Kabar P3M

Mengapa Toleransi Beragama?

112
×

Mengapa Toleransi Beragama?

Sebarkan artikel ini
Perdamaian, RimanewsDotCom

Sebuah seminar oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mencoba menjawab bisakah tercipta kerukunan beragama tanpa pemeluknya masing-masing mengkompromikan iman.

Mendengar Kerajaan Romawi Timur yang beragama Kristen itu dikalahkan Kerajaan Persia yang menyembah api, kaum muslimin bersedih. Lalu turunlah wahyu yang menggembirakan, yang menyatakan bahwa sembilan tahun kemudian Kerajaan Bizantium itu aka menang dan kaum muslimin akan bergembira. Wahyu yang tertera dalam surat Ar-Rum 1-4 ini terbukti kebenarannya pada 625 M. 
Kisah ini sengaja ditampilkan Dr. M. Quraish Shihab pada seminar yang diadakan P3M pada Rabu, 28/11/1990, dengan maksud menunjukkan bahwa sejak awal sudah terjalin hubungan yang mendalam atara Islam dan Kristen. “Hubungan ini bukan sekedar basa-basi, melainkan sudah merasuk ke dalam jiwa. Apalagi kejadiannya diabadikan dalam al-Qur’an.” kata dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.
Inilah seminar yang dihadiri oleh para ahli di bidang keagamaan, budaya, politik, dan pemerintahan ini, yang antara lain mencoba menjawab pertanyaan: dapatkah para penganu agama yang tetap berpegang pada kemutlakan ajaran agamanya hidup rukun dalam satu masyarakat dan negara? Atau seperti yang disampaikan oleh Frans Magnis Suseno, dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, bisakah penganut agama berdamai dan saling meghormati, tanpa mengkompromikan iman dan keyakinan mereka?
Persoalan ini jelas merupakan masalah bagi Indonesia, negeri yang memiliki lima agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
Menurut Quraish Shihab, salah satu hal yang pokok untuk membina kerukunan beragama adalah dihindarkannya sikap menyamaratakan. Kata ahli tafsir Indonesia ini, para ahli kitab Yahudi dan Nasrani membedak-bedakan pendapat dan sikapnya. Ada kelompok yang objektif, mereka itulah yang dibicarakan al-Qur’an dengan pujian.Namun ada juga kelompok Yahudi dan Nasrani yang bersikap tidak bersahabat. Jadi, kata Quraish Shihab lebih lanjut, “jangan mengangkat satu ayat yang berbicara hanya tentang kelompok tertentu menjadi sikap umum semua penganut agama tersebut.”
Kebanyakan pemeluk agama manapun memang tidak memahami ajaran agama mereka secara utuh. Maka, mereka tidak bisa membedakan mana yang absolut dan mana yang relatif dari ajaran agama tersebut. Kelemahan seperti ini, seperti dikatakan Quraish, juga terdapat pada umat beragama yang lain. Di situlah para pemuka bisa mengambil peran : menjelaskan bagaimana ajaran agama masing-masing melihat soal hubungan antar agama.
Bila bertahun-tahun masalah ini ulang dibicarakan, tetapi kemudian muncul juga masalah, itu hanya membuktikan soal toleransi beragama bukan soal yang mudah. Alam agama manapun selalu ada mereka yang lapang dada dan mereka yang fanatik. Untuk itu saran KH. Ali Yafie, Wakil Rais Am Nahdlatul Ulama, tiap agama perlu meningkatkan wawasan agama umatnya.
Namun,mudah mengataka dan sulit melaksanakan berlaku pula untuk masalah ini. Pihak-pihak yang terlibat dalam upaya meluaskan wawasan umat, dari agama manapun, mengakui sulitnya menyampaikan wawasan itu. Seperti yang dikatakan Victor Tanja, pendeta Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), “Jangankan Islam yang mayoritas, kami yang minoritas ini, sulit sekali memberikan pengertian (hubungan antar agama) kepada mereka yang menganut garis keras.”
Tidak semua orang bisa menerima bahwa “ajaran agama yang diberikan Allah bukan untuk pembenaran diri atau kelompok, yang nantinya bermuara pada sikap fanatisme beragama, ” kata Victor Tanja dengan tegas. Tak berarti Victor Tanja ingin mengatakan bahwa semua agama sama. Penyamaan agama itu bisa berbahaya karena berarti mengkompromikan akidah, yang tentunya tidak dibenarkan oleh agama mana pun.
Dalam Islam sebenarnya Nabi Muhammad SAW., sendiri sudah memberikan teladan. Misalnya terhadap tamu-tamu beliau dari kalangan Nasrani yang berkunjung ke Madinah, Nabi pernah mempersilahkan tamunya yang ingin melakukan kebaktian menjalankanya di Masjid. Kisah ini diceritakan oleh Ibn Qoyyim, ulama besar murid Ibn Taimiyah yang hidup pada abad ke 14. Tentu Nabi melakukannya hal tersebut karena memang di sekitar kediaman Nabi tidak ada tempat ibadah bagi kaum Nasrani.
Bila sering toleransi terlupakan, pada hakekatnya bersikap toleran tidak mudah. Soalnya dalam toleransi terkandung sikap yang oleh Frans Magnis Suseno dijelaskan sebagai “kesediaan menerima dan menghormati orang yang berkeyakinan lain dengan kita meski hal itu tidak kita setujui.”
Memang ada orang yang memutlakkan jatuhnya siksaan Tuhan pada orang selain golongannya. Orang seperti ini seakan-akan ingin membatasi rahmat Tuhan. “Padahal Tuhan sendiri berkata, “RahmatKu mengalahkan amarah-Ku,” kata Quraish Shihab mengutip hadits Qudsi [Julizar Kasri, Wahyu Muryadi]

Sumber: Tempo, 1 Desember 1990)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *