Program Officer : Suraji Sukamzawi
Sekretaris Program : Masykururudin Hafidz
- Latar Belakang
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, para aktivis masjid dan pesantren memiliki kewajiban melaksanakan kaidah hak asasi manusia yang telah disepakati melalui instrumen internasional Universal Declaration of Human Rights, kovenan hak sipil dan politik, dan kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai warga negara, sivitas masjid dan pesantren juga memiliki kaitan tugas untuk melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah diketengahkan melalui dasar negara Pancasila, UUD 1945, dan seperangkat aturan seperti TAP MPR yang secara khusus mengetengahkan hak asasi manusia. Sebagai pemeluk Islam yang taat, sudah tidak diragukan lagi, al-Quran dan al-Hadits yang notabene menjadi pegangan pokok selalu menekankan penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia. Dalam literatur prinsip-prinsip dan metodologi pengembangan hukum Islam, tokoh seperti Imam al-Ghazali dan al-Syatibi menjabarkan dalam konsep al-dloruriyyat al-khomsah (al-kulliyyat al-khomsah). Konferensi negara-negara Islam di dunia juga telah merumuskan Deklarasi Kairo yang kurang lebih memiliki isi yang sama dengan deklarasi universal hak asasi manusia PBB.
Secara ringkas, dalam posisi apapun, sivitas masjid dan pesantren memiliki kaitan peran strategis dengan penegakan hak asasi manusia. Pada tingkat minimal, wacana mengenai hak asasi manusia sepatutnya akrab dalam muthola’ah (kajian) serius yang diselenggarakan secara rutin oleh masjid dan pesantren. Paska wacana, tentu saja diharapkan umat muslim yang taat menjadi agen kontrol untuk memastikan bahwa hak asasi manusia benar-benar menjadi kewajiban negara yang harus selalu ditegakkan. Dan jika kelak menjadi bagian dari struktur pemerintahan, mereka merupakan pejabat yang aktif mengkampanyekan hak asasi manusia dan mengapresiasi penegakannya di tingkat lapangan.
Akan tetapi, nyatanya sampai saat ini masjid dan pesantren belum menjadi bagian gerakan yang penuh gairah mengontrol penegakan hak asasi manusia. Secara riil, wacana hak asasi manusia juga masih cukup jauh dari kajian-kajian dan pengajian di masjid dan pesantren. Pengajian rutin dan berbasis momen peringatan hari besar Islam kurang akrab dengan perbincangan mengenai hak asasi manusia. Negara, alih-alih serius mensosialisasikan hak asasi manusia melalui pengajian di masjid dan pendidikan di pesantren, sebaliknya kerap menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga instrumen hukum dan infrastruktur seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia masih sekedar menjadi kabar lewat yang diberitakan media elektronik dan cetak. Bahkan Deklarasi Kairo yang ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Islam di Kairo Mesir tanggal 5 Agustus 1990, yang berisi apresiasi terhadap hak asasi manusia yang relevan dengan dasar keberagamaan umat Islam, nyaris menjadi wacana yang asing dalam perbincangan di masjid dan pesantren secara khusus –bahkan umat Islam secara umum. Demikian pula dengan konsep al-dloruriyyat al-khomsah, dalam khazanah klasik dunia muslim hanya menjadi bacaan sedikit orang muslim, karena letaknya dalam kitab al-Mustashfa dan al-Muwafaqat –keduanya merupakan kitab besar yang mesti dipelajari dengan kapasitas pengetahuan kitab yang cukup tinggi. Belum lagi dalam kedua kitab tersebut, meskipun mengetengahkan konsep umum yang sama mengenai hak-hak dasar manusia, akan tetapi secara epistemologis keduanya berbeda dalam menyikapi posisi manusia di depan teks (nash). Dan di Indonesia, baru NU yang secara organisatoris menerima konsep tersebut (al-huquq al-insaniyyah fil Islam) sebagai ketetapan keberagamaan melalui Munas Alim Ulama di Nusa Tenggara Barat tahun 1997.
Masjid-masjid dan pesantren-pesantren di Indonesia secara umum masih jauh dari sosialisasi dari pemerintahan nasional dan global mengenai hak asasi manusia. Sedangkan dari internal agama sendiri, konsep hak asasi manusia atau hak-hak dasar manusia (huquq al-insaniyyah) belum diturunkan dalam konsep-konsep sederhana yang mudah dipahami oleh umat dan peserta pendidikan pesantren. Hal demikian menyebabkan secara langsung masjid dan pesantren kurang cukup intensif berhubungan dengan hak asasi manusia, bahkan di tingkat paling dasar, yakni konseptual.
Padahal disadari, bahwa pengetahuan, apresiasi, dan pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia akan memberi jaminan hubungan yang intim, kooperatif, dan mutualistik. Dalam kaitan hubungan dengan negara, ia akan memperkuat posisi tawar yang baik bagi masyarakat sipil dan sekaligus sebagai pressure untuk memastikan bahwa negara menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya. Tanpa kondisi tersebut, kecenderungan manusia akan saling menafikan dengan melandaskan sentimen agama, ras, atau gender akan terbuka. Sementara negara dengan mudah menghindar dari tugas dan tanggung jawab untuk mengayomi masyarakat, sebaliknya menjadi pelaku aktif dan kreatif atas pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa pemahaman dan penghayatan yang baik mengenai hak asasi manusia, selanjutnya masjid dan pesantren bahkan bisa menjadi sarana berbagai kepentingan radikal justru untuk melanggar hak asasi manusia sendiri.
Berangkat dari pemikiran di atas, penting sekiranya pendidikan hak asasi manusia diselenggarakan melalui masjid dan pesantren. Mengapa masjid, karena merupakan tempat ibadah yang mempertemukan umat muslim dari berbagai latar belakang dan hirarkhi sosial. Masjid menjadi tempat pendidikan informal yang sangat strategis bagi kalangan muslim. Karena itu pula, dalam beberapa tahun terakhir masjid menjadi lokasi yang diperebutkan oleh kalangan radikal untuk memasarkan gagasan-gagasannya yang kurang apresiatif terhadap hak asasi manusia. Jumlah persisnya belum teridentifikasi dengan jelas, tetapi kecenderungan masjid yang diisi dengan khotbah dan penyebaran opini radikal dan menghantam kelompok lain makin banyak. Dan mengapa pesantren, karena ia merupakan lembaga pendidikan formal sekaligus informal yang memiliki jumlah peserta didik yang banyak. Pesantren juga menjadi simbol keagamaan yang diakui, sehingga diharapkan sekaligus program ini akan meneguhkan peran pesantren (lembaga keagamaan) ke depan agar lebih proaktif dalam penegakan hak asasi manusia.
Diharapkan nanti masjid melalui takmirnya dan pesantren melalui santri akan menjadi agen yang rajin menyebarkan gagasan substansi hak asasi manusia dalam pengajian dan khotbah-khotbahnya. Mungkin ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, akan tetapi upaya ke arah tersebut bukan permasalahan yang musykil. Posisi keberpihakan masjid dan pesantren yang demikian strategis dalam penegakan hak asasi manusia bukan tidak mungkin diterapkan di berbagai tempat.
- Konteks dan Desain Program
Selama 9 bulan (Desember 2008-Agustus 2009), P3M bekerjasama dengan Yayasan TIFA telah menjalankan Program Islam dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Kabupaten Cianjur. Program ini dilaksanakan dengan harapan bisa mendapatkan 4 hal. Pertama, munculnya pemahaman dan keyakinan bahwa penegakan hak asasi manusia adalah bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim yang taat. Kedua, tersosialisasi antusiasme dan semangat berpikir kritis masyarakat kepada negara sebagai institusi besar yang harus serius dalam perlindungan hak asasi manusia atas warga negaranya. Ketiga, tersusun agenda dan melakukan langkah-langkah advokasi bersama untuk mengatasi persoalan-persoalan hak asasi manusia di tingkat lokal. Dan keempat, terbangun jaringan kerjasama antar agama sebagai elemen basis kekuatan perubahan dalam masyarakat, terutama dalam kaitan dengan pelaksanaan hak asasi manusia.
Konsentrasi program ini adalah bagaimana menyelenggarakan apresiasi dan kerjasama antar agama sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip hifdz al-din dalam 5 prinsip al-dloruriyyat al-khomsah. Program ini berharap bisa melakukan penegakan hak asasi manusia dalam konteks yang riil, yakni kerjasama agama-agama, dan bersama-sama antar agama mendorong pelaksanaan hak asasi manusia dalam wilayah lokal kabupaten Cianjur. Karena itu, setelah pelaksanaan kegiatan pelatihan Islam dan Penegakan HAM, langkah paling pokok adalah kerjasama agama-agama melalui kegiatan diskusi reguler, live in, dan penerbitan poster dan film dokumenter.
Dalam evaluasi program, diketengahkan bahwa empat harapan di atas telah terpenuhi dengan baik oleh program. Para peserta program yang telah menerima pendidikan Islam dan Penegakan HAM sudah merasakan bahwa pemahaman tentang keharus pelaksanaan hak asasi manusia adalah bagian dari keberagamaan (Islam). Sasaran program juga merasakan perlunya berpikir kritis kepada negara atas kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak pada pemenuhan hak asasi manusia warga negara. Dan dengan kerjasama secara langsung antar agama, program ini telah menyusun beberapa agenda penting pelaksanaan hak asasi manusia di daerah. Bahkan beberapa keberhasilan yang tidak diskenariokan juga telah dicapai. Kerjasama telah sampai pada aksi kongkrit pelaksanaan hak asasi manusia. Sebagai contoh, para aktivis agama-agama telah bekerjasama donor darah antar agama yang diberikan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) untuk dimanfaatkan oleh siapapun, dari latar belakang agama apapun.
Namun demikian, program yang sudah sedemikian baik capaiannya, dirasakan masih ada sesuatu yang kurang. Di antaranya terkait dengan jumlah pihak yang terjangkau dengan pemahaman hak asasi manusia masih sangat sedikit. Terutama para pihak muslim belum melibatkan masyarakat secara massif dalam pergulatan pemahaman dan kesadaran terhadap keharusan penegakan hak asasi manusia. Karena itu, program di Cianjur, selain menguatkan kerjasama agama-agama untuk melangkah ke advokasi kebijakan agar berpihak pada hak asasi manusia, juga memandang perlu menguatkan basis masyarakat dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan membangun kesadaran tentang HAM sebagai bagian dari keberagamaan (Islam). Selain itu, program ini juga telah memilih berkonsentrasi pemenuhan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pendekatan tersebut dirasa lebih tepat untuk konteks Cianjur, dibanding pendekatan yang lain.
Mulai Desember 2009, P3M bekerjasama dengan Hivos untuk menindaklanjuti program penegakan HAM di Kabupaten Cianjur dengan konsentrasi pada advokasi kebijakan daerah. Ada beberapa langkah penguatan kapasitas aktor-aktor di Cianjur agar bisa melangkah pada proses legal drafting. Diharapkan setelah diskusi rutin dan penguatan kapasitas, segera ada produk legal drafting peraturan daerah yang lebih berpihak pada pemenuhan hak asasi manusia. Dalam hal ini, tekanan perda lebih ke pemenuhan hak kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak (kibbla).
Pada saat ini, P3M memandang pengalaman pelaksanaan Program Islam dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Kabupaten Cianjur perlu direplikasi ke beberapa daerah yang lain. Tentu saja dengan mempertimbangkan beberapa modifikasi yang dipandang penting. Pada tingkat desain program misalnya, beberapa daerah yang dijadikan sebagai lokasi program tidak buru-buru melangkah pada kerjasama agama-agama. P3M berpendapat bahwa langkah paling utama adalah membangun pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari keberagamaan. Langkah ini merupakan tahap membangun basis kesadaran dan sekaligus ideologisasi keberpihakan kepada hak asasi manusia. P3M juga menyadari bahwa basis kesadaran adalah tempat “pertarungan” pertama dan harus dimenangkan. Di lapangan, kata-kata “pertarungan” akan lebih terasa karena maraknya pemanfaatan masjid dan media oleh pihak lain untuk menyebarkan paham kebencian dan provokasi. Ini adalah level pertaruhan program. Apalagi, desain program ini akan dengan sengaja melibatkan masyarakat secara massif.
Jika langkah pertama ini sudah dilaksanakan, baru masuk pada kerjasama agama-agama atau kerjasama dengan pihak manapun yang berkepentingan terhadap penegakan HAM di tingkat lokal, baik yang berbasis ras, gender, maupun latar belakang sektor profesi. Jika langkah pertama sudah kuat, maka dipandang langkah kedua akan menemukan momentum yang tepat.
Dari segi periode waktu, tahap pertama akan dilaksanakan dalam waktu 11 bulan. Tidak bisa tidak, tahap ini harus diberikan perhatian yang serius dan membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk menciptakan kesan “membombardir” pemahaman dan kesadaran masyarakat secara berkelanjutan. Dalam waktu tersebut, masyarakat akan terus membaca dan mendengarkan media yang menyerukan hidup yang damai dan menghargai kemanusiaan sebagai basis keberagamaan.
Sedangkan tahap kedua bisa dilaksanakan 12 atau 18 bulan, tergantung kebutuhan. Jika dilaksanakan sampai 18 bulan, maka langkah ekstensifikasi aktor gerakan penegakan HAM ke antar agama dan sektor yang lain diharapkan makin mengukuhkan langkah-langkah advokasi dan memantapkan hasilnya.
Dengan demikian, maka untuk 1 tahun program yang diajukan sekarang, di 3 kabupaten program akan menerima kegiatan-kegiatan membangun pemahaman dan kesadaran secara massif sampai masyarakat.
- Tujuan Program
Secara umum program ini bertujuan untuk membangun wacana dan sikap keberagamaan (Islam) yang mampu membangkitkan dan memperjuangkan terpenuhinya hak-hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Secara khusus program ini bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran (ideologisasi) yang baik bagi kalangan pesantren dan Takmir Majid tentang kewajiban pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagai bagian dari pelaksanaan keberagamaan.
- Hasil (Out Put)
Pertama, unculnya pemahaman dan keyakinan di kalangan takmir masjid, pengurus pesantren, dan sebanyak-banyaknya anggota masyarakat muslim bahwa penegakan hak asasi manusia adalah bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim dan warga negara yang taat. Kedua, Terbentuk aktor-aktor di masjid dan pesantren yang akan menyebarkan paham keberagamaan yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, terutama dalam hal pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang harus terus didorong.
Ketiga, Tersosialisasi antusiasme dan semangat berpikir kritis masyarakat kepada negara agar institusi besar ini serius merumuskan dan menjalankan kebijakan yang berpihak pada pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara.