“Dengan pengakuan diri sebagai saudara bagi manusia lain, berarti telah menganggap orang lain menjadi bagian dari diri kita. Karena semua bersaudara, berarti tidak ada istilah musuh di sini. Karena merasa sebagai umat yang satu, semua kasih sayang yang kita curahkan juga untuk semua manusia.”
_______________________________________________________________________________
Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu. Kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 213)
Ayat di atas merupakan penjelasan kepada umat manusia tentang tujuan diutusnya para nabi. Yakni untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada kita semua. Kabar gembira bagi orang yang mau tunduk dan taat menjalankan perintah-perintah Allah, mereka akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peringatan kepada orang yang tidak mau patuh kepada perintah Allah dan gemar berbuat kejahatan dan kerusakan di muka bumi, mereka akan mendapatkan siksa kelak di akhirat.
Para nabi sejak dari Adam hingga Muhammad SAW membawa misi untuk membimbing manusia kepada ajaran ketauhidan dan menciptakan tata kehidupan yang baik. Karena itu, setiap nabi menyerukan kepada umatnya supaya mencegah kerusakan dan menghindari pertikaian antar sesama.
Nabi Muhammad SAW. diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seperti kita ketahui dalam sejarah, saat itu Nabi menghadapi sebuah umat yang sering mengalami pertikaian antar suku dan golongan. Masyarakat yang mengalami kemorosotan moral dan tidak adanya tatanan sosial yang dijadikan pegangan. Itulah masyarakat jahiliyah yang melatarbelakangi kerasulan Muhammad.
Al-Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an di atas merupakan peringatan kepada kita untuk senantiasa mengingat kembali asal-usul kita. Terutama jika menghadapi konflik atau pertikaian, hendaklah kita membuka nurani dengan mengingat kembali pada asal mula kita. Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu, yakni sama-sama sebagai keturunan Adam.
Sekilas pikiran kita menganggap seruan ini terkesan biasa-biasa saja. Setiap orang tahu dan mengakui bahwa nenek moyang kita sama. Sebagai manusia kita sama-sama diciptakan Allah dari tanah, dan kelak jika meninggal kita akan dikubur ke dalam tanah.
Tapi jika direnungkan lebih mendalam, seruan tersebut mengandung nilai ajaran yang sangat tinggi maknanya. Dengan mengaku umat yang satu, berarti menganggap tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Laki-perempuan, kaya-miskin, hitam-putih, semua sama dan setara.
Dengan pandangan ini, perbedaan yang ada bukan menjadi masalah, tapi sebaliknya merupakan rahmat yang dikaruniakan Allah. Inilah ajaran universal yang ditawarkan oleh Islam. Ajaran untuk berpegang teguh kepada persaudaraan antar sesama manusia, atau yang dikenal dengan ukhuwah basyariyah.
Rasulullah SAW ketika memulai dakwahnya di Madinah membuat piagam kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah. Di dalam piagam tersebut, Rasulullah menegaskan kalimat sebagaimana kalimat dalam ayat di atas, “Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu.”
Betapa agung dan luhurnya nilai persaudaraan ini. Karena dengan menganggap setiap manusia bersaudara, berarti kita mampu menembus sekat-sekat dan perbedaan yang ada. Baik itu perbedaan berupa warna kulit, suku-bangsa, bahasa, status sosial, maupun agama.
Dengan pengakuan diri sebagai saudara bagi manusia lain, berarti telah menganggap orang lain menjadi bagian dari diri kita. Karena semua bersaudara, berarti didak ada istilah musuh di sini. Karena merasa sebagai umat yang satu, semua kasih sayang yang kita curahkan juga untuk semua manusia.
Betapa indahnya dunia jika setiap manusia mau berpegang prinsip ukhuwah basyariah ini. Betapa damainya bumi yang kita huni ini jika setiap orang mau saling menyayangi, saling menolong, saling membantu, saling meringankan beban penderitaan, dan saling mengisi kekurangan satu sama lain.
Tapi sayang, sebagai manusia kita lebih suka mementingkan diri sendiri, mengedepankan ego kepentingan pribadi. Hasrat duniawi sering mengarahkan kita untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Sudah sejak lama kita diwariskan rasa kebencian terhadap umat lain. Bahkan, sampai tega menghilangkan nyawa yang lain.
Manusia seperti itu kah kita, yang sering melakukan permusuhan, dan pertumpahan darah? Seperti yang dikatakan Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Allah SWT, “Apakah Paduka akan menciptakan manusia yang gemar berbuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah?”.
Sebagai muslim, kita telah diajarkan oleh Rasulullah untuk menjauhi akhlak yang tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia (akhlaqul karimah). Dengan berbegang teguh pada ukhuwah basyariyah berarti telah tertanam akar akhlaqul karimah di dalam diri kita dengan kokoh. Karena persaudaraan (ukhuwah) bukan sesuatu yang bersifat pasif.
Ukhuwah basyariyah bukan hanya sebatas penghormatan kepada sesama manusia. Juga bukan sebatas sikap tidak mau mengganggu orang lain. Namun tindakan aktif yang merupakan panggilan jiwa untuk menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan.
Jiwa kita akan terpanggil untuk memberi makan bagi mereka yang lapar dan menolong yang terkena musibah. Bersedia meringankan beban penderitaan orang lain dengan atau tanpa dimintai pertolongan. Dan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang damai. Sebab pertikaian atau peperangan seringkali mengorbankan kemanusiaan itu sendiri.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buhkhari, Nabi pernah ditanya oleh sahabat, “Apa Islam itu, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah menjawab, “Memberi makan bagi yang lapar dan menebarkan perdamaian kepada orang yang kau kenal atau yang tidak kau kenal”.
Sabda Nabi tersebut jelas menegaskan bahwa nilai kemanusiaan melekat dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dengan memegang prinsip ukhuwah basyariyah, kita dituntut untuk selalu mengasah kepekaan sosial dan memenuhi panggilan kemanusiaan.
Akhir-akhir ini kita menyaksikan perang antar negara, permusuhan antar suku, aksi terorisme, sampai perkelahian antar kampung masih sering terjadi. Dalam kehidupan sosial kita sering disuguhi paham yang membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Kita biasa dengan pergaulan yang mengucilkan yang bodoh dan kurang mampu. Dalam politik, kita sering dihasut oleh perilaku politik yang memeceh-belah. Kepemimpinan yang ada lebih menindas yang lemah. Semua ini merupakan bukti bahwa kita sedang mengalami krisis kemanusiaan.
Sadar atau tidak, seseorang yang mencederai martabat kemanusiaan orang lain berarti telah mengingkari fitrahnya sendiri. Fitrah sebagai manusia yang membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain.
Allah SWT berfirman: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa, dan darinya Tuhan menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Tuhan mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Tuhan yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan membangun hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Tuhan selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. Al-Nisa’ [4]: 1)
Ayat ini merupakan landasan yang kuat bagi umat Islam untuk memegang prinsip ukhuwah basyariyah. Di sini semakin jelas bahwa selain mengajarkan ketauhidan, Islam juga merupakan ajaran tentang kemanusiaan.
Dengan landasan teologis yang kokoh diharapkan mampu mempertebal keimanan kita sebagai modal untuk menjalankan perintah Allah SWT. Sehingga sebagai umat Islam kita semakin mantap dalam berinteraksi dengan semua golongan manusia. Tidak pandang bulu dari lapisan masyarakat manapun, atau dengan penganut agama apapun, tidak ada keraguan bagi seorang muslim untuk selalu menghadirkan kebajikan dan menebarkan kasih sayang.
Wallahu a’lam.
[Suraji Sukamzawi/PO Islam dan Penegakan HAM P3M]
[Suraji Sukamzawi/PO Islam dan Penegakan HAM P3M]