P3M, DEPOK – Paham gerakan radikal justru lebih subur tumbuh di dalam institusi pendidikan formal dibandingkan pesantren berdasarkan kajian dan penelitian Kementrian Agama. Hal ini dimungkinkan karena asupan informasi dan transfer nilai keagamaan dalam pendidikan. Formal tidak diperoleh dalam porsi yang cukup.
“Konsekuensinya, peserta didik mendapatkan pendidikan agama secara singkat dan doktrinal, sehingga tidak sampai menghasilkan pemahaman utuh,” ujar Sekretaris Jenderal Kementrian Agama, Bahrul Hayat, saat membuka Halaqah Membangun Kesadaran dan Strategi dalam Mengahadapi Gerakan Radikalisasi Agama di Pesantren Al-Hikam, Kecamatan Beji, Kota Depok, Senin malam (20/6).
Dia mengatakan, titik inilah yang sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memasukkan doktrin menyimpang dari nilai dasar agama yang semestinya. Namun sayangnya kesan basis gerakan radikal kerap dialamatkan kepada pesantren. “Ini merupakan sesuatu yang tidak fair dan perlu dikaji kebenarannya secara lebih obyektif,” kata dia.
Bahrul mengakui, sebagian kecil pesantren rentan dimasuki paham gerakan radikal. Meskipun demikian, menggeneralisir pesantren sebagai basis perkembangan gerakan radikal adalah pendapat yang sangat berlebihan.
Bila menengok realitas sejarah Indonesia, kata Bahrul, sesungguhnya kaum santri memiliki andil dan sumbangan yang sangat besar bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang perlu kita lestarikan dan tunjukkan di dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Bahrul, pesantren memiliki potensi, kompetensi, kapasitas dan peluang sebagai garda terdepan dalam upaya deradikalisasi. Untuk menangkis masuknya radikalisme di pesantren sebaiknya lembaga pendidikan ini mengimplementasikan pendidikan nilai Pancasila serta memberikan pembelajaran agama yang utuh dan terpadu.
Di waktu yang terpisah, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Ansyaad Mbai menilai bahwa gerakan radikalisme cukup mengkhawatirkan. Meskipun sudah dilakukan upaya penangkapan terhadapa pelaku tindakan gerakan radikalisme, namun aksi terorisme di masyarakat tidak berhenti begitu saja. “Gerakan Radikalisme itu semakin mengkhawatirkan. Meskipun pelakunya sudah di tangkap, tapi tidak akan berhenti sampai disitu saja. Memang itu yang dilakukannya,” ujarnya pada acara Workshop Membangun Kesadaran dan Strategi dalam menghadapi gerakan radikalisme. Pesantren Al-Hikam, Kecamatan Beji, Kota Depok Selasa (21/6).
Ansyaad mengungkapkan, sumber dari gerakan radikalisme agama diantaranya dari luar dengan ditandai masuknya gerakan transnasional seperti ingin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Sedangkan dari dalam adalah pemahaman penafsiran yang sempit dan pemikiran yang dangkal tentang agama Islam.
Dia mengatakan, pihak keamanan telah menahan sebanyak 500 orang yang telah terlibat dalam aksi terorisme. Dari jumlah tersebut, sudah ada yang dibebaskan. Namun mereka yang telah dibebaskan kerap kali terlibat dalam aksi terorisme diberbagai daerah di Indonesia. Untuk itu, dalam menanggulanginya tidak bisa dilakukan dengan upaya represif. “Coba lihat, bagaimana aksi dari gerakan radikalisme yang lebih suka mati daripada di tangkap. Apalagi, banyak anggota polisi yang menjadi sasaran targetnya,” tuturnya..
Menurut dia, Indonesia dalam menangani terorisme cukup mendapatkan apresiasi dari dunia luar. Bahkan beberapa negara seperti Saudi Arabia juga turut belajar dalam menangani gerakan terorisme. Hal itu karena dalam menangani terorisme lebih mengedepanka aspek hukum sebagai bahan pijakan. Berdasarkan pengalaman, Indonesia pernah menerapkan penanganan terorisme dengan menggunakan kekuatan represif dan hasilnya tidak baik. “Kita sudah belajar dari pengalaman masa lalu dalam penanganannya menggunakan kekuatan militer. Tapi, justru melanggar HAM dan ini yang kita hindari,” tuturnya. (A-185/kur)***
Sumber: Pikiran Rakya Online, Selasa, 21 Juni 2011