Wakil Bupati Magelang Zaenal Arifin melangkah secara santun memasuki arena Suran Tegalrejo 2011 bertajuk Jamasan Insan, tradisi rintisan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, pimpinan Kiai Haji Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).
Para santri pondok pesantren (ponpes) setempat sejak tiga tahun terakhir merintis tradisi untuk merayakan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan “Suran”.
image: cakrawala sena [freshfluo] |
Di ruangan terbuka untuk transit para undangan khusus di pojok arena pergelaran Suran Tegalrejo, di tepi Jalan Raya Magelang-Kopeng itu, duduk bersila antara lain budayawan Magelang Soetrisman, penyair Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya) dan Dorothea Rosa Herliany (Magelang), Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni.
Selain itu, dalang wayang suket kelahiran Tegal, Slamet Gundono dan guru spiritual gerak yang juga pengelola Padepokan Lemah Putih Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar Suprapto Suryodarmo, penyanyi tembang sufistik berasal dari Ponpes Asy-Syahadah Gunung Lawu Candra Malik dan pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta Wenti Nuryani.
Aneka makanan tradisional seperti getuk, nagasari, nasi kuluban, dengan minuman teh dan kopi panas tersaji di deretan dua meja di ruang untuk undangan khusus tersebut.
Seniman teater Kota Magelang Gepeng Nugroho bersama sejumlah lainnya yang tiba beberapa saat pergelaran itu dimulai, duduk bersila, bergabung dengan masyarakat umum baik lelaki, perempuan, anak-anak dan pemuda. Di atas terpal plastik yang mengelilingi panggung itu.
Pengajar tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Joko Aswoyo seakan menghindar untuk duduk bersama para undangan khusus.
Ia yang berbaju koko warna putih dan mengenakan peci hitam itu terlihat mondar-mandir menikmati suasana eksotik arena Suran itu sambil berbincang dengan relasinya di KLG.
Joko Aswoyo juga bertemu dan berbincang sebentar dengan seorang lulusan ISI Surakarta berasal dari Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, yang kini mengajar tari di SMP Negeri 4 Kota Magelang Titik Sufiani.
Gus Yusuf yang malam itu mengenakan surjan warna putih dan belangkong hitam khas itu, hilir mudik mendekati dan menyapa setiap orang yang masuk lokasi Suran yang terkesan bernuansa eksotik tersebut.
Para petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) mengenakan pakaian adat Jawa antara lain surjan, bebet, dan belangkon, dengan keris terselip di punggungnya, sedangkan seniman perempuan berkebaya aneka motif dan berjilbab.
Mereka berdiri berderet dan saling berhadapan dengan tatanan properti lilin bertudung kertas minyak warna kuning di tengah jalan masuk lokasi Suran, menyambut secara hormat dengan menyalami setiap tamu.
Musik tradisional shalawat Jawa Surah Nabi dimainkan 22 seniman grup Donoroso Mekarsari Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di lereng Gunung Merbabu pimpinan Yosodipuro (62) dari panggung pengiring berukuran 48 meter persegi dengan instalasi dari tatanan dedaunan dan batang pepohonan kering membentuk dua gunungan raksasa.
Mereka memainkan tembang-tembang shalawat beriring tabuhan lima alat musik Islami, terbang, dengan syair antara lain Pengajabsih, Dhandanggula, Kinanti, dan Pangkur, seakan turut menyambut kedatangan para tamu dan masyarakat umum di arena dengan panggung pementasan berkarpet warna hijau, rajutan batang pohon jagung, dan lampu sorot aneka warna tersebut di bawah tenda cukup besar.
Langkah kaki Zaenal yang malam itu mengenakan baju koko warna putih dengan berpeci hitam dihentikan Arwanto, salah seorang penerima tamu. Lelaki muda anggota KLG Magelang itu menggunakan siwur, mengambil air dari satu di antara tiga gentong yang masing-masing bertuliskan tiga baris kalimat berbahasa Arab, kemudian meminta Wabup Zaenal menjulurkan kedua tangannya guna dibasuh.
Setiap tamu undangan khusus menjalani prosesi membasuh tangan dari air gentong itu, ketika memasuki arena Suran Tegalrejo. Dua seniman yakni Arwanto dan Ismanto secara hormat membasuh mereka satu per satu, yang rupanya sebagai simbol atas prosesi Jamasan Insan Suran Tegalrejo 2011.
“Delapan menit lagi kita mulai, sesuai rencana (pukul 20.15 WIB, red.),” kata Riyadi, pengatur acara Suran Tegalrejo, tatkala berkoordinasi di dekat panggung dengan dua pembawa acara Endah Pertiwi dan Gus Kholil, beberapa saat sebelum mulai pergelaran tradisi Suran Tegalrejo itu.
Para tamu undangan berpindah tempat bersila dari ruangan khusus mereka di dekat jamuan malam ke karpet di dekat panggung, sedangkan ratusan masyarakat umum yang sebelumnya berdiri di tepi arena pun merangsek duduk bersila dan sebagian lagi berdiri, di dekat panggung setinggi 20 centimeter, ketika belasan anak penari Geculan Bocah memulai memainkan tariannya pada pergelaran Suran Tegalrejo itu. Beberapa nomor gerak tari Geculan Bocah membuat para penonton berurai tawa.
Hujan yang sempat dikhawatirkan panitia turun saat mereka menggelar tradisi Suran, disebut Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan, di lereng Gunung Merbabu itu, sebagai “kalis” (tidak mempan), meskipun mendung tebal menggantung di langit kawasan Ponpes API Tegalrejo.
Zaenal dari tempatnya bersila tampak melambaikan tangan kanannya, tanda memanggil Atika yang baru saja turun panggung, selesai membaca puisi karyanya berjudul “Busyyeett…..!!!!”. Atika adalah gadis remaja korban banjir lahar Gunung Merapi melewati alur Sungai Putih, warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dan siswi SMP Negeri 2 Salam.
Puisi “Busyyeett…..!!!!” itu terdiri atas lima bait. Kata “busyyeett” yang dimaksud Atika, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tertulis “buset”, yang artinya makian lembut untuk menyatakan umpatan dan keheranan.
Busyyeettku adalah desisan gadis kecil yang ingin jadi penyair. Yang terlahir sebagai ulat bulu yang menakutkan, menjijikkan, dan menggelikan. Hingga tak layak untuk berkawan.
Busyyeettku adalah ulat yang ingin jadi kepompong. Bertahun tahun aku jalani. Jadi kurir di usia dini. Jadi pengajar baca tulis di keluarga pemilik duit. Dan mengumpulkan jilid demi jilid untuk memenuhi tas ilmuku.
Busyyeettku adalah terima kasih pada bintang. Yang bersinar terang di atas lima gunung, yang menawan. Yang membantuku bermetamorfosis. Hingga menjelma menjadi butterfly nan elok dan rupawan. Walau kepakan sayapku tak seindah ekor si burung merak. Tapi sangat berharga, tak terbatas.
Busyyeett…..!!!! Busyyeettku adalah gadis kecil yang ingin jadi penyair. Yang terlahir dari kasta yang terakhir. Yang ingin terbang walau tak setinggi bintang. Tapi ikut mewarnai kehidupan, hingga tak sia-sia adanya.
Busyyeett. Gadis kecil itu kini menjelma. Menjadi kupu-kupu yang bisa menyeberangi sungai lahar yang menakutkan. Terbang ditemani sinar kunang-kunang. Menari riang di atas awang-awang. Busyyeett…..!!!!
“Tadi aku ditanya (Oleh wabup, red.), desaku, sekolahku, kelas berapa, bapakku,” kata Atika yang mengenakan baju Islami motif bunga dan berjilbab warna oranye, usai pergelaran hingga nyaris tengah malam itu.
Sutanto Mendut, pemimpin tertinggi KLG Magelang yang berpidato kebudayaan di panggung dengan properti 20 penari kontemporer gunung Gupolo Gunung yang masing-masing di dalam kurungan ayam malam itu memperkenalkan Atika sebagai anak cerdas secara alamiah dari tepi Kali Putih, selalu berprestasi di sekolahnya, dan setiap hari membantu ibunya membuat camilan tradisional seperti permen tape, permen sirsak, jenang dodol, krasikan, dan wajik bandung di desanya yang kini telah rusak akibat terjangan banjir lahar.
Atika yang hidup bersama ibunya karena ayahnya meninggalkannya sejak kecil itu, selama sekitar delapan bulan, sejak awal 2011, harus mengungsi karena desanya terkena terjangan banjir lahar Gunung Merapi melalui Sungai Putih.
“Jamasan Insan ini adalah jamasan manusia, jamasan hak asasi manusia. Kalau wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW itu `iqra` bukan semata-mata untuk membaca manusia secara kasat mata dari segumpal darah. `Iqra` isinya tentang pesan pendidikan dan kebudayaan yaitu membaca dan menulis. Bahwa kita ini manusia yang bukan istimewa, yang suka memvonis, mengadili, atau memutuskan surga dan neraka,” kata Tanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu.
Sebelum para penari keluar dari kurungan ayam masing-masing dan mempersembahkan tarian Gupolo Gunung, simbol penjagaan kelestarian lingkungan gunung dan desa, grup musik Warga Budaya Gejayan mengiringi lantunan shalawat solo “Iqra” yang dibawakan seorang penembang Sismanto, dengan tabuhan lembut bende, kenong, dan gong.
Pada pergelaran tradisi Suran Tegalrejo bertajuk “Jamasan Insan” selama sekitar 2,5 jam itu, Candra Malik membawakan tiga tembang bernada sufistik dengan iringan gitar akustik, masing-masing berjudul Shiratal Mustaqim, Fatwa Rindu, dan Jiwa yang Tenang.
“Kita pikirkan kemana kita pulang. Ke Allah, tentu rindunya luar biasa. Rindu kita semua kepada Allah,” kata Candra sebelum menembangkan lagu kedua berjudul Fatwa Rindu.
Acep Zamzam Noor membacakan dua syair masing-masing berjudul Ode untuk Penyanyi Dangdut dan Ada Banyak Cara, sedangkan Slamet Gundono menggunakan gitar mininya, berkolaborasi dengan pemetik gambus Habib Mustofa Al Habsi dan performa Suprapto Suryodarmo, memainkan repertoar Gambus Jawa.
Selain itu, belasan santri Ponpes API Tegalrejo dengan pemimpin grup Shollahudin Al Ahmed menyuguhkan tembang Syi`ir Tanpo Waton yang merupakan karya guru bangsa, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“`Kabeh tinakdir saking Pengeran. Kelawan konco dulur lan tonggo. Kang podho rukun ojo dursilo. Iku sunahe Rosul kang mulyo. Nabi Muhammad panutan kito. Ayo nglakoni sakabehane. Alloh kang bakal ngangkat drajate. Senajan asor toto dhohire. Ananging mulyo maqom drajate`,” demikian salah satu syair yang mereka lantunkan dalam iringan tabuhan musik terbang itu.
Shollahudin mengartikan kalimat tembang berbahasa Jawa itu antara lain bahwa takdir berasal dari Tuhan sehingga terhadap teman, saudara, dan tetangga harus rukun dan jangan bertengkar. Hal itu juga sebagai sunah Rasul, Nabi Muhammad, teladan umat yang harus dijalankan. Allah mengangkat derajat manusia. Walaupun manusia tampilan fisiknya rendah, derajat spiritualnya mulia di hadapan Allah.
Gus Yusuf menyebut tradisi Suran Tegalrejo 2011 bertema Jamasan Insan dengan pergelaran berbagai karya seni dan budaya itu mengajak setiap individu menyadari hakikat kemanusiaannya.
“Senang saya malam ini dengan Jamasan Insan. Ini malam jamasan, kita terkadang melihat manusia, yang `disawang` (dipandang) `dedeg e` (tinggi badan atau fisiknya) manusia, tetapi kelakuannya seperti hewan, penindasan, petani digusur, disakiti, dibantai, banyak saudara-saudara kita tidak bisa makan karena jatahnya dikeruk orang kaya yang tidak puas dengan kekayaannya. Korupsi makin menjadi, panutan tak bisa jadi panutan,” katanya.
Jamasan Insan, katanya, dorongan kesadaran terhadap setiap individu untuk membersihkan diri menjadi berhati mulia dan kembali sebagai manusia yang berlimpahkan cinta dan kasih sayang. (M029*H018/Z002)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber: Antara News