Pendidikan Quote Gus Dur
Kabar Pesantren

Tadabbur Jibal Santri Nihadlul Qulub: Menempa Jiwa Raga, Melangitkan Dzikir di Puncak Slamet

120
×

Tadabbur Jibal Santri Nihadlul Qulub: Menempa Jiwa Raga, Melangitkan Dzikir di Puncak Slamet

Sebarkan artikel ini
Tadabbur Jibal Santri Nihadul Qulub -Menempa Jiwa Raga, Melangitkan Dzikir di Puncak Slamet

P3M.or.id – Bagi enam santri Pesantren Nihadlul Qulub, Gunung Slamet bukanlah destinasi wisata. Ia adalah sebuah madrasah alam raya, sebuah kawah candradimuka yang sengaja mereka datangi untuk satu tujuan: menempa jiwa raga. Perjalanan mereka ke Puncak Surono bukanlah sekadar pendakian, melainkan sebuah riyadhah (latihan spiritual) yang menuntut ketahanan fisik sekaligus kekokohan iman.

Misi mereka dalam ekspedisi “Tadabbur Jibal” ini adalah mengubah lelah menjadi Lillah. Setiap langkah yang berat adalah cara menempa raga, dan setiap napas yang tersengal adalah kesempatan untuk menempa jiwa. Mereka datang untuk membuktikan bahwa pendidikan karakter terbaik seringkali lahir dari ujian terberat.

Tempaan Raga di Jalur yang Tak Kenal Ampun

Proses penempaan dimulai di Jalur Permadi, sebuah rute yang seolah dirancang untuk menguji batas ketahanan manusia. Kyai Ali Sobirin, sang pengasuh, sengaja memilih jalur ini. “Di sinilah raga benar-benar ditempa, dipaksa untuk tunduk pada kehendak jiwa yang lebih kuat,” ujarnya.

Selama berjam-jam, tubuh mereka dipaksa bekerja melampaui zona nyaman. Otot paha dan betis menjerit, paru-paru terasa terbakar, dan setiap tanjakan terasa seperti dinding vertikal yang tak berujung. Inilah tempaan raga yang sesungguhnya. Tubuh yang ringkih diajarkan tentang arti daya tahan, dan fisik yang lelah dipaksa untuk terus melangkah mengikuti kekuatan tekad. Ini adalah pelajaran pertama: untuk menguatkan jiwa, raga harus terlebih dahulu merasakan batas kemampuannya.

Tempaan Jiwa di Tengah Ujian dan Kepedulian

Justru di tengah tempaan raga yang paling berat itulah, proses penempaan jiwa dimulai. Saat malam yang dingin dan gelap menyelimuti jalur menuju puncak, kelelahan fisik mulai melunturkan ego. Di sinilah momen-momen paling berharga terjadi.

Ketika seorang santri terhenti karena kakinya tak lagi sanggup melangkah, santri lain tanpa ragu berjongkok dan memijatnya. Tidak ada keluhan, yang ada hanya uluran tangan. Di tengah ujian itu, jiwa mereka ditempa menjadi pribadi yang peduli, yang memahami bahwa kekuatan sejati sebuah tim terletak pada kemampuannya untuk mengangkat yang paling lemah.

Di saat yang sama, rasa sakit fisik menjadi jalan untuk menemukan kerendahan hati. “Di sini, saat kau merasa tak berdaya, kau akan sadar bahwa kekuatanmu bukan apa-apa,” ungkap Andar, santri asal Nabire. “Setiap detak jantung adalah bukti bahwa kita hidup atas belas kasihan Allah.” Jiwa mereka ditempa untuk melepaskan kesombongan dan menggantinya dengan kepasrahan.

Puncak Surono: Melangitkan Syukur dari Jiwa yang Tertempa

Akhirnya, Puncak Surono menyambut mereka bersama fajar. Di atas lautan awan, di ketinggian 3.428 mdpl, proses penempaan itu mencapai puncaknya. Tubuh yang lelah kini merasakan nikmatnya kemenangan, dan jiwa yang tertempa kini siap untuk bersyukur.

Di puncak keheningan itu, mereka menengadahkan tangan, melangitkan dzikir dan doa. Bukan lagi doa seorang musafir yang letih, melainkan doa dari jiwa-jiwa yang telah ditempa, yang telah merasakan langsung kebesaran dan pertolongan Tuhan dalam setiap langkah mereka. Mereka juga membentangkan Merah Putih, sebuah doa tanpa kata untuk keselamatan bangsa.

Para santri ini telah turun gunung, pulang dengan membawa oleh-oleh yang tak ternilai: jiwa dan raga yang telah tertempa. Mereka telah menemukan bahwa jalan terberat menuju puncak gunung, sesungguhnya adalah jalan terbaik untuk menemukan puncak kekuatan di dalam diri. (KAN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *