Tafsir atau Islam Emansipatoris
Ada dua pilihan untuk memberi nama pada jaringan ini, yaitu Jaringan Islam Emansipatoris atau Jaringan Tafsir Emansipatoris. Tafsir, hubungan dengan teks begitu kuat. Tidak ada teks tidak ada tafsir. Pilihan lebih condong pada Islam karena selama ini tafsir hanya sekedar wacana. Sementara Islam tentu lebih dari sekedar wacana. Ada dimensi pra maupun pasca wacana, terlebih jika dikaitkan dengan obsesi emansipatoris yang konotasinya memang lebih dari sekedar wacana. Salah satu model yang paling menonjol dalam dunia keagamaan yang berwatak emansipatoris adalah teologi liberatif (The theology of Liberation). Model ini sangat menggarisbawahi apa yang disebut dengan dimensi praktis, yang tentu saja lebih dari sekedar wacana. Ini pembenaran teoritiknya.
Sebagai sebuah teori mungkin tidak selalu konsisten bisa diterapkan di tingkat implentasi. Namun, sekurang-kurangnya sebagai sebuah preferensi dan sekaligus sebagai sebuah acuan itu memberikan direction bahwa Islam Emansipatoris ini tidak hanya berhenti pada level wacana. Ini sama sekali tidak berarti bahwa wacana adalah sesuatu yang tidak penting. Tapi, signifikansi sebuah wacana tentunya akan diukur pada sejauhmana dapat berpengaruh pada perubahan realitas. Jadi ada level teori dan level praktis. Tentu saja kita tidak ingin terjebak pada sikap esensialis untuk mengatakan bahwa inilah satu-satunya yang penting karena hidup ini terlalu kompleks untuk dipecahkan oleh satu teori, satu pendekatan atau satu pintu masuk.
Mengapa Islam Emansipatoris
Pemberian nama tanpa sebuah argumentasi akan menjadi just naming. Oleh karena itu perlu ada reason yang argumentative. Pada tahap tertentu ini tidak mudah. Sebetulnya bisa saja dilakukan simplifikasi, yakni sekedar untuk beda, just to be different dari yang lain. Bisa pula sebuah pilihan nama menjadi sebuah olok-olok. Tapi itu maknanya adalah sebuah tantangan untuk lebih menukik lebih dari sekedar nama. Kalau kita runut pada apa yang menjadi pilihan kita, atau paling tidak pilihan kami, emansipatoris ini tidak ada sejarah termnya sendiri dan akan sedikit dijelaskan di sini.
Sebelumnya, jika ditanyakan mengapa mesti mencari sesuatu yang lain lagi, maka jawaban sederhananya adalah saat ini sedang musimnya membangun wacana keislaman. Yang paling mutakhir tentunya adalah wacana keislaman liberal atau ISLIB itu. Penamaan wacana ini juga bisa menjadi olok-olok bagi mereka yang ingin melakukan kritik tajam, atau yang tidak memahaminya secara empatik. Misalnya Islib kemudian diartikan adalah Islam Libido, Islam Libur atau Islam suka-suka. Itu adalah resiko dari sebuah istilah.
Kenapa ini menjadi pilihan, adalah karena pilihan yang ada memang tidak cukup merepresentasikan yang diinginkan. Saya kira pertanyaan ini penting sekali sebagai landasan legitimasi sebuah teori yang baru, meskipun tidak ada yang baru di dunia ini. Seperti juga Islib ketika ia mencari pijakan dan mengabsahkan kehadirannya pun juga berusaha melakukan pemetaan terhadap sistem the excisting discourses, diskursus keislaman yang ada, yang dia sebut misalnya Islam Tradisional dan Islam Fundamentalis. Kemudian dengan pengamatannya, Shohibul Islib mengatakan bahwa Islam tradisional ini begini-begini dan Islam fundamentalis itu begini-begini. Intinya, semuanya tidak compatible, tidak setara, tidak ketemu dengan apa yang menjadi obsesinya. Islib tidak terwakili dan tidak terangkum aspirasinya. Ini adalah sebuah cara untuk melegitimasikan diri. Kalau tidak demikian bisa ahistori, tiba-tiba hadir tanpa alasan.
Apa beda Islam Emansipatoris dengan lainnya?
Seperti halnya Islib atau Islam Liberal, Isem atau Islam Emansipatoris juga mencoba memetakan wacana keislaman yang ada. Sebagian ada titik-temu dengan wacana yang dipetakan Islib, dan sebagian tentu tidak. Kalau ketemu dari A sampai Z, namanya duplikasi, Islam Emansipatoris memetakan wacana keislaman yang ada sebagai berikut:
Pertama, Islam skriptualistik, tekstualistik atau formalistik yaitu Islam yang fokusnya atau titik mula dan titik akhirnya adalah teks. Teks berfungsi sebagai alpha dan omeganya atau sebagai sentralnya: dari teks dan berakhir kepada teks. Sejarah Islam model ini sangat panjang sekali. Bisa dikatakan bahwa dunia Islam ini adalah dunia skriptualis sehingga ada benarnya Nasr Hamid Abu Zaid yang mengatakan bahwa salah satu dari tiga peradaban adalah peradaban teks, yaitu peradaban yang dikuasai Islam. Realitas ini telah memancing satu wacana yang sangat kritis terhadap teks yang pada intinya ingin mendekontruksi teks itu sendiri. Wacana yang paling populer adalah wacana Mohammad Arkoun dan al-Jabiri yang berguna pada ahli dekontruksi Barat.
Bagi orang seperti Arkoun, yang tidak hidup di dunia ketiga (negara berkembang) melainkan dunia pertama (Perancis), melihat masyarakat yang tidak mengenal teks (Islam) pastilah geregetan. Dalam benaknya muncul keyakinan adanya something wrong atau sebuah paradok yang luar biasa seriusnya, yaitu masyarakat yang teksnya begitu suci dan diagungkan ternyata tidak maju, sebaliknya masyarakat yang tidak hidup di atas teks suci seperti Barat ternyata bisa maju luar biasa. Kebetulan ada teori-teori dekontruksi dari lingkungannya sehingga pada akhirnya dia mengambil posisi dekontruksi teks.
Ini adalah pola keislaman yang begitu kuat. Kita semua cukup merasakan kegetiran pemekiran seperti Arkoun dkk. Pertanyaannya adalah apakah dengan menghancurkan otoritas teks itu selesai, lalu langsung naik kelas seperti orang Barat yang tidak pernah merujuk pada teks?. Ini merupakan pertanyaan kritis juga. Meskipun sebenarnya mengatakan masyarakat Barat tidak pernah bertolak dari teks, tidak sepenuhnya benar karena apa yang menjadi obsesi Derrida dan Foulcault juga berangkat dari adanya dominasi teks juga. Namun demikian dominasi teks yang terjadi tidak sesakral yang sehegemonik umat Islam sehingga dekontruksi yang ditawarkan lebih memungkinkan sedangkan tawaran yang sama pada umat Islam bisa jadi lebih sulit, kalau tidak boleh dikatakan mustahil.
Salah satu sebab penting dalam hal ini adalah kenyataan bahwa dunia Islam yang terbelakang atau paskah terjajah sedang tidak memiliki kebanggaan internal. Hampir tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan. Dari sudut kemajuan keilmuan maupun politik misalnya, tidak sistem politik negara Islam pun yang dapat dijadikan rujukan. Paling banter Malaysia, meskipun lebih baik dari lainnya, menurut kapasitasnya dia hanyalah the best of the west. Mungkin juga Irak yang memiliki kelebihan tertentu tetapi lagi-lagi kelebihannya tak sebanding dengan politik di luar Islam. Demikian juga dunia intelektual, seni dan kebudayaan juga sulit ditemukan. Lebih-lebih jika kita lihat pada aspek-aspek yang lebih sublim dari itu.
Nah, satu-satunya yang dibanggakan umat Islam adalah teksnya yang suci itu: al-Qur’an yang diakui sebagai satu-satunya teks yang otentik dari Tuhan, la yamassuhu illa al muthahharun, bukan hanya oleh umat Islam tepi juga orientalis. Mereka mengakui al-Qur’an sebagai keilahian dari Tuhan yang tidak dimiliki komunitas agama lain baik komunitas Injil, Zabur maupun Taurat.
Jadi, satu-satunya yang bisa dibanggakan umat Islam hanyalah otentisitas teks sucinya itu. Kalau satu-satunya yang disucikan dan dibanggakan pun harus dihancurkan (atau didekontruksi?), maka secara psikologis terlalu berat untuk ditanggung umat Islam sehingga tak sadar seringkali orang menjadi sangat fanatik terhadap teks dan sangat curiga terhadap orang yang ingin mempertanyakan teks. Inilah realitasnya. Langkah radikal terhadap teks yang begitu diagungkan seringkali membuat terpental dan tidak lagi didengarkan umat. Ini problem psikologis umat yang susah dibongkar meskipun dengan olok-olok yang teramat sangat.
Apa yang ditawarkan Arkoun, dkk. Menjadi tidak begitu bermanfaat sebagai pemicu perumusan masa depan. Apa yang ditawarkan Khalafullah lebih menjanjikan karena lebih empatik. Dekonstruksi yang dilakukannya tidak diarahkan pada teks itu sendiri melainkan pada teori dan metodelogi lama, diserai metodelogi baru dan aplikasinya pada teks. Langkah ini lebih positif dan menjanjikan sehingga upaya yang lebih strategis didekontruksi adalah metodologi, bukan teks itu sendiri.
Problem yang lebih serius dalam wacana Islam skriptualistik, tekstualistik dan formalistik adalah bahwa teks yang menjadi pijakan tidak hanya teks primer (al-Qur’an) tapi juga teks sekunder (al-Hadits) dan teks tarsier (tafsir terhadap keduanya) di mana teks sekunder dan tarsier turut tersakralisasi. Dekonstruksi pada sakralitas teks yang berlapis-lapis ini menjadi penting dilakukan. Dalam komunitas pesantren atau NU misalnya, otoritas teks yang dihayati sesungguhnya bukanlah teks primer ataupun sekunder, tapi tartier, ini bisa dilihat dalam jantungnya fiqh: bahtsul masail. Standar kebenaran tidak dicari pada teks dengan otoritas tinggi seperti al-Qur’an, Hadits atau Madzhab Empat; tapi pada otoritas ulama pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada ashhab muttafaq ‘alahi wa al-rafi’i
Contoh mutakhirnya adalah bahtsul masa’il pada pra Munas 25-28 Juni 2002 lalu. Masalah-masalah yang diangkat pada saat itu adalah masalah-masalah ‘ashriyah (kontemporer) yang tidak ada rujukannya di kitab kuning seperti hutang negara, korupsi dan money politic. Karena persoalan-persoalan ini tidak dibahas. Persoalan seperti ini jelas tidak bisa dirujuk dalam qaul tapi manhaj. Akhirnya harus ada keberanian untuk mentolerir rujukan kitab yang putih (bukan kitab kuning). Money politic apakah harus dikembalikan kepada negara atau bagaimana?. Menurut Kiai Sahal, uang ini adalah uang hilang (luqathah) sehingga harus dikembalikan pada pemiliknya. Kalau kita terbatas hanya pada teks atau qaul sebenarnya kita telah menutup diri pada falsafah al hukm. Ketika kita terbelenggu pada teks particular dan kita ingin membebaskan diri darinya, rupanya kita kembali kepada teks yang lebih fundamental. Ini beberapa pilihan dalam proses pembebasan diri dari teks.
Kedua, Islam Ideologis yaitu Islam yang berangkat tidak dari memuja teks tapi dari pilihan kebenaran dan idenya sendiri yang diideologikan. Teks menjadi sekunder dan yang primer adalah ideologinya. Pola keislaman ini menggunakan teks sebagai pembenaran, legitimasi dan justifikasi. Jadi logis jika Islam ideologis menjadi sectarian, menutup diri dari tidak mau memahami the others. Biasanya sikap ideologis ini pemicunya adalah kepentingan kekuasaan sehingga subur dalam wacana politik. Kalau kita runut dari sejarahnya adalah sekte-sekte Islam, seperti Syiah, Khawarij dan status quo Sunni. Sikapnya menjadi fundamentalis. Barangkali dalam konteks sekarang adalah Barat yang diidentifikasikan sebagai Kristen. Islam fundamentalis ada di sini dalam konteks ideologis.
Ketiga, Islam Modernis. Visi modernism dalam Islam adalah bagaimana kita melakukan rekonsiliasi teologis terhadap realitas modern. Modernitas adalah fakta yang given. Islam fundamentalis berpusat pada kebenaran ideologis, sedangkan Islam modernis berpusat pada kebenaran yang didefinisikan orang lain. Ini kelompok dominan yang menjadi pemilik kebenaran. Islam modernis adalah Islam yang sedang melakukan justifikasi dan penyesuaian ideologis (ishlah) terhadap fakta-fakta kemodernan. Inilah realitas sesungguhnya dimana muslim tidak bisa lari dan hanya bisa melakukan penyesuaian-penyesuaian. Karena itu isu Islam modernis itu sendiri, sedangkan musuhnya adalah siapa saja yang melawan realitas dominan (kebenaran) itu sendiri.
Ketiga kelompok Islam ini tidak berbeda yakni tidak memberikan liberation, bahkan kadang-kadang Islam modernis memperlukan Islam Fundamentalis persis sama dengan tindakan Islam Fundamentalis itu sendiri. Pilihannya hanya menghancurkan. Adapun Islam-Islam ideologis yang muncul belakangan ini dengan isu Barat-Islam, Palestina, Osama bin Laden sebagai justifikasinya, adalah kelompok-kelompok radikal dan kelompok lemah dan terpinggirkan yang tidak bisa menyelamatkan eksistensi dari kecuali hanya dengan cara radikal.
Tidak mungkin orang begitu radikal jika tidak ada persoalan yang begitu serius. Pertanyaannya adalah kenapa kelompok dominan tidak berusaha berempati dengan kelompok pinggiran?. Rasa empati inilah yang tidak dimiliki teologi dominan sehingga tidak ada ruang untuk pemberian maaf dan berdialog.
Ketika umat Islam berada dalam problem ketidakberdayaan dan keterbelakangan yang total, maka hanya satu yang bisa dibanggakan, yaitu teks suci itu. Pilihannya adalah apakah teks harus ditinggalkan atau bagaimana? Bukankah orang lain bisa bangkit tanpa teks, walaupun sebenarnya modernism Barat pun sebetulnya merujuk teks-teks Yunani kuno sebagai acuan pengembangan dan penyesuaiannya. Dan muslim jeis tidak bisa go to hell begit saja, karena dengan meninggalkan teks berarti ahistoris.
Apa Metodologi yang dipakai Islam Emansipatoris?
Pilihan yang diambil dengan pemetaan yang ada adalah istilah yang disebut Emansipatoris. Pada perspektif dasarnya emansipatoris ini tidak bisa lepas dari sejarah teori kritis di mana rujukannya ada beberapa macam dari aliran sangat kiri, kiri dalam, dan kiri luar sehingga disebut Islam kritis. Kritis di sini bukan bertanya terus atau engkel.
Kritisme ada dua elemen. Pertama, realitas material: sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideology hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan materil atau mempertanyakan hegemonic yang bertolak pada realitas empiric. Kedua, visi transformatif, memiliki komitmen pada perubahan struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi hegemonik dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun relasi politik (penguasa-rakyat).
Hal ini dapat diperjelas dengan gambar sebagai berikut:
(Gambar Lingkaran Praksis Islam Emansipatoris)
Keempat variable ini terkait satu sama lain. Berbeda dengan paradigma Islam lainnya, titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem kemanusiaan, bukan teks suci (teks-ide) sebagaimana seperti Islam skriptualis, ideologis maupu modernis. Teks-teks suci di sini subordinat terhadap pesan moral atau etik atau spiritual sehingga ia tidak dipahami sebagai sinaran pembebasan. Pada teoritisasi perubahan, watak transformatif Islam emansipatoris akan didefinisikan sebagai landasan bagi misi Islam emansipatoris berupa aksi pembebasan. Dan aksi ini tentu akan diterapkan pada problem kemanusiaan yang real tadi. Memang secara integral, Islam Emansipatoris tidak berhenti pada dekontruksi dan pembongkaran teks yang membuat kita linglung, tapi teks dijadikan sebagai wahana pembebasan. Karena realitas dominasi tidak hanya wacana, melainkan juga dominasi yang bersifat riil dan materiil.
Problem kemanusiaan yang dipahami dalam tahap kerja Islam Emansipatoris antara lain adalah:
1. Bagaimana kita secara adil mendefinisikan apa yang kita pahami sebagai problem kemanusiaan. Bagaimana sebuah kerangka teori didefinisikan sebagai problem kemanusiaan.,
2. Bagaimana memperlakukan teks dalam tahap refleksi kritis. Teks diperlukan sebagai alat untuk mempertajam nurani dalam melihat problem kemanusiaan karena teks bukan satu-satunya rujukan dalam melakukan refleksi kritis.
3. Bagaimana teks diperlakukan kalau akan dilakukan sebagai sumber kritik. Ini mungkin butuh metodologi tersendiri yang berbeda dengan yang dipakai selama ini.
4. Kalau teks bukan satu-satunya alat, apalagi yang akan dipakai untuk mencerahkan kemanusiaan. Terori-teori perubahan apa yang akan dipakai dalam teori emansipasi? Ada cara untuk memperlakukan teks secara ringan, bahkan mendekonstruksi, yaitu dengan mengabaikan teks dan tidak terlalu memperbesar dengan membicarakannya.