OpiniPilihan Editor

Masa Depan Pendidikan Pesantren

413
×

Masa Depan Pendidikan Pesantren

Sebarkan artikel ini

P3M.OR.ID. Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober selalu memunculkan ingatan pada kontribusi para santri untuk negeri ini. Sudah tak terhitung kontribusi mereka untuk bangsa ini, baik saat merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan hingga hari ini. Santri selalu berada di garda terdepan. Namun, bagaimana prospek santri pada masa  yang akan datang?

Tulisan ini ingin memotret pendidikan di pesantren, dan prospeknya bagi masa depan santri pascalahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Banyak orang membayangkan, akan seperti apa pendidikan pesantren ke depan? Pertanyaan ini muncul lantaran dalam UU tersebut terdapat skema baru tentang penyelenggaraan pendidikan di pesantren, sebuah skema yang tidak lagi menginduk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Seperti diketahui, sejak awal 80-an, sebagaimana diungkapkan Karel Steenbring dalam Pesantren Madrasah Sekolah (1986), pendidikan pesantren telah bergeser ke arah pendidikan formal, dari kiai haji menjadi doktorandus.

Pergeseran ini mencapai puncaknya saat muncul UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Hampir semua pesantren (untuk tidak mengatakan seluruhnya) beramai-ramai mendirikan lembaga pendidikan formal, baik yang berbentuk sekolah (SD, SMP, SMA/SMK) maupun madrasah (MI, MTs, MA). Pergeseran ini merupakan respons pesantren atas perlakuan pemerintah yang kurang adil kepada pendidikan di pesantren, di mana para lulusannya tidak diakui sehingga tidak bisa berkompetisi di sektor-sektor formal.

Formalisasi Pendidikan

Jadi, ini bisa dimaknai sebagai usaha sadar pesantren terhadap masa depan lulusannya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui pendidikan formal terpaksa harus disikapi pesantren agar lulusannya bisa ikut berkompetisi. Tentu pergeseran model pendidikan ini menjadi pilihan berat, tapi itulah takdir yang harus dijalani pesantren. Kontribusi pesantren dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia yang belum menjadi eviden bagi pemerintah untuk mengakui model pendidikannya, tidak menjadikan pesantren patah arang.

Namun inilah yang kemudian “menjerumuskan” pendidikan di pesantren ke dalam jurang formalisasi pendidikan. Akibat pergeseran ini, pesantren bahkan “hampir” kehilangan identitasnya sebagai tempat mencetak ahli agama, lembaga yang hanya fokus pada tafaqquh fiddin. Wajah pesantren telah berubah menjadi wajah pendidikan formal yang penguasaan agamanya hanya sebagai pelengkap, wajah yang gamang: tidak ahli dalam ilmu agama, juga tidak ahli dalam ilmu umum. Kini, pemerintah telah mengambil langkah yang lebih akomodatif terhadap pendidikan pesantren. UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara terang benderang mengakui pendidikan yang ada di pesantren.

Semua lulusan pendidikan di pesantren menurut U ini akan diberikan pengakuan yang sama dengan satuan pendidikan lain, sebagaimana sekolah dan madrasah. Lulusannya juga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, dan juga bisa berkompetisi di sektor formal. Pertanyaannya, apakah pesantren berani menanggalkan wajahnya yang sekarang untuk kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga pendidikan yang fokus pada pendalaman ilmu agama, tafaqquh fiddin? Beranikah pendidikan pesantren kembali ke wajah aslinya menjadi lembaga yang menyiapkan kader-kader ulama, para ahli agama yang ‘alim ‘allamah?

UU Pesantren

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara garis besar berisi tiga fungsi pesantren, yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Tapi dari 55 pasal yang ada, sebanyak 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan. Hanya ada 6 pasal berisi tentang fungsi dakwah, dan 3 pasal tentang fungsi pemberdayaan masyarakat.

Dalam fungsi pendidikan disebutkan bahwa pendidikan yang ada di pesantren bersifat formal dan nonformal. Untuk yang formal, pada tingkat dasar dan menengah berbentuk muadalah, dan diniyah formal. Sedang untuk pendidikan tinggi berbentuk ma’had aly, berjenjang dari S1, S2, hingga S3. Dari ketiga jenis pendidikan ini, semua kurikulumnya fokus pada pendalaman agama dan berbasis pada kitab kuning.

