Kabar P3M

Radikalisme dan Kebudayaan

102
×

Radikalisme dan Kebudayaan

Sebarkan artikel ini

Ketika bom-bom mulai banyak di Indonesia sejak 1999,dengan bom gereja yang berlanjut dengan Bom Bali I dan II sampai Bom Marriot I (2003), pemerintah, khususnya aparat kepolisian, belum tahu motif pelaku, latar belakang permasalahan, dan siapa-siapa yang berada di balik terorisme ini. 
Bahkan sempat berkembang teori konspirasi Amerika Serikat-Kristen yang mendalangi terorisme di Indonesia. Katanya tidak mungkin Imam Samudra dan kawankawan membuat bom sehebat itu, yang menurut gambar foto atau video amatir (yang konon bisa dipercaya) ledakannya membuat bentuk cendawan, seperti bom atom Hiroshima. Namun Bom Bali I terbongkar dengan teknologi pinjaman dari Australia dan negara lain. 
Walaupun dengan disertai otak polisi Indonesia.Tapi setelah itu Polri mendapat pengalaman yang sangat berharga dan dibentuklah Satgas Bom dan kemudian Densus 88.Dengan adanya satuan kepolisian yang mengkhususkan diri pada terorisme, akhirnya bukan hanya jaringan terorisme yang bisa dibongkar dan dikendalikan (jumlah mereka terbatas dan orangnya ternyata hanya itu-itu saja), melainkan anggota- anggotanya pun bisa dibina dan sebagian bisa direedukasi (walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas). 
Karena itu Indonesia sempat “sepi dari bom” antara tahun 2004 hingga 2009. Tapi kemudian terjadi Bom Marriot II (2009) dan sesudah itu berturut-turut Bom Cirebon, bom buku, dan Bom Solo (semuanya 2011).Juga terbongkar kamp pelatihan militer liar di Aceh. Saat artikel ini ditulis pada Sabtu,12 November 2011, Densus 88 menangkap lagi tiga orang yang diduga teroris di Tangerang serta diduga mereka menyembunyikan senjata-senjata mereka di hutan kota di Kampus UI,Depok.Luar biasa. 
Siapa yang akan menyangka kawasan UI akan menjadi tempat menyembunyikan senjata? Tapi itulah kenyataannya. Siapa pelakunya,masih dalam penyelidikan polisi, tetapi saya hampir pasti,tentunya wajah-wajah baru lagi. Munculnya wajah-wajah barudaripelaku-pelakuaksidan bom yang mutakhir perlu diperhatikan. 
Nama-nama seperti Ibrahim, M Syarif, Pepi atau Hayat tidak dikenal sebelumnya oleh polisi maupun para pelaku yang sudah ditangkap atau dikenal (dan masih berhubungan baik dengan) polisi. Begitu juga saya kira para penyimpan senjata di UI. Berarti sudah muncul sel-sel radikal baru yang berkembang di luar organisasi dan jalur yang selama ini sudah diketahui (DI/ NII, Komando Jihad,eks Afghanistan,Ngruki, Lamongan, Banten, JI, MMI, JAT, dll).
Mungkin secara organisatorissel- selbaruinitidakada hubungan dengan jaringan yang lama,tetapi secara ideologis mereka sama,yaitu mau menegakkan syariah Islam,baik dengan mendirikan NII maupun tidak. Adanya sel-sel baru ini sudah diduga oleh beberapa peneliti. 
Prof Dr Komaruddin Hidayat pernah menulis di SINDO juga tentang 10 ciri remaja radikal yang mulai banyak di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi (antara lain: mengafirkan orang lain,termasuk orang tuanya sendiri, meminta uang untuk berbagai keperluan kepada orangtua,atau bahkan mencuri untuk disetorkan ke organisasinya, dsb). 
Prof Dr Bambang Pranowo pernah mengumumkan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa 49% dari respondennya (pelajar SMA non-agama/umum di Jabodetabek) setuju pada kekerasan atas nama Islam. Ternyata beberapa literatur (antara lain: Dari NII ke JI) menunjukkan bahwa radikalisme, baik yang berujung kekerasan dan teror maupun yang tidak (melalui jalur partai politik), tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dan sambung-menyambung sejak Proklamasi NII (1949) oleh Kartosuwiryo, termasuk pembajakan pesawat Woyla oleh kelompok Imran (1981) dan peristiwa Tanjung Priok (1984). 
Karena itu analisis dengan menggunakan paradigma ideologi dan sejarah sangat penting untuk mengungkapkan apa sebenarnya yang mendasari radikalisme Islam di Indonesia. Apalagi, pengalaman saya pribadi (dibantu tim UI dan UIN) membuktikan bahwa menderadikalisasi mantan pelaku teror sangat sulit dan memerlukan waktu lama.Selama dua tahun, kami hanya berhasil mengubah perilaku beberapa puluh mantan pelaku saja,yang sebetulnya tidak seimbang dengan biaya dan tenaga yang diinvestasikan ke program itu (deradikalisasi). 
Di sisi lain, mengubah ideologi kelompok lebih tidak mudah lagi.Apalagi kalau kelompok- kelompok ini makin lama makin besar dan sudah memasuki sektor-sektor formal seperti pendidikan dan sistem politik. Namun kita juga tahu bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia melalui jalur budaya dan kehidupan sosial masyarakat.
Karena itu kita temui Islam di Jawa Tengah yang percaya pada Nyai Loro Kidul, Islam di Sumatera Barat yang menganutmatrilineal,dan Aceh yang disebut Serambi Mekkah. Semuanya tidak ada dalam ajaran Islam, tetapi sudah menjadi budaya dan gaya hidup bermasyarakat di tempat masing-masing di Indonesia. 
Gerakan pemurnian Islam yang sudah ada sejak zaman sebelum perang kemerdekaan RI diperkuat dengan pecahnya Revolusi Iran dengan tokohnya Ayatullah Khomeini yang dianggap sebagai perlambang supremasi Islam atas Amerika Serikat (walaupun orang Indonesia menganut Suni, bukan Syiah).
Kemudian masuk ajaran- ajaran Wahabi yang dibawa oleh mahasiswa Indonesia yang studi ke Arab atau Mesir, maka kemudian timbullah pengajian- pengajian Salafi yang dimulai di kampus-kampus di Pulau Jawa. Dana pun berdatangan dari pemerintah atau pihak lain di Arab Saudi untuk pembangunan sarana-sarana pengembangan Islam (masjid, sekolah,universitas). 
Kemudian muncul Osama bin Laden yang mendanai gerakan- gerakan kekerasan dan teror Indonesia (mereka menamakannya jihad fi sabilillah) melalui Abdullah Sungkar (alm) dan Abu Bakar Baasyir, yang dimulai dengan pengiriman pemuda-pemuda Indonesia ke akademi militer di Afghanistan. Osama bin Laden,Abdullah Sungkar, Noordin M Top, Dr Azahari dll sudah tidak ada. 
Abu Bakar Baasyir dipenjara selama 9 tahun (dipotong oleh pengadilan tinggi dari vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 15 tahun), dengan demikian salah satu jalur terorisme sudah dipersempit gerakannya, bahkan sudah bisa dikunci oleh polisi.Tapi polisi, bahkan pemerintah, di era reformasi, demokrasi, dan HAM ini tidak mungkin mengunci penyebaran ideologi radikal yang terus menyebar, bukan hanya di antara generasi muda, melainkan juga di kalangan muslim awam lainnya, termasuk pejabat dan petugas pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat (yang makin bergeser ke arah radikalisme). 
Karena penyebaran agama Islam di Indonesia terjadi melalui jalur budaya dan ideologi radikal masuk ke Indonesia juga melalui jalur budaya, maka pencegahan, netralisasi atau deradikalisasi ideologi radikal juga harus melalui jalur dan pranata budaya.Salah satu contoh adalah mengembalikan wayang ke pesantren (salah satu media penyebaran Islam oleh para wali adalah melalui wayang). 
Media film (seperti Ayat-Ayat Cinta) dan televisi juga sangat populer (tetapi jangan dalam bentuk monolog tradisional yang peringkatnya hampir nol) serta dapat dimanfaatkan untuk mencegah radikalisme. Di samping itu, pengajaran agama Islam dan guruguru agama Islam di sekolahsekolah dan pesantren-pesantren serta imam-imam khotbah perlu dikontrol, misalnya dengan sertifikasi dan sanksi jika melanggar. 
Jangan dilupakan juga peran organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang sudah mempunyai pranata sosial budaya yang lengkap (rumah sakit, panti asuhan,sekolah,universitas, organisasi wanita,pemuda, politik,dsb). 
Tentu saja masih banyak contoh lain.Gerakan Pramuka, misalnya. Intinya adalah kita perlu rekayasa sosial.Tapi jelas bukan rekayasa model P4 di zaman Orde Baru._
 Sarlito Wirawan Sarwono Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Sumber: Harian Seputar Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *