Agama dan Sekularisasi

Pembicaraan tentang hubungan agama dengan negara kembali marak setelah dua abad diperkenalkan konsep sekularisasi oleh negara-negara Barat, yang mengklaim sebagai negara demokrasi. Bahwa, prinsip kehidupan bernegara pada tata kehidupan modern itu harus terpisah dengan agama. Konsep ini harus dipahami dengan latar belakang sejarah Barat ketika itu dimana negara (dalam Abad Pertengahan) berada dikendali pemuka agama rakyat tak diberi peluang untuk mempertanyakannya.
Oleh sebab itu, sekularisasi merupakan proses yang sehat. Dan implikasinya, rakyat bersama organisasi sosialnya bisa mengaktualisasikan kepentingan mereka untuk ditampung. Kedaulatan bukan datang dari atas, melainkan dari rakyat. Suara mereka juga suara kebenaran, suara Tuhan.
Proses sekularisasi ini sebenarnya suatu konsep yang sangat sepadan dan sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad: Engkau lebih tau tentang duniamu.” Negara adalah fenomena duniawi. Dan itu artinya, agama sebenarnya sudah membatasi diri untuk masuk terlalu jauh dalam mengurus negara.
Dalam masa Nabi Muhammad SAW, misalnya, fungsi beliau sebagai nabi dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan, sebenarnya juga dipilih-pilih. Ketika berbicara tentang umat, beliau berposisi sebagai nabi dan rasul. Tapi, Muhammad dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, terbuka terhadap pendapat dan kritik ketimbang sahabat-sahabatnya. Misalnya, tentang strategi peperangan dan penunjukan para gubernur, beliau salalu memperhatikan aspirasi para sahabatnya. Fungsi Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan adalah fungsi sekulernya. Dan yang diwariskan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Para pemimpin negara yang berturut-turut menggantikannya adalah kapasitas beliau sabagai pemimpin pemerintahan dan umat yang bersifat sekuler. Bukan kepemimpinan agama yang bersifat sakral dan tertutup.
Secara normatif, Islam tidak mengenal negara teokrasi. Meskipun pemerintahan Islam itu sudah jatuh ke tangan raja-raja Mu’awiyah sampai Abbasiyah, walaupun mereka absolut, mereka tidak pernah memiliki wewenang untuk memutus perkara-perkara agama. Di zaman Mu’awiyah pun ada lembaga keagamaan yang di luar sentuhan agama. Mereka merupakan tokoh-tokoh keagamaan. Diluar domonasi negara dan mandiri.
Jika demikian, apa Islam mengenal sekularisasi? Sekularisasi yang dimaksud adalah dalam tataran kelembagaan. Tapi, dalam tata nilai sebagai basis etik dan kehidupan negara, agama sebagai spirit secara keseluruhan. Dan etika agama adalah etika kemanusiaan yang universal. Bedanya dengan moralitas umum, moralitas keagamaan itu ditransendensikan pada keyakinan kepada Allah. Inilah yang membedakan moralitas sekuler dengan agama.
Kemungkinan Positivasi
Adalah suatu keniscayaan, bahwa penerapan hukum (Islam) itu harus disesuaikan dengan rasa keadilan. Jadi, kalau kata kuncinya dijiwai oleh nilai dan semangat keislaman, tidak ada persoalan, dan umat-umat agama lain pun tidak keberatan. Sebab, dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai-nilai keislaman yang harus menjadi acuan adalah keadilan. Keadilan yang syura baiahum / hasil musyawarah serta diputuskan secara demokratis dan jujur. Kalau prinsip keadilan dan musyawarah itu mengimplikasikan adanya prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi agama, ras, dan suku, saya kira tak satu pihak pun di antara kita yang keberatan.
Permasalahannya, apakah yang dimaksud hukum Islam adalah hukum – hukum par exellence yang kita warisi dari zaman ke zaman, atau yang commmitted terhadap keadilan? Menurut saya, yang harus diperjuangkan adalah hukum Islam dalam definisi terakhir ini.
Sebab kalau nanti yang diterapka adalah dalam definisi yang pertama, seperti yang pernah tertuang dalam Piagam Jakarta. Artinya, negara ikut campur tangan dan memaksa untuk menegakkan syari’at (Islam) tersebut. Kalau tidak, akan ada hukum melalui polisi moral dan polisi ratual yang tidak relevan. Soalnya, dalam hal-hal yang menyangkut urusan privat, polisi kita adalah keimanan dan hati nurani kita sendiri. Kalau negara turun tangan, yang terjadi adalah perkosaan dalam menjalankan agama. Ini bertentangan dengan kebebasan beragama. Dan yang terjadi adalah kepura-puraan dalam beragama.
Maka, karakter hukum Islam dalam konteks kemasyarakatan, pertama, tidak ada pendapat tunggal, dan kedua, semua itu, termasuk diz aman Nabi pun diletakkan dalam konteks ruang dan waktu. Tidak bisa digeneralisasikan berlaku disemua tempat. Soal suksesi saja, dalam pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin tidak tunggal. Peralihan dari Nabi Muhammad ke Abu Bakar melalui pemilihan yang kontroversial. Dari Abu Bakar ke Umar melalui penunjukan. Dari Umar ke Utsman melalui ahl al-halli wal ‘aqdi , yang teamnya ditunjuk Umar. Dari Utsman ke Ali melalui pemilihan yang bergejolak. Jadi tidak ada acuan yang tunggal.
Maka, jika ingin dikatakan Islami, harus secara konsisten mengacu pada rasa leadilan masyarakat dan dirumuskan melalui proses musyawarah. Untuk konteks kehidupan sekarang, yang Islami adalah yang menjamin pemenuhan aspirasi keadilan dan terbuka. Maka, dibutuhkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara demokratis. Di mana, rakyat peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik yang sportif dan kritis. Dan, juga tidak Islami, ketika kekuasaan dibikin sedemikian rupa sehingga menumpuk pada pihak atau tatanan tertentu saja. Sebab, cara seperti ini jelas menghambat prinsip keadilan dan musyawarah.
Jadi, tidak ada patokan yang mutlak. Begitu juga ketentuan hukum yang sering menjadi kontroversial, misalnya hukum potong tangan dan rajam. Sebenarnya, hemat saya, hukum itu tidak qath’iy (mutlak). Jukum dan sanksi apa pun yang akan kita terapkan dalam undang-undang harus kita lihat sejauh mana dia mencerminkan aspirasi keadilan, dan secara prosedural melalui proses musyawarah yang demokratis.
Kalau prinsip keadilan dan proses musyawarah menganggap bahwa hukum-hukum itu masih relevan, maka argumen kita untuk menetapkan hukum-hukum tersebut jangan semata karena ini ada dalam al-Qur’an dan dalam argumen apriori. Tapi dengan logika manusiawi, bahwa ini memang adil, dengan perhitungan obyektif. Kalau argumentasinya apriori, orang lain pun akan menolak dengan argumen yangb apriori. Misalnya, tentang konsep hudud yang diasumsikan sudah tegas (qath’iy) dalam al- Qur’an. Kecenderungan ini, sebenarnya menjadikan pemikiran hukum Islam tidak konsisten. Selalu mengaitkan dirinya kepada filsafat dan substansi hukum, yang kita sebut etika dan moral. Hal ini membuat hukum Islam terjebak pada pemutlakkan sesuatu yang sebenarnya hadir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sebab, yang harus jadi pijakan dan harus qath’iy adalah prinsip keadilan dan musyawarahnya. Misalnya, hukum potong tangan, itu soal teknis. Prinsipnya adalah hifdh al-mal, memelihara harta. Potong tangan hanya kiat agar orang tidak melakukan pencurian harta orang lain. Maka, kalau begitu yang qath’iy itu bukan potong tangannnya, melainkan hifdh al-mal sebagai maqashid al-syar’iyah (tujuan diterapkannya hukum). Banyak ketentuan hukum yang sebenarnya hanya cara bukan tujuan. Tapi karena bahasa yang digunakan demikian jelas, maka dipatok sebagai yang qath’iy, padahal itu washilah (instrumen) –nya. Dan, washilah itu tidak pernah abadi, akan bergantung pada apakah ia bisa mewujudkan tujuannya atau tidak. Ini juga bisa berlaku bagi hukum rajam. Bahkan, hukum mati juga sebetulnya relatif, tapi diduga kuat jauh lebih adil untuk dijatuhkan bagi kejahatan pembunuhan.
Kita harus fair, bukan hanya meninjau kembali hukum potong tangan, melainkan juga meninjau kembali hukum penjara. Kalau ternyata pola hukuman penjara malah memperbanyak kriminalitas, maka sistem itu harus terbuka pula untuk diubah. Caranya dengan musyawarah. Kita jangan dulu berbicara tentang hukum-hukum itu sebelum proses demokrasi berjalan lancar.
Sekarang ini, yang perlu dikedepankan dan dipromosikan bukan butir-butir hukum yang kontroversial. Karena ada angin politik yang memihak dari penguasa, lalu umat Islam tergopoh-gopoh menggunakan kesempatan ini untuk mencuri start dari pihak lain. Ini tidak beralasan, dan cenderung akan dilakukan dengan cara yang tidak demokratis. Suasana itu hanya bisa berjalan kalau ada keterbukaan dan tidak diskriminatif.
Contoh lain adalah soal legalisasi (: positivisasi,) hukum Islam dalam undang-undang. Dalam hal ini belum tentu semua umat Islam sepakat. Yang dipastikan sepakat adalah dalam hal perbaikan bagaimana kelompok minoritas baik agama maupun kelas yang selama ini telah mereguk keuntungan dan memakan kue terlalu banyak tidak lagi dibiarkan seperti itu, sementara yang mayoritas tidak kebagian. Tanpa memandang paham agama dan madhab, saya kira semua orang setuju.
( Tulisan ini diambil dari buku TEOLOGI POPULIS : Membumikan Agama Islam)