Sementara yang nonformal berbentuk pengkajian kitab kuning saja. Dalam kewenangan pembuatan kurikulumnya, ada sedikit perbedaan di antara jenis-jenis pendidikan tersebut. Untuk pendidikan jenis muadalah dan ma’had aly,semua kurikulumnya murni dibuat masing-masing pesantren penyelenggara pendidikan. Setiap pesantren memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah dan jenis konten yang akan dipelajari meskipun harus mengacu pada kerangka dan pola dasar kurikulum berbasis kitab kuning yang akan dibuat oleh sebuah institusi yang menjembatani antara kewenangan pemerintah dengan kemandirian pesantren, yaitu Majelis Masyayikh.

Sementara untuk jenis pendidikan diniyah formal, kewenangan pembuatan kurikulumnya ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Namun begitu, basis rujukan pengajarannya sama dengan muadalah, harus berbasiskan kitab kuning. Jadi untuk jenis pendidikan diniyah formal ini, kurikulumnya akan seragam di seluruh Indonesia. Penggunaan kitab kuning sebagai basis rujukan pengajaran ini menguntungkan pesantren. Karena itulah sesungguhnya identitas aslinya, sebelum wajah pesantren bergeser ke pendidikan formal.

UU Pesantren memberikan judgment kepada pesantren yang sangat identik dengan kitab kuning. Bahkan, dalam sejarahnya, sebagaimana dituliskan oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (2010), muncul istilah yang sangat populer: pesantren adalah kitab kuning, dan kitab kuning adalah pesantren. Tanpa kitab kuning, lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren. Kini, pilihan ada di tangan pesantren, akan kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama berbasis kitab kuning, atau meneruskan pembelajaran formal seperti yang selama 40 tahun belakangan ini ada?

Yang jelas, UU Pesantren ini selain memberikan pengakuan pada lulusannya, juga memberikan garansi kepada pesantren dalam soal kemandirian dan kekhasannya. Undang-undang ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pesantren untuk mandiri mengelola kewenangannya dalam menentukan kurikulum pendidikannya, merancang output, dan potret lulusannya. Undang-undang ini juga menjamin kekhasan pesantren sebagai lembaga yang independen dalam menentukan jati diri dan identitasnya.

Meski demikian, ke depan pendidikan pesantren juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang sangat berat, terutama penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. SDM yang siap berkompetisi dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam sektor riil kehidupan. Ini berat, karena sejarah pesantren telah mencatat bahwa SDM dalam perspektif pesantren adalah SDM yang menguasai ilmu agama sebagai bekal hidup, sementara SDM dalam perspektif lembaga pendidikan formal adalah SDM dengan keterampilan bekerja. Ini adalah cara pandang yang sangat berbeda, bahkan berlawanan.

Pendidikan pesantren jika berbicara SDM adalah berbicara ilmu pengetahuan (agama) an sich, sementara pendidikan formal jika berbicara SDM berarti adalah berbicara lapangan pekerjaan. Maka tidak heran jika kurikulum di pesantren pada zaman dahulu sama sekali tidak berbicara output: nanti jadi apa, atau setelah lulus akan bekerja di sektor mana.

Persoalan Dilematis

Tapi santri sebagai seorang muslim wajib belajar untuk menghilangkan kebodohan, itu saja. Puncaknya, keluarga besar pesantren dihadapkan pada persoalan yang sangat dilematis, apakah pendidikan yang hanya memfokuskan pada penguasaan ilmu agama an sich masih relevan untuk menjawab tantangan zaman. Apakah keadaan sekarang betul-betul membutuhkan para lulusan pesantren? Memang, persoalan keagamaan belakang sangat mengkhawatirkan keutuhan bangsa, dan alumni pesantren yang alim dan faqih sangat dibutuhkan. Tapi kan tidak semua lulusan pesantren akan menjadi ahli agama.

Tapi sejarah telah mencatat dengan tinta tebal, pesantren adalah lembaga yang paling berhasil mencetak lulusannya survive dengan situasi apa pun. Pengalaman tidak diakuinya lulusannya oleh pemerintah pada masa lalu tidak membuat alumninya tenggelam. Mereka tetap bisa eksis dengan ilmu agamanya untuk memberikan manfaat pada lingkungannya, menjadi imam salat, mengajar mengaji, menjadi pemimpin keagamaan di lingkungannya masing-masing, dan menjadi penyeru kerukunan hidup.

Muhtadin AR.
Artikel ini pernah dimuat di laman sindonews.com. pada 22 Oktober 2020.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *