P3M.OR.ID. Bandung, sebuah kota yang kaya akan sejarah dan peradaban, memiliki banyak permata tersembunyi. Salah satunya peninggalan sejarahnya adalah Pondok Pesantren Cijawura, yang terletak di Bandung Barat. Lembaga pendidikan Islam ini telah berdiri kokoh selama puluhan tahun. Letaknya di Jalan Rancabolang, Cijawura Hilir, Kelurahan Margasari, Buah Batu, pesantren ini telah menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia.
Keberadaan pesantren ini merupakan hasil dari visi dan dedikasi seorang ulama besar, almarhum KH R Mochammad Burhan, atau yang akrab disapa Apa Eyang. Perjalanan keilmuan Kia Burhan sangat menginspirasi jauh sebelum mendirikan pesantren legendaris ini. Menengok sejarahnya pesantren ini merinttisnya sejak tahun 1925 mulailah. Baru pada tahun 1930 secara resmi berdiri menjadi pesantren. Kiai Burhan sendiri yang memimpin pesantren ini sejak awal.
Namun pendirian pondok ternyata berlatar belakang keprihatinan seorang tokoh masyarakat yaitu Abah Haji Abdussyukur. Beliau prihatin terhadap perilaku dan moral masyarakat Cijawura dan Margasari. Melalui pesantren, berharap dapat membimbing anak-anak dan masyarakat selain senagai lembaga berdakwah dan memahami ajaran Islam.
Jejang Sang Pendiri
Kiai Burhan adalah sosok yang rajin dalam menimba ilmu. Berbagai pesantren ternama pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu. Pendidikan dasarnya berawal dari SD Cibatu Garut. Kemudian menesrukan jenjang pendidikannya di Pondok Pesantren Keresek Garut asuhan Ajengan Ahmad Nahrawi. Semangat belajarnya tak berhenti di situ, kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Fauzan Cisurupan, Garut, dengan KH Umar Bashri sebagai gurunya. Puncaknya, beliau menimba ilmu di Pesantren Sukamiskin, Kota Bandung, sebuah institusi yang terkenal dengan keilmuannya.
Selama menuntut ilmu di Pondok Sukamiskin, Ajengan Burhan mendapatkan kepercayaan menjadi wakil Ajengan KH. R. Ahmad Dimyati, pengasuh Ponpes Sukamiskin. Peran ini menunjukkan kapasitas dan kepercayaan kepadanya. Atas perintah pengasuh Ponpes Sukamiskin, beliau kemudian membantu mengajar di Cijawura yang merupakan permintaan Abah Haji Syukur, seorang tokoh masyarakat setempat. Selama kurang lebih dua tahun mengajar, Kiai Burhan kemudian menjadi menantu Abah Haji. Setelah menikah dengan putri Abah Haji, atas perintah gurunya di Sukamiskin, beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya. Kali ini tujuannya adalah Gentur, Cianjur, untuk memperdalam ilmu Falak di bawah asuhan KH Mama Satibi.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Gentur, Cianjur, Apa Eyang terus mencari ilmu. Beliau melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Cijerah, Bandung, dan pesantren Sempur, Purwakarta. Di sana, beliau menimba ilmu dari ulama terkemuka, KH Tubagus Bakri. Jejak langkah keilmuan Apa Eyang menunjukkan betapa gigihnya beliau dalam mencari dan menyerap ilmu pengetahuan agama.
Cikal Bakal Pesantren Cijawura
Pada masa itu, kondisi masyarakat Cijawura masih sangat minim dalam penguasaan agama Islam. Ajengan Burhan memahami betul tantangan ini. Beliau menjalankan dakwahnya dengan cara yang bijaksana. Pendekatannya adalah melalui perilaku dan perbuatan yang kemudian menjadi contoh bagi masyarakat awam. Metode dakwah yang demikian sangat efektif. Ini mampu menyentuh hati masyarakat dan membawa perubahan positif. Selain peranannya dalam dakwah dan pendidikan, Beliau juga masyhur sebagai seorang penulis. Beliau menghasilkan beberapa karya monumental. Salah satunya adalah Kitab Al-Qowa’id Al-Nahwiah. Kitab lainnya adalah Kitab Jubad dan Kitab Al-Bidayat Al-Hidayat. Karya-karya ini menjadi warisan berharga bagi generasi berikutnya.
Abah H. Syukur, selaku mertua KH Muhammad Burhan, memiliki peran besar. Beliau memberikan wakaf berupa tanah seluas sekitar 2000m2. Dari atas lahan tersebut kemudian berdiri bangunan pesantren. Pembangunan dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan masjid, kemudian pondok (asrama). Rumah kyai dibangun di tengah-tengah. Lokasinya antara masjid dan pondok. Penataan ini menunjukkan visi yang matang.
Pada masa kepemimpinannya, Pesantren Margasari Cijawura pernah menjadi basis pertahanan. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah menggunakan pesantren ini. Mereka bertahan dari serangan penjajah Belanda. Selain itu, pesantren juga memainkan peranan penting. Peran ini adalah dalam menjaga stabilitas sosial di masyarakat. Pondok Pesantren Cijawura adalah bukti nyata. Bukti sebuah lembaga yang terus mendedikasikan dalam bidang pendidikan agama Islam hingga kini.
Pada kurun waktu 1947-an, pesantren Cijawura pernah menjadi sasaran gempuran Belanda. Peristiwa tragis ini terjadi pada hari Jumat di bulan Ramadhan. Saat itu, Laskar Rakyat dan Hizbullah sedang berkumpul di sana. Akibat serangan tersebut, sekitar 56 pejuang gugur syahid. Peristiwa ini menjadi bukti nyata pengorbanan pesantren Cijawura. Mereka berjuang demi kemerdekaan bangsa.an diri untuk agama, bangsa, dan masyarakat.
Berdiri Kokoh Hingga Sekarang
Pondok Pesantren Cijawura tidak hanya memiliki nilai historis dalam pendidikan Islam. Pesantren ini juga memainkan peranan krusial dalam proses kemerdekaan Indonesia. Selain peranannya yang signifikan pada masa 1930-an, pondok pesantren ini terus berkembang. Bahkan, pesantren ini tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Pondok Pesantren Cijawura tetap berdiri teguh. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan pesantren ini kokoh. Pertama adalah bantuan dari pihak keluarga. Dukungan keluarga besar sangat vital dalam menjaga kelangsungan operasional pesantren. Kedua adalah kemandirian pesantren. Ini memungkinkan pesantren untuk tidak bergantung sepenuhnya pada pihak luar. Ketiga adalah perkembangan pendidikan, sarana, dan prasarana pesantren. Inovasi dan peningkatan fasilitas selalu menjadi prioritas. Pesantren ini berdiri untuk menyelesaikan masalah masyarakat Cijawura. Saat itu, masyarakat masih jauh dari ajaran agama Islam. Pesantren Cijawura, sebagai lembaga pendidikan, melakukan syiar Islam.