Dalam konteks budaya dan pendidikan istilah pesantren sudah sangat lekat dan dekat di hati umat, tentunya sebagai intitusi keislaman tertua di Indonesia. Pesantren biasanya dikatakan juga dengan sebutan pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan gabungan dari kata pondok dan pesantren. Kata pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata pesantren, merupakan bentukan dari kata ”santri” yang mendapat affix ”pe-an” menjadi ”pesantrian”. Ada yang mengungkapkan, kata santri sendiri berasal dari kata ”chantrik”, yang berarti orang yang sedang belajar kepada seorang guru, sehingga pesantren diartikan tempat belajar para santri. Dengan demikian, pengertian pondok pesantren adalah tempat belajar para santri yang dilengkapi dengan tempat pemondokan atau asrama.
Istilah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang khas di Jawa sama tuanya dengan penyebaran Islam di nusantara. Dalam kanteks pendidikan Islam di Sumbar, pesantren baru memasyarakat dan digunakan sejumlah lembaga pendidikan di dalam beberapa dasawarsa terakhir. Memang ”surau” sebagai lembaga pendidikan Islam, dalam beberapa hal mempunyai kemiripan dengan pondok pesantren, yaitu murid-murid belajar dan tidur di surau (jadi juga berfungsi tempat pemondokan). Akan tetapi, ia mempunyai kultur yang berbeda dengan pondok pesantren, baik dari segi kedudukan syekh dan kiyai, dari segi kepemilikan pondok atau surau, serta dari segi fungsi sosialnya.
Diperkirakan perubahan nama surau menjadi pesantren terjadi setelah tahun l975 M, karena sejak itu pemerintah memberikan perhatian khusus untuk pembinaan pondok pesantren, dengan disediakannya seksi pembinaan administrasi dan teknis, diberikannya bantuan untuk pembangunan gedung, asrama, alat-alat labor, peralatan keterampilan, latihan keterampilan, dan bantuan lainnya.
Perubahan nama tersebut tentu saja masih sesuai dengan prinsip pondok pesantren, karena surau dan madrasah-madrasah yang berubah nama menjadi pondok pesantren itu telah memenuhi empat ciri pokok pondok pesantren, yaitu: (l) ada kiyai atau syekh panutan yang mengajar atau mendidik, (2) ada santri yang belajar kepada kiyai, (3) ada masjid, (4) ada pondok/asrama tempat para santri tinggal. Di antara surau atau madrasah-madrasah yang dikatagorikan dengan pondok pesantren itu adalah, Perguruan Thawalib Padangpanjang, Diniyah Puteri dan Diniyah Putera Padangpanjang, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho Padangpanjang, Kulliyatul Muballighin Padangpanjang, Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Ampek Angket Candung, Tarbiyah Islamiyah Kamang; keduanya di Kabupaten Agam, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Aurduri Kabupaten Solok, dan lain-lain.
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Sumatera mencatat bahwa sebelum tahun 1900 banyak ulama Islam Sumatera Barat terkenal yang dihasilkan melalui sistem pendidikan Islam semacam ini. Mereka itu antara lain: (1) Syekh Abdulah Khatib Ladanglawas Bukittinggi, (2) Syekh M Djamil Tungkar Batusangkar, dan (3) Syekh Tuanku Kolok Sungayang Batusangkar. Sistem pendidikan Islam di Sumbar pada masa itu dinamakan juga sistem pendidikan surau. Cara pelaksanaan pendidikan surau ini pada umumnya dilakukan dengan cara murid-murid duduk menghadap dalam bentuk setengah lingkaran atau seperempat lingkaran dan disebut juga sistem halaqah. Pelajaran awal diberikan secara ber-halaqah, kemudian guru mengajar murid seorang demi seorang. Cara ini ditempuh karena murid-murid mungkin mempunyai kemampuan dan sudah sampai pada tingkat pengajaran yang berbeda. Perbedaannya ini antara lain disebabkan karena tidak adanya penjadwalan penerimaan murid baru. Dengan demikian, sistem pendidikan surau ini tidak mengenal rekrutmen dan administrasi pendidikan seperti sekarang ini, dan murid baru dapat diterima sepanjang waktu.
Jika sistem halaqah ini diperhatikan secara seksama, dapatlah dikatakan bahwa sistem ini hampir sama dengan sistem kuliah masa sekarang. Perbedaannya adalah jika pada sistem kuliah mahasiswa mencatat pelajaran yang dikuliahkan oleh dosennya, maka pada sistem halaqah pelajar-pelajar harus menyimak dengan melihat kepada kitab masing-masing dan kemudian secara bersama-sama mengucapkan apa yang diucapkan oleh guru.
Salah satu kebaikan sistem halaqah ini adalah, bahwa pelajar-pelajar terlebih dahulu dianjurkan mempelajari materi pelajaran yang nantinya akan dibahas oleh guru atau ustad sendiri atau bersama teman-temannya. Hal ini berarti bahwa para pelajar sedikit banyaknya sudah mempunyai gambaran tentang isi kitab yang akan dipelajari bersama guru. Dengan demikian, para pelajar pada tingkat pengajian kitab ini dididik untuk memulai belajar, menganalisis dan memahami sendiri semua materi pelajaran yang tercantum dalam kitab-kitab yang secara umum menggunakan tulisan bahasa Arab. Oleh karena itu, pelajar-pelajar yang rajin belajar dan tekun serta kuat kemampuannya dalam membaca kitab-kitab tersebut akan cepat pandai dan ‘alim.
’Alim adalah bahasa Arab yang berarti orang yang berilmu, karena akar katanya adalah ’ilm. ’Alim adalah orang yang telah menguasai ilmu agama Islam dengan segala cabangnya. Dia juga telah melalui pendidikan agama Islam secara formal atau nonformal. Di antara cirinya yang dapat ditunjukkan adalah bahwa ia telah mampu membaca kitab-kitab Arab yang tidak berbaris atau kitab gundul, yang juga disebut kitab kuning, serta dapat pula mengajarkannya kepada orang lain. Selain itu, ia taat menjalankan ajaran agama, sehingga tampak beda perilakunya dibandingkan dengan orang lain yang kurang dalam pengetahuan agamanya.
Jika seorang pelajar sudah dianggap pandai dan ’alim oleh gurunya, maka pelajar tersebut sudah boleh kembali ke kampung halamannya dan boleh mengajar di surau yang ada di kampungnya. Di surau itu pulalah ia mengajar murid-murid dan sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Islam. Dengan demikian, dia pada waktu itu sudah berfungsi sebagai guru. Pendidikan Islam pada saat itu belum mengenal standardisasi kualitas tamatan. Seseorang dinyatakan tamat hanya berdasarkan penilaian dan otoritas seorang guru.
Proses pendidikan pondok pesantren di Jawa dan pendidikan sistem surau di Sumbar dengan sangat nyata telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan dan kebaikan bangsa Indonesia. Sayang, akhir-akhir ini dunia pesantren tercemar oleh beberapa orang pimpinan pesantren yang salah kaprah. Ketika beberapa kiyai bertemu dengan orang atau kelompok yang tidak puas terhadap perilaku orang-orang di birokrasi, pengusaha dan oportunis politik lalu mereka berhasil mempengaruhi sang kiyai. Kiyai sejenis ini kemudian menjadikan pesantren yang begitu luhur sebagai pilar moral bangsa berubah arah menjadi sarang orang yang tidak mampu lagi berpikir rasional. Atas nama ajaran agama dan jihad mereka memendam rasa benci terhadap siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka.
Pikiran distorsi (menyimpang) yang menghinggapi beberapa tokoh pesantren menjadi virus ganas yang meluluhlantakkan nama harum pesantren sepanjang sejarah bangsa. Tuduhan dan cap menyedihkan—pesantren sarang teroris—begitu dengan enteng dilempar oleh pihak yang memang sejak awal tidak senang dengan kejayaaan pesantren sebagai lembaga umat ini. Realitas munculnya pikiran dan gerakan nyeleneh dan ada unsur di luar kelaziman perilaku orang-orang pesantren atau orang surau dalam jangka panjang akan mengelap sejarah terang dunia pesantren. Siapa pun tentu dapat berpikir jernih tentang kontribusi pesantren, dan sekaligus tidak akan terjebak pada berpikir generalis (menarik kesimpulan bersifat umum) pada pesantren. Semoga diarifi adanya. (*)
Oleh Duski Samad, Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang
Sumber: Padang Ekspres, Jum’at 13 Mei 2011