Selamat Idul Fitri 1446H
Pilihan EditorProfil Pesantren

Pondok Pesantren Nazhatut Thullab, Tertua di Madura Berusia 3 Abad Lebih

24
×

Pondok Pesantren Nazhatut Thullab, Tertua di Madura Berusia 3 Abad Lebih

Sebarkan artikel ini
Pondok Pesantren Nazhatut Thullab. Pesantren tertua di Madura
Pondok Pesantren Nazhatut Thullab. Pesantren tertua di Madura ini punya kisah unik dari Kyai Abdul 'Allam hingga jadi lembaga modern

P3M.OR.ID. Pulau Madura menyimpan jejak sejarah Islam yang sangat kaya. Pulau Garam ini tidak hanya melahirkan banyak ulama besar namun lembaga pendidikan Islam bersejarah seperti pesantren. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Nazhatut Thullab. Lembaga ini menyandang predikat sebagai pesantren tertua di Madura yang usianya kini telah melampaui tiga abad. Pesantren ini tetap berdiri kokoh di tengah arus zaman. Eksistensinya menjadi bukti nyata kekuatan tradisi pendidikan Islam di Nusantara.

Sejarah mencatat bahwa pendirinya adalah  Kyai Abdul ‘Allam pada tahun 1702. Kisah pendiriannya terabadikan secara legendaris yang sampai sekarang masih  sering menjadi bahan perbincangan. Banyak orang mengaitkan pendirian pesantren ini  dalam Babad Tanah Prajjan. Babad ini menceritakan perjalanan sang kiai. Perjalanan itulah yang menjadi cikal bakal pesantren di Desa Prajjan, Sampang.

Perjalanan Awal Sang Perintis, Kyai Abdul ‘Allam

Kyai Abdul ‘Allam sejatinya memiliki nama asli Pang Ratoh Bumi. Beliau berasal dari Sumenep, ujung timur Pulau Madura. Ia mendapatkan nama Abdul ‘Allam dari gurunya. Gurunya adalah seorang ulama kharismatik bernama Syaikh Aji Gunung Sampang. Masyarakat juga mengenalnya dengan julukan Buju’ Aji Gunung.

Saat menuntut ilmu, Abdul ‘Allam memiliki dua sahabat dekat. Keduanya berasal dari tanah Jawa. Mereka kemudian mendapat julukan Buju’ Napo dan Gung Rabah Pamekasan. Ketiga sahabat ini menempuh perjalanan spiritual bersama. Mereka saling bahu-membahu dalam belajar dan berdakwah. Kelak, mereka berjanji akan menyebarkan ajaran Islam di tempat masing-masing.

Hikayat juga menyebut Kyai Abdul ‘Allam sebagai tokoh penting. Beliau sering berdiskusi dengan Pangeran Cakra Ningrat II. Diskusi mereka berpusat pada strategi perlawanan rakyat. Mereka melawan penjajah Belanda dengan gigih. Interaksi ini terjadi saat sang pangeran menjalani masa pengasingan di Madura. Peristiwa itu berlangsung antara tahun 1674 hingga 1679. Ini menunjukkan peran aktif sang kiai dalam perjuangan bangsa.

Tugas Penuh Makna dari Sang Guru

Babad Ranah Pajjan mencatat sebuah peristiwa luar biasa. Suatu hari, Syaikh Aji Gunung memberikan sebuah tugas khusus. Ia memerintahkan Abdul ‘Allam pergi ke kediaman Ratoh Ebuh di Bangkalan. Tugasnya tidak biasa. Ia harus mengambil Al-Qur’an dan sebuah cincin. Kedua benda itu terjatuh ke dalam jamban.
Tugas tersebut harus selesai dengan sangat cepat. Sang guru memberikannya sesaat sebelum salat Asar. Ia berharap kedua benda pusaka itu sudah kembali sebelum Magrib. Abdul ‘Allam menerima perintah itu dengan penuh kesigapan. Ia berangkat bersama dua sahabatnya, Buju’ Napo dan Gung Rabah. Mereka bergegas menuju Bangkalan. Padahal, jaraknya sangat jauh untuk ditempuh secepat itu.

Atas izin Allah SWT, mereka berhasil menunaikan tugas tersebut. Abdul ‘Allam dan sahabatnya kembali tepat pada waktunya. Keberhasilan ini membuat sang guru sangat terkesan. Syaikh Aji Gunung kemudian memberikan amanah baru. Beliau memerintahkan ketiga santri terbaiknya untuk berdakwah. Mereka harus menyebar di tiga tempat yang berbeda.

Catur Tunggal

Buju’ Napo mendapat tugas untuk menetap di sebuah daerah baru. Kini, wilayah itu terkenal dengan nama Desa Napo di Sampang. Sementara itu, Gung Rabah diperintahkan untuk hijrah ke Pamekasan. Adapun Abdul ‘Allam mendapat mandat membuka lahan di “Panyajjeen”. Daerah inilah yang kini menjadi Desa Prajjan, lokasi pesantren berdiri.

Di tempat barunya, Kyai Abdul ‘Allam membangun sebuah keluarga. Ia menikahi salah satu putri dari gurunya. Pernikahan mereka dikaruniai tiga orang anak. Salah satu putrinya menetap di Prajjan. Beliau kemudian mendirikan pesantren sendiri bernama “Langgar Tana”. Perjuangan sang ayah kemudian berlanjut ke putranya, Abdul Kamal. Abdul Kamal menempati “Langgar Genteng” atau “Langgar Bara’” dan meneruskan perjuangan pendidikan Islam di sana. Inilah cikal bakal Pondok Pesantren Nazhatut Thullab. Namun, nama itu belum digunakan pada masa tersebut. Nama Nazhatut Thullab baru resmi digunakan pada era kepemimpinan generasi ketujuh. Sekitar tahun 1932, empat tokoh besar memprakarsai perubahan nama yakni KH Syabrawi, Kiai Bahri, KH Muhammad Zaini, dan KH Fata Yasin. Keempat kiai tersebut populer dengan sebutan “Catur Tunggal” Nazhatut Thullab.

Transformasi Menuju Pesantren Modern

Sejak menyandang nama Nazhatut Thullab, pesantren ini terus berinovasi. Nazhatut Thullab sendiri berarti “Taman Para Pencari Ilmu”. Pesantren ini menjadi pelopor sistem pendidikan klasikal di Madura. Sistem ini kemudian populer dengan nama Madrasah Diniyah Salafiyah.

Perkembangan pesat terjadi pada masa kepemimpinan generasi kesembilan. Pesantren membangun banyak unit pendidikan formal. Pada tahun 1969, berdiri MTs Nazhatut Thullab. Kemudian menyusul pendirian SMP pada tahun 1995. Lembaga ini terus berekspansi dengan mendirikan MA pada 2001. Lalu ada SMA pada tahun 1988, dan SMK pada tahun 2003.
Lembaga ini bahkan merambah ke jenjang pendidikan tinggi. Sekolah Tinggi Agama Islam Nazhatut Thullab (STAINATA) berdiri pada 1988. Disusul dengan AKPER Nazhatut Thullab Sampang pada tahun 2002. Kini, Pondok Pesantren Nazhatut Thullab terus tumbuh. Perjuangannya dilanjutkan dari generasi ke generasi keluarga Kyai Abdul ‘Allam.

Saat ini, KH Muhammad bin KH Ahmad Mu’afi Alif Zaini memimpin lembaga ini. Kompleks pesantren berdiri di atas lahan seluas 19,7 hektar. Total luas bangunannya sendiri melebihi 10 ribu meter persegi. Jumlah santrinya mencapai ribuan orang. Alumni dan simpatisannya tersebar luas di berbagai penjuru negeri. Nazhatut Thullab tidak hanya membekali santri dengan ilmu agama. Pesantren ini juga memberikan keterampilan khusus untuk menciptakan generasi yang mandiri dan berdaya saing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *