Serangan bom bunuh diri di Masjid Attaqwa Cirebon mengagetkan banyak pihak. Agaknya kelompok teroris kian tak pandang bulu dalam melancarkan serangan bom. Mereka tidak peduli lagi apakah korban bom adalah umat segama atau bukan. Mereka hanya mempedulikan satu hal: kelompok yang dianggap musuh harus dihancurkan. Para analis mengatakan bahwa bukan masjid yang menjadi sasaran, tetapi orang-orang yang berada di bawah institusi kepolisian, karena masjid tersebut berada di lingkungan Mapolresta Cirebon.
Ada semacam perubahan target terorisme. Bukan hanya orang yang dianggap kafir, orang yang seagama pun bisa menjadi musuh kaum teroris. Bom melalui kiriman buku adalah contoh yang paling sering dijadikan penjelasan.
Devinisi “musuh” oleh kelompok teroris nampak longgar. Siapa pun yang tidak mendukung mereka dianggap musuh. Dan mereka tidak biasa memberi ampun terhadap musuh.
Mata Rantai Kekerasan
Bagaimana memaknai trend baru ini? Jika kita mencoba masuk ke alam pikiran mereka, gejala ini sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Berbeda dengan aksi-aksi kekerasan yang bersifat individual maupun komunal, terorisme didukung oleh jaringan organisasi yang rapi, solid dan militan, juga ideologi yang memberi legitimasi teologis. Ideologi ini, apalagi yang berasal dari agama, membuat aksi mereka mendapat dukungan dari kelompok mereka.
Inilah yang oleh Mark Juergensmeyer (1995) disebut sebagai kultur kekerasan. Operasi antiteror yang menggunakan strategi perang justru melahirkan mata rantai kekerasan yang tidak berkesudahan.Ciri penting dari kultur kekerasan adalah munculnya persepsi luas bahwa dunia seolah-olah memang menghendaki kekerasan. Bagi kelompok teroris, persepsi ini dikonstruksi sedemikian rupa sebagai tekanan serangan pihak luar yang menyebabkan komunitas mereka berada dalam situasi terancam. Dalam pandangan mereka, terorisme adalah respons terhadap perasaan terancam yang mereka rasakan.
Mereka bereaksi melalui perlawanan dalam bentuk yang bahkan jauh lebih sadis dan tanpa pandang bulu. Perlawanan itu, menurut Marty dan Appleby (1993), muncul dalam bentuk melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk (fight for) menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan (fight with) kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Untuk itu mereka juga berjuang melawan (fight against) musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata-sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir mereka mengklaim bahwa perjuangan mereka atas nama Tuhan.
Ideologi seperti ini biasanya tidak akan mati oleh serangan fisik yang menumpas habis sampai ke akar-akarnya sekalipun. Karena, ibarat benih, ideologi terorisme tidak tumbuh di sembarang tempat; juga tidak berkembang di setiap keadaan.
Seperti benih, ia akan tumbuh dan berkembang di tempat yang subur. Pandangan keagamaan yang sempit melahirkan doktrin jihad sebagai perang suci. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial adalah lahan yang subur bagi tumbuhnya terorisme. Dan perasaan terancam adalah pupuk yang membuat terorisme dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat.
Jika tiga hal di atas menyatu di suatu tempat, maka hanya dibutuhkan sedikit pemicu untuk meledak menjadi aksi terorisme. Kombinasi antara keterbelakangan dan kebodohan, perasaan terancam dan terzhalimi, serta doktrin jihad sebagai perang suci, melahirkan sosok baru yang siap untuk berkorban apa saja bahkan dengan melakukan bom bunuh diri sekalipun.
Karena itu, perang melawan terorisme tidak cukup hanya mengandalkan strategi “tumpas habis sampai ke akar-akarnya”. Dengan strategi ini, pohon terorisme bisa saja tumbang dan tercerabut seluruh akarnya. Namun benih yang disebarkan pohon itu tidak ikut mati dengan sendirinya. Jika berada di tempat yang subur dan mendapat “pupuk” yang tepat, pohon terorisme bisa segera tumbuh kembali dan berkembang dengan cepat.
Sinergi Tiga Level
Upaya memerangi memerangi terorisme tidak bisa dibebankan hanya ke pundak aparat kepolisian. Masalah terorisme terlalu berat untuk diserahkan hanya kepada satu institusi, karena terorisme bukan sekadar aksi kekerasan. Terorisme adalah kombinasi dari kekerasan fisik dan kekerasan traumatik. Dampak terorisme menyebar jauh melampaui korban yang menjadi sasaran.
Itulah sebabnya, perang melawan terorisme harus diimbangi dengan upaya memotong mata rantai yang selama ini menjadi tali temali bagi aksi terorisme.Upaya memotong mata rantai terorisme setidaknya harus melibatkan tiga unsur vital. Pertama, doktrin yang menjadi benihnya; kedua struktur sosial sosial yang menjadi lahannya; dan ketiga struktur kekuasaan yang menjadi pemicunya.
Level pertama adalah tanggung jawab ulama dan kaum agamawan untuk melakukan pencerahan terus menerus bahwa agama tidak hanya berisi perang, tapi juga ajaran kasih sayang, toleransi dan kewajiban beramal saleh. Pandangan keagamaan yang sempit dan hitam putih membuat orang merasa tidak punya banyak pilihan dalam hidupnya. Pada saat merasa sia-sia, putus asa dan tidak berharga di satu sisi dan merasa terancam dan terdhalimi di sisi lain, sementara pilihan hidupnya hanya “hidup mulia atau mati syahid”, maka tawaran untuk melakukan bom bunuh diri dianggap satu-satunya pilihan untuk menebus keterpurukan hidupnya.
Level kedua adalah tanggung jawab organisasi sosial (ormas) untuk terus menerus menjaga “rumah bersama” dari ancaman kekerasan, sehingga benih-benih terorisme tidak tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Ormas bukan sekadar wadah komunitas untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Ormas adalah benteng untuk menjaga dan melembagakan nilai-nilai dan moral sosial. Struktur sosial yang timpang, tercerai berai dan berjalan sendiri-sendiri adalah undangan bagi masuknya ideologi kekerasan dan terorisme. Sementara, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah lahan subur bagi persemaian benih-benih kekerasan dan terorisme. Tugas ormas dalam hal ini adalah melindungi anggotanya dari kecenderungan kekerasan.
Sedangkan level ketiga adalah tanggung jawab Negara untuk melindungi warganya tidak hanya dari ancaman terorisme, tetapi juga dari kesewenang-wenangan, kezaliman dan ketidakadilan yang dapat menjadi pemicu bagi meledaknya aksi-aksi terorisme.
Sinergi dan kerja sama tiga level ini mungkin tidak bisa membuat ideologi terorisme mati, tetapi setidaknya, benih-benih kekerasan dan terorisme bisa dihambat pertumbuhan dan perkembangannya.[Agus Muhammad/Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)]
Sumber: Suara Pembaruan, 16 April 2019