Isu boikot pajak memanas. Puncaknya ketika Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama pekan lalu, melalui Ketua Umum KH Said Aqil Siroj mewacanakannya ke publik dan segera disambar oleh hampir semua media nasional kita.
Tentu saja hal itu membikin gerah bahkan cemas sejumlah pihak, terutama jajaran petinggi negara yang bertanggung jawab langsung terhadap urusan pajak.
Kita tahu, wacana boikot pajak di negeri ini sudah menyeruak, baik di media sosial maupun di obrolan warung-warung kopi. Pasalnya, tidak lain karena semakin merajanya praktik korupsi dan kolusi yang terus menggerogoti jaringan saraf kekuasaan dan birokrasi di negeri ini, mulai dari pusat sampai di daerah, bahkan sampai ke pelosok pedesaan terpencil.
Di pihak lain, janji dan pekik reformasi untuk memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) justru sudah lama tak terdengar. Tak seorang pun dari kalangan pejabat dan politisi kita yang masih berminat melafazkannya. Padahal, di negeri yang penuh verbalisme ini, kebaikan yang selalu di khotbah kan pun hanya sedikit yang dijalankan, apalagi yang tidak lagi diperkatakan.
Dalam undang-undang kita, korupsi dinobatkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun, apa buktinya? Hukuman atas koruptor tidak lebih berat dari hukuman pencurian biasa. Alih-alih dapat hukuman tembak atau penjara setengah abad seperti dikenakan di beberapa negara, di negeri ini korupsi rata-rata hanya dipidana kurungan 3-4 tahun saja.
Sudah begitu, di dalam penjara koruptor dapat fasilitas VIP luar biasa. Keluar penjara disambut para petinggi dan tokoh masyarakat, layaknya pejuang yang baru kembali dari pengasingan. Pada saat yang sama, uang miliaran rupiah hasil korupsinya tetap utuh, jadi jaminan hidup mewah sekeluarga, sampai anak cucu.
Tiga opsi
Semua kita tahu, obyek korupsi tidak lain adalah uang pajak yang diperas dari keringat rakyat, dan atau dari kekayaan alam yang juga adalah milik segenap rakyat. Atau jika sebagian dari utang, akhirnya harus dibayar juga dengan pajak rakyat. Maka, apa yang janggal kalau muncul ultimatum untuk boikot pajak?
Sesungguhnya di forum Munas NU berbagai opsi telah ditelaah secara saksama. Opsi pertama, biarkan saja keadaan berjalan seperti apa adanya: rakyat terus dikejar pajaknya dengan berbagai cara, termasuk dengan ancaman pidana. Apakah mereka membayar dengan keterpaksaan dan umpatan, tidaklah penting.
Pajak yang dibayarkan dengan suasana kebatinan seperti ini pada dasarnya tidak ada bedanya dengan pemalakan. Dalam pandangan agama atau moral apa pun, kehalalan dan keberkatan uang seperti ini sangat diragukan, bahkan disangkal.
Tak mengherankan apabila di seputar uang pajak muncul praktik-praktik yang secara moral pun bermasalah. Sebutlah kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak. Pajak yang seharusnya 100 persen masuk kas negara akhirnya hanya separuhnya; sisanya ditilap berdua. Fenomena seperti Gayus Tambunan sekadar contoh kecil yang terkuak.
Setelah pajak masuk ke kas negara, dalam proses pembelanjaannya pun terjadi penyelewengan yang tidak kalah serius. Ia dikorup sejak dari tahap perencanaan anggaran sampai dengan tahap eksekusinya di lapangan. Merasa tidak sendirian, para koruptor umumnya tetap tampil tenang, tebar senyum ke kanan dan kiri, penuh percaya diri.
Bertolak dari ujaran pajak adalah hak dan kepunyaan negara, orang-orang yang punya legalitas bertindak atas nama negara pun merasa berhak menggunakan uang itu sesuka hatinya. Angka 60 persen lebih anggaran negara habis untuk biaya rutin adalah salah satu bukti. Belum lagi yang dijarah dari anggaran pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Sementara hanya sekitar 10 persen saja yang sampai ke rakyat, itulah sekadar obat penawar agar mereka tak sampai membuat huru-hara.
Jengkel melihat fenomena kemungkaran yang telah dipandang jamak lumrah inilah maka apa yang aneh apabila kemudian muncul opsi kedua: boikot pajak!
Pilihan boikot pajak sama sekali bukan barang baru. Sejak zaman baheula pada era feodal raja-raja di berbagai belahan bumi, aksi serupa sering terjadi. Revolusi sosial menyeluruh, di Barat maupun Timur, yang melahirkan negara demokrasi-modern menggantikan pola kekuasaan feodal nan korup pun terlahir dari aksi politik yang bertumpu pada gerakan boikot pajak.
Tak pelak lagi boikot pajak adalah cara sangat efektif menekan kekuasaan, terutama jika dilakukan serentak oleh segenap rakyat pembayar pajak. Tidak usah boikot itu dilakukan oleh semua wajib pajak, 30 persen saja terutama para wajib pajak besar, maka denyut nadi dan mesin negara bisa berhenti, dan chaos serta gelombang anarkis tak bisa dihindari.
Pertanyaannya, seberapa serius para kiai NU mempertimbangkan opsi boikot pajak ini? Boleh dicatat, di kalangan ulama pesantren ada adagium yang mengatakan: sittuna sanatan tahta imamin jaair khairum minal faudla/enam puluh tahun di bawah pemerintahan otoriter, masih lebih lumayan dibanding membiarkan negara terjerembab dalam anarkisme total.
Oleh sebab itu, bisa ditebak bahwa opsi boikot pajak secara massal dan menyeluruh tak pernah menjadi opsi yang secara sadar akan diambil oleh siapa pun, termasuk oleh kiai-kiai yang sehari-hari hidup bersama dan di tengah-tengah rakyat jelata yang sangat rentan dengan guncangan.
Maka, yang dituntut oleh kiai-kiai NU kiranya cukup jelas, sesuatu yang sangat masuk akal dan ada dalam kemampuan kita semua, terutama para pejabat negara, yakni opsi ketiga: kelolalah uang pajak yang dipungut dari keringat rakyat dan dari bumi Nusantara anugerah Allah untuk kepentingan segenap rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab.
Para pejabat negara dan aparat pemerintah harus menyadari, mereka bukanlah pemilik uang pajak itu, yang boleh mereka pakai sesuka hati. Dalam bahasa para kiai, para pejabat hanyalah amil (panitia, pemegang amanat). Mereka hanyalah pihak yang diberi kewenangan memungut dan mengelolanya, yang untuk itu mereka berhak mendapatkan bagian (1/8 atau 12,5 persen) dari pajak yang terkumpul. Sementara sasaran utama dari penggunaan pajak adalah untuk kemaslahatan rakyat secara keseluruhan, terutama pemberdayaan kaum fakir-miskin dan kaum duafa lain, tanpa membeda-bedakan agama atau warna kulitnya.
Berubahlah segera!
Perubahan ini harus segera, jangan lagi ditunda-tunda. Para pejabat negara dan segenap pemegang amanat rakyat, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat paling bawah, harus bergegas menunjukkan komitmen dan aksi nyata. Berperilakulah sebagai pelayan rakyat sekaligus pelayan Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang!
Jika tidak, jika masih ditunda-tunda, tidak ada satu kekuatan pun, termasuk NU, dapat menganulir fatwa dan aksi Sang Rakyat untuk melakukan apa yang mereka ingin lakukan, dengan harga risiko yang pasti bisa sangat mahal harganya.
Semoga Allah SWT segera membimbing kita semua bangsa Indonesia, terutama para pemimpin dan pejabatnya, ke arah yang diridai rakyat dan Dia Yang Mahakuasa, secepatnya!
Masdar Farid Mas’udi Rois
Syuriah PBNU; Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia