Kabar P3M

Islam dan Masyarakat Bangsa

77
×

Islam dan Masyarakat Bangsa

Sebarkan artikel ini
Dok: Detiknews
Islam lahir di lingkungan masyarakat yang berukuran kecil, yaitu masyarakat antar keluarga dalam suku yang sama, yaitu suku Quraisy. Setelah tiga belas tahun lamanya hidup dalam lingkungan seperti itu, ia menjadi pegangan hidup masyarakat antar suku di kota Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib. Keadaan demikian bertahan hingga menjelang saat Nabi Muhammad SAW wafat di tahun 10 H. Bentuk masyarakat lebih luas tercapai ketika dilanjutkan oleh khalifah Abu Bakar Siddiq sepeninggal beliau. Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah belaka, melainkan telah menjangkau jazirah/semenanjung Arabia secara keseluruhan. Ketika Umar Ibnul Khattab menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar, ia mengembangkan wawasan masyarakat kaum muslimin menjadi sebuah imperium dunia. Kawasan yang demikian luas dari tepian sungai Indus di Timur membentang ke tepian Timur Samudra Atlantik di sebelah Barat itu disebut Arnold J. Toynbee sebagai ‘oikuomene Islam’, salah satu diantara peradaban-peradaban dunia yang penting.
Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global disebut sebagai ‘negara bangsa’ (Nation State). Tidak mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan historis untuk berinteraksi itu, dan kesulitan inilah yang sebenarnya melandasi ‘kegaduhan dialog intern’ dalam Islam dewasa ini. Munuclnya apa yang disebut ‘fundamentalisem Islam’ dan hal-hal sejeni adalah satu sisi dari interaksi intensif antara Islam dan wawasan kebangsaan. Karenanya, dianggap relevan dalam kesempatan ini untuk membicarakan kaitan antara islam dan masyarakat bangsa, masyarakat yang timbul sebagai lingkungan hidup sosial dari negara bangsa. 
Negara dan Konstruk Islami
Kalau mau dilihat sepintas lalu saja, sebenarnya al-Qur’an sendiri telah menyinggung entitas yang bernama bangsa itu. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian dari (jenis) pria dan wanita, dan kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar saling mengenal; seungguhnya yang termulia di sisi Allah adalah (mereka) yang paling bertakwa.” Kalau al-Qur’an sudah demikian eksplisit menyebutkan adanya bangsa, mengapakah lalu ada kesulitan dalam mencari kaitan  antara Islam dan wawasan kebangsaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada arti kata ‘berbangsa’ yang digunakan al-Qur’an itu.
Pengertian al-Qur’an terbatas hanya bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial yang sama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini sudah berarti lain, yaitu satuan politis yang didukung oleh sebuah ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep negara-bangsa. Ada sangat pluralistik dalam komposisi etnis dan kulturnya, dengan mendiami kawasan dengan luas yang massif, seperti India, Cina, dan Indonesia. Namun tidak kurang pula yang kawasan teritorialnya sangat kecil, dengan komposisi etnis sangat sederhana, speerti Kuwait dan Kiribati. Dengan demikian, firman eksplisit di atas seolah-olah tidak bicara kepada kita tentang sebuah masyarakat bangsa dalam artian modern.
Kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan terletak pada sifat Islam yang seolah-olah ‘supranasional’. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal-usul etnisnya. Tentulah sangat sukar untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam konstruk ideologis yang bersifat nasional. Kalau dipaksakan juga, berarti wawasan Islam harus ‘ditundukkan kepada wawasan nasional dari sebuah ideologi. Dari sudut pandangan inilah sebenarnya harus dimengerti munculnya gagasan ‘Negara Islam’ dalam berbagai variasinya. Gagasan itu berisikan upaya melerai antara Islam dan wawasan kebangsaan, dengan memformalkan kedua sisi yang saling berbeda ini dalam sebuah institusi tunggal. 
Reaksi lain dari timbulnya kesulitan ini mempertemukan kedua sisi di atas adalah upaya utopis untuk melakukan idealisasi peranan Islam bagi kehidupan. Kebutuhan akan sebuah konstruk/bentukan yang bersifat nasional, yang nantinya berujung pada negara, ditinggalkan dan sebagai gantinya dicari jalan pintas dengan membuat ‘konstruk Islami’, seperti gagasan ekonomi Islami, Ilmu pengetahuan Islami, masyarakat Islami dan seterusnya. Upaya ini memang merupakan obat penenang untuk sementara waktu, karena gambaran ideal tentang Islam memang menyejukkan hati. 
Yang menjadi persoalan adalah kenyataan bahwa negara-bangsa dengan wawasan kebangsaannya adalah fakta yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, idealisme Islam sebagai konstruk yang ideal hanyalah merupakan pelarian dari kenayataan. Hanya da pilihan dari hal yang akan menjadi pencarian semacam itu, meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk menjadikan Islam sebagai ‘sistem alternatif terhadap konsep negara bangsa umumnya, atau langsung meninggalkan wawasan Islam sama sekali.
Jelas sekali, sikap memilih salah satu dari dua hal di atas sama sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap kehidupan masyarakat bangsa. Kalau kita jujur kepada masyarakat bangsa itu, mau tidak mau haruslah diupayakan untuk mendudukkan permasahalan pada konteks proposional baginya.
Prinsip al-Ghayah wal Wasail
Salah satu cara untuk meneropong kaitan antara wawasan Islam yang universal dan supranasional dan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa adalah dengan mengambil sudut pandangan fungsional antara keduanya. Menurut jalan fikiran ini, Islam haruslah ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apa pun bentuk masyarakat yang digunakan. Al-Qur’an dengan indahnya merumuskan fungsi tersebut dengan dua buah ayat. Pertama firman Allah, “Telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah, bagi (mereka) yang mengharapkan ridha Allah di Hari Akhir nanti, serta senantiasa sadar akan (keagungan) Allah”. Dalam hal apakah Rasulullah menjadi keteladanan sempurna (uswatun hasanah)? melainkan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan jagad raya seisinya”. Untuk keperluan tugas penyejahteraan kehidupan itu manusia diciptakan dengan kelengkapan sempurna (ahsan taqwim) sebagai makhluk. Dengan demikian ia mampu mengembangkan kepribadian, dan melalui pengembangan kepribadian itu lahirlah pola hubungan antara manusia yang dinamai pergaulan masyarakat.
Dengan kata lain, wujud Islam sebagai pandangan hidup memerlukan pengejawantahan dalam bentuk masyarakat yang berstruktur, karena pada hakikatnya bentuk itulah yang merupakan kongkretisasi pergaulan masyarakat. Kalau benar tesis bahwa wawasan Islam harus menemukan bentuknya dalam masyarakat berstruktur, maka sebenarnya menjadi tidak penting untuk mempersoalkan bentuk operasional itu sendiri, selama tujuan mengupayakan kesejahteraan hidup masih dipegang sebagai patokan bersama. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idelasasi sebuah ‘konstruk Islam’.
Hukum agama merumuskan hal itu dengan jitu dalam konsep kegiatan sosial yang senantiasa harus bersandar pada prinsip ‘tujuan dan cara pencapaiannya’ (al-ghayah wal wasa’il). Selama tujuan (termasuk sasaran) masih tetap, cara pencapaiannya menjadi masalah sekunder. Bagaimanakah harus dijaga agara prinsip ini tidak menuju kepada sikap ‘tujuan menghalalkan segala cara’? Kalau dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah nila dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku yang disebut akhlaq karimah. 
Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa, melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, melainkan sebagai etik sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesua dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia, karena pada analisa terakhir manusialah yang menjadi obyek upaya penyejahteraan hidup itu. Bahwa bentuk negara bangsa yang dipakai, bukannya bentuk kemasyarakatan yang lain, semata-mata karena ia lebih efektif untuk pencapaian tersebut. Sudah tentu pandangan mengutamakan efektivitas ini bersesuaian sepenuhnya dengan prinsip ‘al-ghayah wal wasa’il’  di atas.
Etika Sosial atau Sekularisasi?
Masalah yang timbul kemudian adalah pertanyaan berikut: haruskan ajaran-ajaran Islam diundangkan in toto  (secara keseluruhan) oleh negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlulah difahami terlebih dahulu hakikat ‘hukum agama’ itu dalah Islam menurut sejarahnya, tidak seluruh ajaran Islam diundangkan oleh negara. Sangat banyak aspek kehidupan yang masuk ke dalam kategori ‘hukum agama’, ternyata hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran warga masyarakat. Kenyataan inilah yang melandasi wawasan hukum agama sebagai fiqh (berarti faham, tahu, sadar). Walaupun ia bernama hukum agama, tidak seluruh kandungannya berupa hukum formal yang diundangkan oleh negara.
Kalau hal ini difahami dengan mendalam, jelaslah bahwa kita harus mempertimbangkan kebutuhan mengundangkan hukum agama hanya pada apa yang dapat diundangkan saja (wadh’ul ahkam fi halati imkaniyya wadhi’hi). Ajakan untuk mengundangkan hukum Isalm sebagai persyaratan diterimanya konsep negara bangsa, tanpa mempertimbangkan dengan mendalam keterbatasan masyarakat seperti itu untuk melakukannya, akan merupakan hambatan mendasar bagi pencapaian tujuan Islam sendiri.
Hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi masyarakat yang bernama negara. Pada hakikatnya, jika nilai-nilai luhur yang dibawakan Islam harus bertumpu pada kekuasaan negara, maka proses sekularisasi telah terjadi, karena institusi negara menjadi lebih kuat dari agama. Beragama Islam, yang artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah tujuan hidup yang luhur. Karenanya, haruslah dihindarkan agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara, melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat. Bukankah lalu menjadi terasa sangat dalam makna sabda Nabi Muhammad, “bahwasannya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. Kemudian akhlak hanyalah terasa logis disempurnakan, jika upaya itu diartikan pengembangan kesadaran mendalam dalam etika sosial dari sebuah masyarakat bangsa.
Tugas Islam adalah mengembangkan etika sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara maupun di luarnya. Fungsionalisasi etika sosial dapat saja terbentuk pengundangan melalui hukum formal, maupun ‘sekedar’ melalui penyadaran masyarakat akan pentingnya pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan nyata. Dari kesimpulan ini dapatlah diketahui, bahwa universalitas nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk yang digunakan.
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *