Jakarta–Radikalisme dan fundamentalisme keagamaan dapat menjadi ancaman serius bagi semangat kebersamaan dalam perbedaan bangsa ini. Radikalisme dan fundamentalisme yang berlebihan bisa membuat sekat-sekat perbedaan menjadi keras berpotensi menguatkan intoleransi dan memunculkan konflik horizontal.
Demikian kira-kira salah satu tema yang mengemuka dalam Diskusi Menggugat Kekerasan Atas Nama Agama yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M )di Kantor MUI Depok, 27 Februari 2010.
Dua nara sumber hadir, Kyai Dimyati Badruzzaman (Ketua MUI Depok) dan Dr. Rumadi (Peneliti Wahid Institut). Kyai Dimyati, selaku ketua MUI Depok, menyikapi Ahmadiyah yang menjadi isu hangat pada diskusi itu, mengatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan patut dibubarkan, tetapi harus dibimbing dengan kasih sayang setelahnya. Di sela-sela Kyai Dimyati berbicara, teriakan Allahu Akbar menggema sebagai ungkapan dukungan atas sikap MUI. Sedang saat Dr. Rumadi berbicara bahwa Ahmadiyah tak perlu dibubarkan karena ada jaminan berkeyakinan dan beragama di negeri ini, meski dia tidak menyatakan setuju dengan keyakinan Ahmadiyah, diteriaki Allahu Akbar juga. Kali ini dengan kesan amarah dari para peserta dari beberapa elemen, diantaranya Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Drs. Anas Saidi, Direktur P3M, setelah acara berakhir menyayangkan bahwa tindak anarkisme atas nama agama kembali marak terjadi, dengan tekanan kekhawatiran yang lebih. Menurutnya kekhawatiran itu muncul bukan hanya karena adanya orang-orang yang berbuat radikal itu, tetapi para sesepuh, ulama, dan kyai-kyai juga mendukung hal itu. “Kekhawatiran saya bukan terletak pada gerakan orang-orang ini, tetapi para kyai yang sepuh-sepuh ini ikut terbawa mendorong gerakan-gerakan ini yang lebih membuat saya khawatir.”
Menyikapi sikap-sikap radikal dan fundamental yang marak terjadi, apalagi berita soal bom kini muncul di mana-mana, kemarin P3M Online berbincang dengan Mas Abdul Waidl, Sekjen P3M, terkait peran serta komunitas Pesantren dan Masjid dalam menanggulangi gerakan itu.
Pesantren dan Masjid, apalagi yang dari kultur Nahdlatul Ulama (NU) memiliki potensi untuk menjadi benteng pertahanan negeri ini dari gerakan dengan paham radikalisme dan fundamentalisme. Seperti yang diungkapkan Mas Waidl, “ Memang tidak mudah, tetapi pesantren dan masjid memiliki potensi besar untuk menangkal radikalisme dan fundamentalisme. Pesantren dan masjid, apalagi yang berafiliasi ke NU pada dasarnya selalu mengembangkan sikap toleran, moderat, dan tidak ekstrim.”
“Hal yang bisa dilakukan komunitas Pesantren dan masjid secara kelembagaan harus meneguhkan diri sebagai elemen bangsa yang mendukung apresiasi terhadap keragaman. Pesantren dan masjid punya banyak dasar keagamaan untuk menyatakan hal tersebut. Kedua lembaga keagamaan tersebut juga harus mulai mawas diri agar tidak mudah terprovokasi dari jargon-jargon keagamaan yang sering berupa pepesan kosong, seperti syariat islam, khalifah islam, persatuan Islam, dll. Dan terakhir, perlu koordinasi pesantren dan masjid agar tidak dimasuki pihak-pihak dengan agenda radikalisme dan fundamentalisme.” ungkapnya lebih lanjut.
“Tapi perlu diingat bahwa, menangkal radikalisme dan fundamentalisme adalah tugas negara. Negara punya tugas dan tanggung jawab dalam hal ini.” tegasnya.
P3M Online : Rabu 30 Maret 20010