Kemiskinan negeri ini makin parah. Roda kehidupan hanya menciptakan kesejahteraan untuk orang kaya. Sebagian kecil membubung ke atas dengan kekayaan yang dikuasainya, sedangkan mayoritas warga melorot dengan kemiskinan yang dideritanya. Betapa tidak, hasil survei Merril Lynch dan Capgemini mencatat jumlah orang Indonesia berharta Rp 9 miliar naik 16,2 persen. Sementara itu, angka kemiskinan juga naik 6 persen. Artinya, terdapat 20 ribu orang Indonesia yang menguasai Rp 184 triliun, sedangkan pendapatan per kapita lebih dari 200 juta lainnya hanya Rp 15 juta (Tempo, 28 Oktober).
Situasi makin timpang ini sesungguhnya ingin mengatakan, baik yang kaya maupun yang miskin, sebenarnya sama-sama miskin. Yang satu miskin karena kekurangan, yang lain miskin karena kerakusan. Baik kemiskinan karena kekurangan (obyektif) ataupun kerakusan (subyektif), sejak awal menjadi misi dasar agama-agama universal. Misi utama agama adalah mengangkat derajat manusia atas dasar spiritualitas dan moralitas yang tinggi. Tapi di negeri yang hampir semuanya mengaku beragama ini, ternyata agama gagal menerjemahkan ajaran-ajaran sosialnya.
Lain ajaran lain tindakan. Kemiskinan tidak lagi menjadi perhatian serius bagi agamawan negeri ini. Agama malah meninabobokkan pemeluknya tentang arti kesabaran di hari nanti. Bagi yang miskin karena kekurangan, mereka diberi khotbah bahwa kemiskinannya adalah takdir. Sementara itu, yang miskin karena kerakusan cukup diganti dengan serban, peci putih, dan ibadah haji.
Padahal sejarah agama adalah sejarah perang terhadap kemiskinan. Tidak ada satu pun agama yang memberi penghargaan terhadap kemiskinan, baik karena kekurangan, lebih-lebih karena kerakusan. Agama, semua agama, sebagai ajaran spiritual dan moral, melihat problem kemiskinan paling serius justru pada kerakusan. Mahatma Ghandi mengatakan dunia ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia seluruhnya, tapi sangat tidak cukup untuk memenuhi kerakusan, bahkan untuk satu orang saja.
Itulah sebabnya, pembelaan agama terhadap kaum miskin yang kekurangan dan terpinggirkan adalah dengan menghardik mereka yang rakus. Kaum miskin yang lapar menjadi lapar, karena rakusnya orang-orang yang rakus. Karena itu, orang yang berdosa besar di hadapan Tuhan adalah mereka yang rakus, sama sekali bukan mereka yang lapar, tertindas, dan terpinggirkan.
Agama, melalui para agamawannya, kini ditantang untuk menyelesaikan ketimpangan sosial ini. Mereka wajib mengotorkan tangannya untuk berkubang dalam lumpur pemberantasan kemiskinan. Sebagai juru bicara Tuhan, mereka ditagih untuk melakukan tindakan nyata, tidak hanya berkutat pada persoalan ritual. Agama harus keluar dari tempat persembunyiannya yang sunyi untuk hadir dalam ruang publik yang ramai dan timpang ini.
Lalu bagaimana kerakusan dikendalikan sehingga kelaparan dapat dihindarkan? Pertama, agamawan sanggup mengurai akar-akar kemiskinan sekaligus mendefinisikannya karena kemiskinan tidaklah tunggal. Dalam soal ketimpangan ini, selain menganalisis secara individual, agamawan mampu membacanya secara struktural. Kemiskinan bukan hanya perkara orang tidak punya uang dan lahan ekonomi, melainkan yang lebih penting adanya ketidakadilan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan.
Pendekatan struktural meyakini kemiskinan akan menjadi-jadi jika ditemukan kongkalikong antara pasar, birokrat, dan politisi. Pasar memiliki sumber daya kapital, sedangkan birokrat dan politikus memiliki otoritas. Kolaborasi di antara tiga komponen tersebut berjalan secara akumulatif melalui kebijakan negara yang menfasilitasi sistem pasar dan membiarkan orang miskin yang tak punya apa-apa makin minggir dari sistem pasar itu.
Kedua, agamawan mampu meneguhkan kembali pemihakannya terhadap nasib orang miskin (karena kekurangannya) dengan melancarkan khotbah besar-besaran untuk menyadarkan kembali umatnya tentang dosa dan bahaya kerakusan. Walaupun hidup dalam kekurangan, kaum miskin tetap berhak memperoleh kesempatan hidup secara layak sebagai khalifah Tuhan di bumi-Nya. Doktrin-doktrin keagamaan yang diungkapkan tidak lain untuk mempertajam kepekaan terhadap kaum miskin tertindas, sehingga agama mampu menjadi energi utama bagi setiap pemeluknya untuk berlomba-lomba menjadi makhluk yang bermartabat, baik secara duniawi maupun ukhrawi.
Dalam agama Kristen dikatakan, kaum miskin adalah mereka yang mencari hidup dan mencoba mencapai kepenuhan. Kaum miskin berkaitan langsung dengan masalah transcendental, seperti tobat, rahmat, dan kebangkitan. Sementara itu, Islam menegaskan kemiskinan sering kali menjadi awal, bahkan penyebab kekufuran. Bagi kalangan yang tidak mempedulikan kaum miskin, ia termasuk golongan yang mendustakan agama. Hadis Nabi berbunyi: “Demi Allah, tidak beriman seseorang yang tidur dengan perut kenyang, sementara ia tahu tetangganya menangis kelaparan.”
Ketiga, agamawan mampu melakukan aksi sosial dengan membenahi struktur dan sistem perekonomian masyarakat ketika neraca kekuatan antara yang kaya dan yang miskin tidak makin timpang. Caranya, mendesak pemerintah menemukan sintesis keadilan di antara kedua kelompok itu. Melalui negara, orang-orang kaya dapat membayar kewajibannya untuk memberdayakan kaum miskin tertindas. Tindakan praksis membangun kesepakatan publik dilaksanakan melalui sistem hukum, perundang-undangan, dan regulasi dengan tujuan memerangi nafsu keserakahan serta menjamin proses redistribusi pendapatan dan kesejahteraan secara radikal terutama, sekali lagi, bagi yang lapar karena kekurangan.
Ketimpangan sosial negeri ini secepatnya diatasi. Misi profetis agama-agama adalah melawan kemiskinan. Sudah saatnya agamawan dengan lantang mengatakan, “Bagi kami, orang kaya adalah orang lemah, sehingga kami mengambil harta mereka sebagai hak bagi kaum tertindas. Sementara itu, kaum tertindas, bagi kami adalah orang kuat, sehingga kami harus menyerahkan harta ini sebagai hak mereka.”
Masykurudin Hafidz
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Koran Tempo
Sumber: KRHN