindar dari polarisasi adalah baik.” Atas dasar ini, maka jika seorang ulama menghadapi dua pilihan yang diameteral, acaplaki akhirnya mengambil salah satu dari dua kemungkinan: diam atau memunculkan pendapat ketiga sebagai sintesa dari kedua pendapat yang paling bertentangan tadi. Tentu sikap yang demikian ini diterapkan untuk hal-hal yang bersifat raf’iyyah  (cabang) bukan yang bersifat ushuliyyah (pangkal). Ungkapan fihi  qaulani  (dalam hal ini ada dua pendapat), atau fihi aqwal (dalam hal ini ada beberapa pendapat) hampir selalu ada pembahasan setiap masalah furu’  (cabang) yang menjadi ijtihad. Sejauh perbedaan pendapat itu muncul disekitar masalah yang bukan ushul (dasar), maka selalu dihindari kecenderungan untuk memberi judgment (putusan) secara hitam putih, yakni ini yang benar dan itu yang salah. Ungkapan yang dipakai dalam menggaris – bawahi suatu pendapat yang lebih dicondongi adalah : adha al-ashahhu “indi (ini yang lebih abash menurut saya), atau adha al-arjahu “indi (ini yang lebih kena menurut mendapat saya) dan yang senada. Mungkin inilah yang menyebabkan masyarakat pesantren sebagai pengikut KK dalam banyak hal lebih cenderung bersikap kompromistis ketimbang mutlak-mutlakan.
Sikap lentur atau luwes dalam hal-hal yang tidak menyangkut secara langsung bidang ushul al-din (prinsip-prinsip dasar keyakinan) ini juga terlihat dalam cara bagaiamana mereka harus memberikan treatment terhadap kekuasaaan menurut teori yang dianut KK, kekuasaan tertinggi dan kedaulatan sejati ada ditangan Tuhan. Seperti halnya manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya, maka demikian pula kekuasaan yang dimilki seseorang juga harus di abdikan untuk mewujudkan tuntutan dan sabda-sabda-Nya sesuai Firman-Nya :
“ya ayyuha al-ladzina amanau athiu al-laha wa athiu al-rasula wa uli al-amri minkum…(wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah, Taatlah kepada rasul juga kepada orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu)” (QS. An-Nisa [4]: 59).
Menurut para ahli tafsir, struktur kalimat seperti itu memberi arti bahwa ketundukan kepada penguasa bersifat terbatas sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Tapi, sebagaimana umumya, penganut faham Sunniy, kebanyakan KK tidak berminat untuk terlibat terlalu jauh dalam percaturan politik (praktis), termasuk mengenai persoalan yang substansil bagi hampir masyarakat politik. Yakni soal cara bagaimana seharusnya seorang tampil diatas kekuasaan: apakah harus melalui pemilihan rakyat, melalui penunjukan penguasa yang akan diganti, atau dengan cara lain. Lewat cara apapun seorang penguasa tampil, yang penting bagi KK bahwa ia harus bertindak adil dan cakap dalam melaksanakan tugas-tugas kekuasaannya.
Menurut al-Mawardi, teori tikus paling berpengaruh dalam dunia pemikiran politik sunny, tugas seorang penguasa (khalifah) itu berkisar pada: menegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat, melindungi dan memajukan kehidupan beragama, menjamin keamanan dan keselamatan Negara, melindungi jiwa dan harta segenap rakyat, menegakan hak-hak dasar rakyat, menghukum kesalahan dan penyelewengan, mengatur pembagian zakat dan menegakan disiplin pemerintahan dan keuangan secara benar.4 Karena tolak ukur suatu kekuasaan adalah pada mutu keadilan yang ditegakan, maka dengan cara sendiri, KK setuju agar rakyat dapat bersikap kritis terhadap kekuasan yang bertindak dhalim (oppressif).
Tapi, sejalan dengan watak politik kaum sunny, KK tidak pernah menyetujui aksi pemberontakan atau makar terhadap kekuasaan yang sah. Merek lebih bisa menerima status quo ketimbang harus memilih kekacauan dan anarki yang hasilnya belum tentu lebih baik. Menurut al-Ghazali, pada dasarnya, penguasa yang dhalim memang harus dimakzulkan. Tapi, apabila tidak mungkin, misalnya karena ia didukung oleh tentara yang sangat kuat dan jika dipaksakan akan melahirkan anarki dan perang saudara, maka ia harus dibiarkan berjalan dan diterima sebagai pilihan darurat.4 Keptusan ulama pesantren (NU) memberikan predikat waliy al-amr al-dlaruri bi al-syaukah (pemerintah dengan otoritas sementara) kepada presiden Soekarno bisa diterangkan dari konsep pemikiran al-Ghazali tadi.
Berbicara kepada Ulama sebagai pemimpin ummat, al-Ghazali mengatakan, bahwa terhadap penguasa yang dzalim, tersedia tiga plihan: pertama pihak ulama bergabung dengan kekuasaan itu dan ikut memperkuat barisannya. Kedua pihak kekuasaan datang kepada ulama untuk mencuri simpati. Dan ketiga, si ulama menghindar untuk menjalin kontak apapun dengan kekuasaan itu. Menurut al-Ghazali, pilihan pertama haram hukumnya, karena hal itu sama saja dengan memperkuat kedzaliman yang dilakukan. Pilihan kedua makruh : sebaiknya dihindari, karena acapkali orang tidak mampu mempertahankan pendiriannya dan akhirnya terjatuh kedalam barisan kelompok pertama. Dan pilihan ketiga, yang juga disebut dengan ‘uzlah (menyingkir) adalah pilihan yang paling selamat dan bijaksana. Dengan cara ini, ulama secara lahir membebaskan diri dari sentuhan kekuasaan, tapi dalam hati ia tegar membenci kesewenang-wenangannya dan demi agama serta rakyat, ia berdoa kepada Tuhan agar penguasa seperti itu diberi bimbingan, atau diturunkan untuk diganti dengan kekuasaan lain yang adil.4 Dalam hal ini dikutip Hadits Nabi yang mengtakan :
“..Waspadalah terhadap doa orang yang diperlakukan sewenang-wenang. Antara dia dan tuhan tidak ada tabir yang memisahkan.”
Keenggangan untuk masuk dalam kekuasaan, misalnya, dengan menduduki pos-pos jabatan tertentu, agaknya bukan sekedar karena tidak mau terlibat dalam kedzaliman (cooruption) – betapapun kecilnya–yang seringkali menghiasi setiap bentuk kekuasaan, tapi karena kekuasaan itu sendiri acapkali tidak sejalan dengan semangat zuhud (hidup sederhana) yang nota bene sangat ditekankan oleh hampir setiap KK. Jabatan dan harta, untuk hampir setiap orang, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Bercermin dari pola hisup Nabi Muhammad SAW., KK tidak menistakan kehidupan duniawi, tapi bagaimanapun tidak pernah menganggapnya sebagai suatu yang harus diseriusi benar. Kekayaan duniawi perlu dicari sekedar untuk memenuhi hajat kehidupan yang wajar. Jangan seorang jatuh dalam kefakiran tapi juga jangan menumpuk harta lebih dari batas yang diperlukan.
Kekayaan materi dicari sebagai sarana untuk menopang hidup, bukan tujuan dari hidup itu sendiri. Tujuan hidup sejati yang harus dikejar, juga dengan memanfaatkan kekayaan duniawi tidak lebih menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan disbanding pahala kebaikan pahala yang diterima di sisi Allah.7 Dikutip sabda Nabi Muhammad SAW. Sebagai berikut :
“Orang yang melakukan usaha untuk dapat melepaskan diri dari hinanya meminta-minta, atau agar tidak lagi menjadi beban bagi orang lain, adalah sama dengan berjuang di jalan Allah.”
Oleh sebab itu, apabila dalam banyak KK terdapat pembahasan tentang aktivitas manusia dalam bidang ekonomi, seperti ditemukan dalam hampir semua kitab fiqh, maka tujuan sasaran pembahasan itu bukan mengenai cara bagaimana seseorang dengan usaha yang dilakukannya dapat meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tapi bagaimana usaha itu dilaksanakan sejujur-jujurnya, tidak merugikan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain. Sehingga yang diperoleh usaha itu adalah rizki yang halal dan membawa berkah sebagai bekal untuk menunaikan ibadah kepada Allah.
“Wama khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduni/ tidak aku ciptaka jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Ku.”(QS. Al-Dzariyyat [51]: 56).[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *