Tempo/Wahyu Setiawan |
Menurutnya, NU sebagai organisasi massa terbesar Indonesia saat ini memiliki posisi strategis untuk mengingatkan pendukungnya agar menjauhi perilaku korupsi. Mulai dari masyakat kecil, birokrat pemerintah, hingga pejabat politisi yang duduk di partai politik. “Minimal mereka takut melakukan korupsi,” ujarnya.
Beragam peringatan agama yang disampaikan kalangan pemimpin pesantren bisa mengingatkan masyarakat bahwa kejahatan korupsi sudah membahayakan moral bangsa. “Sudah tidak bisa dibiarkan lagi,” ujarnya. “Minimal mereka jadi takut melakukan korupsi.”
Bukan hanya itu, Teten berharap banyaknya pejabat negara atau politikus partai politik tertentu yang sering melakukan safari silaturahmi ke kalangan ulama NU dipesantren bisa dijadikan sarana oleh kiai atau tokoh pesantren untuk mengingatkan mereka agar menjauhi korupsi. “Itu sangat penting sekali,” ujarnya. “Jangan malah terjerumus kepentingan politik.”
Terakhir, pendiri ICW itu meminta kalangan dunia pesantren lebih selektif terhadap setiap bantuan yang datang ke pesantren. “Mereka (ulama) mau menanyakan bantuan yang diberikan itu untuk apa dan dari mana,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi, NU kembali menyerukan perang terhadap korupsi. Dalam pembacaan deklarasi antikorupsi, organisasi massa terbesar bentukan tahun 1926 ini meminta penerapan hukuman potong tangan, hukuman mati, hingga larangan mensalatkan jenazah seorang koruptor.
Keputusan organisasi berbasis pesantren tradisional ini didasarkan pada keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU Tahun 2002 tentang hukuman bagi koruptor serta Keputusan Muktamar NU Tahun 1999 yang kembali dibacakan sebagai bentuk deklarasi antikorupsi. (Jayadi Supriadin)
Sumber: Tempo Interaktif , 27 Mei 2011