OpiniPilihan Editor

Dialektika Tasawuf dan Fiqh

102
×

Dialektika Tasawuf dan Fiqh

Sebarkan artikel ini
KH. Masdar F. Mas`udi
KH Masdar Farid Mas’udi

P3M.OR.ID. Para peneliti sejarah Islam mengaku tidak menemukan bukti-bukti sejarah adanya gerakan tasawuf pada zaman Nabi; bahkan istilah tasawuf sendiri konon belum dikenal saat itu. Meski demikian, umat dan para ulama umumnya berpendapat, bahwa tasawuf sebagai disiplin spiritual merupakan bagian yang sangat ini dalam keseluruhan hidup keberagaman. Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa pada tasawuflah terdapat esensi keberagaman. Jauh sebelum Iqbal, imam Ghazali yang dikenal sebagai penjelajah kebenaran yang sangat liberalpun berakhir dalam pengakuan yang sama; bukan hanya pengakuan. Melainkan ujung dari pencarian kebenarannya pun dia temukan disana. Dalam bertasawuf secara empiris, manusia dipertautkan dengan Tuhan.

Sebagai modus keberagaman yang lebih menekankan dimensi esoteric (bathiniyah) gerakan tasawuf lahir sebagai respons anti tesis terhadap pola kehidupan umat yang telah menjadi terlalu miring pada sisi keberagamaan fiqh yang lebih menekankan ukuran-ukuran eksoteris (lahiriyah). Sesuai fitrahnya sebagai disiplin normatif yang mengacu pada segi-segi lahiriah, fiqh membatasi diri dari hal-hal yang bersifat langsung, terukur, formal, dan obyektif.

Dengan acuan yang demikian itu, bagi ulama fiqh yang menjadi fokus tilikan mereka perihal keberagaman adalah soal “keabsahan” yang juga diukur dengan kriteria-kriteria yang formal. Jika, misalnya, fiqh ditanya tentang “bagaimana hukumnya ibadah haji dengan uang korupsi atau komisi, tentu akan dijawab “ibadah haji itu sah-sah saja”. Karena memang keabsahan suatu ibadah hanya terikat dengan sejauh mana ditunaikan sesuai dengan syarat dan rukunnya, yang dalam teori fiqh memang tidak ada syarat/rukun menyangkut asal usul uang komisi atau korupsi itu bisa diterima Allah sebagai haji mabrur? Ahli fiqh secara jujur menjawab: “wallahu a’lam, itu bukan wewenang kami”.

Sesungguhnya dengan jawaban seperti itu, fiqh telah berindak fair sesuai dengan proporsi dan wewenangnya. Sebagai sebuah wacana legal dalam Islam, wilayah jajahan fiqh memang segi-segi kehidupan yang formal-lahiriah, terobsesi dan terukur. Jika mau, memang kita boleh menyebut fiqh sebagai disiplin keagamaan yang positivistik. Bahwa di luar dunia formal-lahiriah, ada dimensi lain yang bersifat essensial batiniah, fiqh tidak mengingkarinya tapi juga tidak mempertimbangkannya.

Masalahnya adalah, bahwa umumnya orang cenderung menutup mata kepada dunia lain semata-mata karena di luar urusannya, dan di luar kepeduliannya. Para ulama fiqh, meskipun pada mulanya percaya bahwa disiplin yang ditanganinya hanya mempersentasekan sebagian saja dari Islam, tidak sedikit yang akhirnya terjebak pada pemutlakan disiplinnya sendiri. Mereka dengan penuh keyakinan mengatakan, seperti dikutip oleh al-Jarnuzi dalam kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim, sebagai berikut:

Tafaqqah fainna al-fiqha afdlalu qaidi/
ila al-birri wat tuqa wa a’dalu qashidi/
huwa al-ilmu al-hadi ila sunan al-huda /
huwa khisnu yunji min jami’ al-syadaidi/

(Belajar fiqh, karena sesungguhnya fiqh itu
Merupakan sebaik-baiknya pemandu/
Ke arah kebaikan dan ketakwaan/
Fiqh adalah ilmu yang mengantarkan manusia ke jalan Allah/
Dan banteng yang sanggup melindungi
manusia dari segala siksa dan nestapa ).

Dalam pandangan masyarakat Muslim sendiri, yang disebut ulama selaku panutan umat, pada kenyataannya adalah para ahli fiqh.

Maka, ketika kehidupan beragama terjatuh pada cara berpikir fiqh yang hampir menekankan tuntutan keabsahan formal-lahiriah, maka reaksi balik pun tidak bisa dielakkan. Dalam sejarah Islam abad pertengahan, ketika pendulum keberagamaan terlalu berorientasi pada, atau menganggap cukup dengan, standar-standar fiqhiyah, maka muncullah gerakan keagamaan yang secara ekstrem menekankan segi-segi esoterik-batiniah. Demikian juga munculnya gerakan kebatinan di tanah air dalam ukuran tertentu juga bisa dijelaskan dari proses tarik menarik secara dialektis dengan kecenderungan lahiriyah dari keberagamaan yang dibidangi oleh fiqh.

Reaksi itu sepenuhnya bisa dipahami dan menyehatkan, karena yang pada akhirnya yang dituntut adalah keseimbangan antara dimensi lahiriah dan batiniah dari keberagamaan. Dimensi batiniah dicoba ditegakkan kembaili oleh gerakan tasawuf ini mencakup dua aspek; moralitas dan spiritualitas. Moralitas sasarannya untuk menjamin kualitas prilaku manusia kesamping atas sesama, dan terhadap alam semesta. Peneguh spiritualitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas hubungan ke atas, dengan Tuhan, sebagai sumber eksistensi diri dan juga semesta.

Kedua dimensi perilaku itu tidak bisa dipisahkan; spiritualitas merupakan basis dari yang moralitas; moralitas merupakan ujud yang sangat otentik dari spiritualitas. Dalam ungkapan yang tipikal sufi dikatakan bahwa esensi keberagamaan adalah keluhuran budi dan kedekatan dengan Tuhan. Tidak ada gunanya, bahkan akan jadi bumerang bukan saja bagi yang bersangkutan, tapi sekaligus bagi agama Islam itu sendiri, orang yang rajin bersembahyang akan tetapi tingkah laku dan hatinya ternyata tidak mencerminkan kemuliaan moral dan ketakwaan kepada Tuhan.

Dalam pengertian seperti itu, tasawuf bisa mengklaim basis yang kuat dalam ajaran al-Qur’an sendiri dan juga sunnah Nabi. Bahkan, jika saja kita ikuti jalan pikiran yang mempertentangkan segi lahiriah keberagamaan yang tangani oleh fiqh dan segi batiniah yang menjadi fokus kepedulian tasawuf, maka dengan jelas al-Qur’an dan Sunnah Nabi akan menjatuhkan pilihannya pada yang kedua.

Namun demikian, pendirian keagamaan yang selalu diidealkan Islam adalah keseimbangan antara keduanya, lahiriah dan batiniah; keseimbangan antara fiqh dan tasawuf. Oleh sebab itu, ketika polarisasi antara kecenderungan fiqhisme versus sufisme menguat seruan para ulama menegaskan sebagai berikut:

Man tafaqqaha bi ghairi tashawwufin tafassaq; waman tashawwafa bi ghairi tafaqquhin tazandaq/Barang siapa bertasawuf tanpa berfiqh bisa menjadi zindiq”.

Tapi, yang selalu jadi masalah, bahwa titik keseimbangan cenderung tidak berusia lama. Dalam konteks ini, gerakan tasawuf berfungsi juga sebagai kekuatan pembebasan manusia dari kungkungan-kugkungan kemestian lahiriah yang bersifat social dan struktural. Gerakan tasawuf sadar betul, bahwa umumnya manusia sangat rentan terhadap bentuk-bentukan sosial yang melingkupinya. Tidak sedikit orang bertindak baik atau buruk lebih karena determinasi lingkungannya. Dalam persfektif tasawuf, semuanya, kebaikan maupun keburukan struktural, tidak ada maknanya. Karena kehendak dan moralitas pada dasarnya ada di sana.

Akan tetapi, gerakan tasawuf sendiri sadar bahwa terhadap determinasi-determinasi strukturnya, manusia ternyata tidak memiliki kekuatan untuk mempertanyakannya. Oleh sebab itu, jalan yang ditawarkan pertama oleh tasawuf, dalam berbagai alirannya, adalah pengingkaran kedalam, ‘uzlah (pengasingan), yang bersifat individual. Modus penyelamatan seperti ini, sangat boleh jadi efektif tapi terbatas bagi yang bersangkutan saja, yang memang berusaha dengan sungguh-sungguh tak kenal menyerah. Sementara bagi kebanyakan orang (‘amanatun nas) yang tidak punya basis kuat untuk melakukan ikhtiar yang sama, terpaksa menjadi obyek bentukan buruk lingkungannya.

Dengan kata lain, jika pada mulanya tasawuf hadir sebagai kekuatan pengimbang, koreksi, terhadap eksoterisme fiqh, rupanya tasawuf sebagai kekuatan pembebasan yang yang bersifat ke dalam dan personal, perlu kekuatan penyeimbang untuk menghadapi desakan dominasi yang bermatra eksternal dan struktural. Tasawuf sosial itu barangkali yang dimaksud, dengan segala etos moral maupun spiritualnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *