Nash al-Qur’an agar persoalan yang menyangkut kepentingan suatu masyarakat dipecahkan dengan cara musyarawarah oleh masyarakat itu sendiri (as-Syura:38), mengemukakan prinsip partisipasi politik semesta yang begitu mendasar namun hampir tidak pernah kepikiran justru oleh al-Qur’an sendiri.
Dalam konteks kehidupan bangsa dan negara, dengan jumlah warga puluhan bahkan ratusan juta jiwa, prinsip partisipasi politik semesta seperti digariskan al-Qur’an tersebut sudah barang tentu tidak mungkin bisa dilaksanakan untuk banyak hal secara langsung oleh seluruh warga. Membentuk badan perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi musyawarah, dengan demikian, merupakan keharusan implisit dari perintah al-Qur’an itu sendiri.
Sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, sebagai bagian tak terpisahkan dari lima sila (Pancasila) dasar kehidupan dan ketata-negaaraan kita, dengan sangat baik telah mencakup prinsip partisipasi politik semesta itu sekaligus keniscayaan pelembagaannya.
Lembaga perwakilan sebagai forum partisipasi politik masyarakat sudah terbentuk mulai dari tingkat desa sampai tingkat pusat (LMD, DPRD, DPR/MPR), kita melihat dengan jelas bahwa komitmen kerakyatan dari lembaga-lembaga ini masih perlu terus ditingkatkan bobotnya.
Struktur kelembagaan dan sistrem rekrutmen orang-orang yang duduk di dalamnya, masih membuka peluang terjadinya pelunturan komitmen kerakyatan yang dimaksud di satu pihak dan kurang menjamin terpenuhinya standar mutu yang harus dimiliki, di lain pihak.
Tuntutan masyarakat-lembaga yang semakin menguat agar lembaga-lembaga perwakilan (permusyawaratan) rakyat di semua tingkatan, semakin ditingkatkan komitmen dan kemampuannya sebagai muara aspirasi rakyat, terutama rakyat lapisan bawah.
Judul: Fiqh Permusyawaratan/Perwakilan
Editor: Masdar F. Mas’udi
Penerbit: P3M bekerjasamasa dengan RMI dan Pesantren Cipasung
Tahun: Agustus 1992
Tebal: 126 halaman