OpiniPilihan Editor

Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’at

183
×

Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’at

Sebarkan artikel ini
KH. Masdar F. Mas`udi
KH. Masdar F. Mas`udi

Sejak awal, syari’at Islam, sebenarnya, tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali “kemaslahatan manusia.” Ungkapan standar, bahwa syari’at Islam dicangkan demi kebahagian manusia, lahir batin; dunia akhirat, sepenuhnya mencerminkan prinsip kemaslahatan tadi. Tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap teks (nash),seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi,telah membuat prinsip kemaslahatan hanya sebagai jargon kosong, dan syari’at—yang pada mulanya adalah jalan—telah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri.

Secara embrional, kecenderungan ortodoksi yang tekstualistis dan formalistik ini bermula sejak masa-masa awal, yakni ketika beberapa sahabat, antara lain Bilal bin Abi Rabah, secara tegas menolak ijtihad khalifah Umar dalam pembagian tanah fa’i, yang dikenal dengan sawad al-Iraq.Berangkat dari pertimbangan maslahatsebagai jiwa syari’at, ketika itu. Khalifah Umar menawarkan kebijakan (ijtihad) untuk tidak begitu saja membagi habis tanah fa-i yang luas dan subur itu pada tentara.Menurut pendapat beliau,biarlah tanah taklukan itu digarap oleh rakyat setempat,dengan ketentuan mereka harus membayar retribusi (kharaj) tertentu pada negara.

Dengan kebijakan (ijtihad) ini, Umar bermaksud meraih kemaslahatan sebagai berikut:Pertama, rakyat taklukan tidak perlu kehilangan mata pencaharian,melainkan harus tetap bekerja diladang-ladang mereka seperti sediakala untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dan keluarganya.Dan, kedua, dari retribusi yang mereka bayar, sebagai imbalan atas hak menggarap tanah, negara dapat menambah income yang bisa digunakan bukan saja untuk memberi tunjangan pada tentara yang telah berjuang menaklukkan negeri Iraqtadi, melainkan juga bisa untuk menggaji tentara lain yang tugaskan untuk menjaga perbatasan negara.Hal tersebut pasti penting artinya,bukan saja bagi rakyat keseluruhan,melainkan juga bagi negara yang memang perlu dijaga keutuhannya dari gangguan infiltrasi pihak luar/lawan.

Namun seperti kita ketahui,ijtihad Umar yang cemerlang dan berani ini dapat tantangan keras dari beberapa sahabat Nabi seperti tersebut diatas. Alasan mereka, dengan ijtihadnya itu, Umar telah mengabaikan suatu ketentuan (hukum,fiqh) yang secara termaktub dalam al-Qur’an (Qs. Al-Hasyr[59]:7),dan juga dalam Sunnah (Hadits) Nabi. Alasan lafdhiyah (tekstual) ini tentu saja kuat.Tetapi dengan mengajukan alasanma’nawiyah (substansial: maslahat), Umar merasa jauh lebih kuat.

Sesungguhnyalah,pendirian yang mengatakan,bahwa hukum Islam atau syari’atIslam, harus bersumber pada al-Qur’an atau al-Hadits tidak dengan serta merta salah.Pernyataan itu bisa salah,tapi juga bisa benar. Tergantung pada apa yang dimaksud dengan al-Qur’an dan al-HaditsNabi itu. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-haditsNabi yang—secara langsung atau tidak–mengemukakan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai (seperti nilai keadilan,persamaan manusia didepan hukum,persaudaraan dan lain sebagainya),maka pernyataan itu benar. Tetapi jika yang dimaksud sebagai dasar hukum Islam adalah ayat-ayat al-Qur’an dan HaditsNabi yang pada dasarnya ia sendiri merupakan ayat dan hadits hukum,maka pernyataan tersebut,menurut saya,memang tidak tepat.

Hukum tidak bisa didasarkan pada hukum. Hukum(legal) haruslah didasarkan pada sesuatu yang tidak disebut hukum, tapi lebih mendasar dari sekedar hukum. Yaitu, sebuah sistem nilai yang dengan sadar kita ambil sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: kemaslahatan,keadilan.Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal,misalnya melalui cara qiyas. Tetapi,seperti kita ketahui, qiyas haruslah dengan ‘illat (primacausa), sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri.Dalam bahasa kalamnya,itulah yang disebut “daur”, yang seharusnya tidak boleh terjadi.Akan tetapi, itulah struktur pemikiran hukum (fiqh) Islam selama ini.Oleh sebab itu,tidak mengherankan, apabila dunia pemikiran hukum (fiqh) Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.

Pertama, watak pemikiran hukum (fiqh) yang juz’iyyah,kasuistik dan micro-oriented. Akibat sangat kuatnya karakter ini, maka sudah tidak aneh lagi kalau kita mendengar pernyataan, bahwa fiqh harus juz’iyyah, far’iyyah. Dimana-mana pergumulan fiqh selalu berawal dari kasus untuk kemudian dicarikan status hukum (etik)-nya melalui ilhaq (qiyas) pada kasus lain yang telah ditentukan lebih dahulu status hukumnya, baik oleh al-Qur’an atau Hadist Nabi.Inilah proses pelacakan hukum yang paling standar yang telah diterima semua madzhab. Hanya,karena kesulitan yang dirasakan dalam menerapkan prosedur yang baku ini,kemudian ditawarkan modus penyangga seperti istihsan dari Imam Hanafi dan maslahah al-mursalah dari Imam Malik.

Hirarki hukum islam yang ditawarkan Imam Syafi’i, sepenuhnya mewakili logika pemikiran fiqh yang disebutkan diatas.Baginya, sesudah al-Qur’an (baca ayat-ayat hukum) dan Hadist Nabi (baca: Hadist-hadist hukum) tidak ada otoritas lain kecuali ijtihad, yang tak lain adalah “qiyas”:al-ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad itu tidak lain adalahberqiyas). Dan Imam Ahmad mewarisi semangat ortodoksi dari Imam Syafi’i. Bahkan dalam kadar yang jauh lebih tinggi, ia berpendirian bahwa, “secara teoritik, qiyas memang merupakan prosedur pemikiran Islam yang bisa dipertanggungjawabkan.Akan tetapi secara historik, tidak benar-benar diperlukan.” Seperti diketahui, berbeda dengan ketiga imam madzhab, lainnya. Imam Ahmad hidup pada zaman, dimana hampir semua kebutuhan akan nash (Hadist), yang diperlukan oleh ahli hukum pada zamannya, telah tersedia. Disamping itu pada dasarnya,tokoh terakhir ini memang lebih merupakan pemerhati Hadist ketimbang pemikir Hukum.

Tentu saja, pemikiran hukum yang berwatak kasuistik ini,sebagai cirinya yang kedua, hanya berguna untuk menangani persoalan secara pasca kejadian.Ia menjadi semisal tukang ketok yang porsinya adalah meluruskan kebengkokan-kebengkokan kecil sejauh dimungkinkan.Artinya, jika kebengkokan-kebengkokan ini telah sedemikian parahnya,dan ia sendiri merasa tidak bisa meluruskannya, maka yang terjadi adalah salah satu dari dua hal berikut ini: dengan sikap fundamentalistiknya, ia terus saja dan menyatakan penolakannya terhadap kebengkokannya itu,meskipun ia sadar bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa;atau dengan sikap realismenya, ia bersedia menerima,menjustifikasi dan berdamai dengan kebengkokan yang ada.

Sudah barang tentu,pemikiran hukum Islam yang hanya berorientasi pada penanganan kasus perkasus, akan cenderung —dan ini ciri yang ketiga— mengabaikan penanganan masalah-masalah strategis justru karena sifatnya yang memerlukan pendekatan yang sistematis.Tidak ada salahnya,pemikiran hukum Islam memberikan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mikro(juz’iyaah). Tetapi, salah besar apabila perhatiannya terhadap hal-hal mikro tersebut membuatnya lupa menangani hal-hal yang bersifat makro.

Ciri keempat dalam pemikiran hukum islam (fiqh) yang berangkat dari concern untuk mendeduksi ayat (hukum) adalah formalistiknya.Logika hukum seperti ini tidak akan pernah bertanya untuk apa suatu hukum diterapkan, dan buat kepentingan siapa. Yang penting baginya adalah bahwa suatu pemikiran hukum dalam kasus apapun, bisa dipertanggungjawakan secara formal pada bunyi teks (nash) tertentu. Tak soal, apakah hukum itu dalam kenyataan historisnya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau hanya menyantuni kepentingan sekelompok orang saja.

Atau bahkan, ketika pemikiran hukum itu sudah tidak berhubungan dengan kepentingan siapaun.Asal secara formal terdapat teks yang bisa dijdikan rujukan, maka suatu pemikiran hukum, dalam tradisi fiqh kita sampai sekarang, telah dianggap sah. Tidak mengherankan apabila wajah fiqh kita selama ini menjadi tampak begitu dingin, suatu wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan manusia.Dalam tema keilmuan, sikap fiqh seperti ini, adalah sikap netral—dengan dalih objektivitas keilmuan—tidak mau ditarik-tarik oleh kepentingan subjektif satu kelompok masyarakat tertentu. Bedanya, objektivitaskeilmuan sekuler, patokannya pada data empirik, sementara objektivitas keilmuan agama (fiqh) patokannya pada teks-teks normatif.

Pada mulanya, banyak orang tertarik pada prinsip netralitas dalam dunia keilmuan seperti itu. Tapi, lama kelamaan muncul kesadaranbahwa prinsip netralitas dalam dunia lebih-lebih keilmuan agama. Adalah sesuatu yang naif. Karena jika netralitas itu dianggap terdapat pada batang tubuh ilmu, maka ilmu sendiri pada dasarnya adalah alat yang akan ditundukkan pada pilihan-pilihan subjektif para pengambil keputusan. Artinya ,jika netralitas ilmu bisa dipertahankan pada tataran ontologisnnya ditangan ilmuan yang bersangkutan, maka pada tataran aksiologisnya ditangan praktisi dan para pengambil keputusan, netralitas itu sepenuhnya sudah tidak lagi ada. Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa prinsip netralitasyang sering dikedepankan oleh para ilmuan, termasuk ilmuan agama (fiqh), pada hakikatnya merupakan sikap yang tidak bertanggungjawab. Ilmuan seperti itu ibarat seorang empu yang mendefinisikan tanggungjawabnya semata-mata hanya pada pembuat keris atau pedang dengan kemampuan tebas yang tinggi. Sementara dalam kenyataanya, keris dan pedang itu banyak digunakan orang untuk membunuh orang lain, sama sekali tidak mau tahu. Yang penting baginya adalah membuat keris dan pedang, setajam-tajamnya. Titik !

Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa tanggungjawab ilmuwan selaku manusia, mestinya tidak berhenti pada melakukan eksplorasi teoritik (ijtihad–dalam term fiqhnya) yang secara formal proseduralkuat. Seorang ilmuan, memang, harus mampu membangun teori dengan dukungan data yang kokoh, sepertihalnya seorang ahli fiqh juga harus bisa menjustifikasi teorinya dengan nash yang maton. Tetapi itu juga tidak cukup. Lebih dari sekedar memenuhi tuntutan formal-prosedural, seorang ilmuan, dan lebih-lebih lagi seorang ilmuan fiqh, juga harus dapat mempertanggungjawabkan aktifitas keilmuannya secara moral: untuk apa dan bagi kepentingan siapa sebenarnya ia berilmu, berteori atau berijtihad ?

Dalam islam, tanggungjawab dirumuskan dalam pertanyaan tersebut, sebenarnya sudah jelas.Bahwa kesemuanyaituharusdilaksanakandengankomitmenganda: kedalam, komitmenkarena Allah; keluar, komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sejalan misi kerasulan Muhammad (baca:missi islam) sendiri sebagai rahmat semesta. Dan jika sasaran yang begitu universal dipertanyakan skala prioritasnya, maka jatuhnya tentulah pada lapisan umat atau masyarakat yang—pada saat pemikiran hukum itu dirumuskan—berada pada posisi paling jauh dari maslahat. Atau, tegasnya prioritas itu adalah pada “mereka yang sedang berada pada posisi mudarat”, yang dalam bahasa politik al-Qur’an sendiri disebut “lapisan masyarakat mustadh’af, tertindas”.

Dengan demikian, kiranya jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (fiqh) adalah kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal, atau—dalam ungkapan yang lebih operasional—“keadilan sosial”.Tawaran teoritik (ijtihadiy) apa pun danbagaimana pun, baik didukung dengan nash atau pun tidak, yang bisa menjamin kemaslahatan kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya kemaslahatan, lebih-lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudlaratan, dalam kaca mata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.

Dengan paradigma diatas, maka dengan kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi : “idzaa shahha al-hadits fahuwa madzhabi” (apabila suatu hadits [teks ajaran] telah dibuktikan keshahihannya, itu lah madzhabku), secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah ini lah yang secara sistematis telah menggerakan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah nash ketimbang kandungan substansinya. Atau dalam dunia pemikiran fiqh, lebih mengutamakan—atau bahkan hanya memperhatikan—ketentuan-ketentuan legal-fomal, ketimbang tuntutan kemaslahatan (keadilan), yang notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi: “idza shahhat al-maslahatu fahuwa madzhabi/jika tuntutan kemashlahatan, keadilan, telah menjadi sah—melalui kesepakatan dalam musyawarah—maka itulah madzhabku”. Sangat mengherankan,bahwa syura sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat. Justru hampir tidak pernah memperoleh perhatian dari fiqh sepanjang sejarahnya sampai hari ini.Bahkan dengan tenang dikatakan,ijmak sudah tidak ada lagi, yang berari syura pun yang diperlukan lagi. Inilah fiqh yang kita warisi fiqh yang sepi dan partisipasi umat manusia, karena perhatiannya memang pada kepentingan kemaslahatan rakyat manusia, melainkan lebih pada dirinya sendiri.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *