Opini

Beberapa Catatan Hukum Memilukan di Negeri Ini

41
×

Beberapa Catatan Hukum Memilukan di Negeri Ini

Sebarkan artikel ini
Nanar pandangan membaca berita yang tampil di internet. Konon, Ketua KPK yang baru, Abraham Samad, sempat berang, bahkan memukul meja hingga pecah, ketika Muqodash dan Bambang Wijoyanto, para Ketua KPK yang lain, menyarankan penundaan perintah penangkapan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta Menpora, Andi Malarangeng. Mereka tak bersedia menandatangani surat perintah penangkapan tersebut. 
Berita sedemikian barang tentu menyebar dengan sangat luas dan sangat cepat. Melalui berbagai media. Belakangan Abraham Samad membantah berita tersebut. ‘Kami mengambil keputusan secara kolegial. Di KPK kami bekerja tak hanya sekedar seperti sahabat, tapi kompak bagaikan bersaudara’. 
image: kompas forum
Tak urung bantahan ini tak mengeliminir merebaknya berita tersebut. Beberapa anggota DPR yang menerima SMS atau BBM yang tak diragukan validitas informasinya, juga menegaskan kebenaran berita tersebut. Lalu, siapa yang benar – Entahlah. Kasus lain. Ketika berita tentang pembunuhan massal orang hutan di Kalimantan tampil ke permukaan, Gubernur setempat dengan enteng menyatakan bahwa ia belum terima laporan. Begitu pula di awal mencuatnya berita ambruknya jembatan Kutai Kartanegara (KUKAR), gubernur yang sama juga berujar, belum terima laporan. 
Pak Gubernur mungkin lupa bahwa teknologi jurnalisme sekarang ini sudah semakin canggih. Untung kedua peristiwa di Kalimantan itu jelas ada gambarnya dan videonya. Sehingga sulit disanggah. Berita lain yang menurut penulis juga cukup memilukan adalah tentang pembunuhan Mesuji. Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji menemukan bukti rekayasa laporan penembakan Made Asta, 40 tahun, warga Pelita Jaya, Register 45, Mesuji, Lampung. 
‘Di register 45 ada video yang berbeda’, kata Ketua Tim, Denny Indrayana yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM itu. Dalam video berdurasi sekitar enam menit itu, menurut Denny, terlihat Made tak membawa parang ketika ditembak. Tim terpadu penertiban, yang berisi unsur kepolisian, pasukan pengamanan perusahaan dan polisi hutan terekam meletakkan parang ke tangan Made yang sekarat. Polisi mengaku terpaksa menembak Made karena ia hendak membacok petugas. Namun, dalam rekaman video yang dimiliki Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, terlihat Made ditembak tanpa parang di tangan. Cuplikan video tersebut, di menit 04.15, Made Asta bersimbah darah di bagian pantat. Tak ada parang di tangannya. Menit 05.21, sebilah parang panjang sudah berada di genggaman tangan kanan Made yang terkulai. Berikutnya, menit 05.44, sarung parang sudah terselip di tubuh Made. Sarung itu terlihat lebih pendek ketimbang parangnya. Menit 05.55, Pemimpin tim terpadu, Ajun Komisaris Besar Priyo Wira Nugraha, menelepon seseorang via telepon seluler. ‘Ya, gimana Bang, saya mau dibacok!’. Lalu? Entahlah. 
Konon Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan segera bertindak. Pihak polisipun melalui Kapolri, berjanji untuk memproses fakta tersebut. Cuma yang muncul dalam pikiran, jangan-jangan desas-desus yang menyebutkan bahwa manakala penjahat hendak ditembak, disuruh lari dulu, baru ditembak. Laporannya, terpaksa ditembak karena penjahat hendak melarikan diri. Atau, melawan ketika hendak ditangkap. Oh! 
Inu Kencana dan Gayus Tambunan
Masa peralihan antar semester, menyebabkan penulis mempunyai banyak waktu luang untuk membaca buku. Ada buku Dhuroruddin Mashad, dengan pengantar Eep Saefulloh Fatah, yang berjudul ‘Akar Konflik Politik Islam di Indonesia’ (2008), kemudian buku Adian Husaini yang berjudul ‘Membendung Arus Liberalisme di Indonesia (2009). Namun yang lebih menarik, justru buku yang lebih lama, ditulis oleh Inu Kencana Syafii, yang berjudul ‘IPDN Undercover, Sebuah Kesaksian Bernurani’ (2007) dan satu buku lagi yang relative baru, ditulis oleh Heri Prabowo, bertajuk ‘Catatan Harian Seorang Mafia Pajak’ (2010). 
Sebagaimana semua orang tahu, kasus IPDN mencuat ketika SCTV berhasil menayangkan penganiayaan yang luar biasa, dengan akibat beberapa orang praja (mahasiswa) tewas. Ternyata di lembaga pendidikan tinggi kepamongprajaan ini terjadi aneka kejahatan, tak hanya kebrutalan, tapi juga korupsi, suap-menyuap, narkoba, bahkan perselingkuhan bersistem. Repotnya, aneka kejahatan ini ternyata melibatkan sangat banyak personil pimpinan, dosen, mahasiswa senior dan lain-lain. 
Tak hanya SCTV yang menayangkan penganiayaan tak berperikemanusiaan itu, tapi seluruh televisi di Indonesia. Bahkan kemudian juga CNN Amerika dan BBC London. Bahkan mungkin juga televisi asing lainnya. Banyak alasan dikemukakan sebagai dalih untuk menghindarkan tuduhan penganiayaan di STPDN tersebut.
Meninggalnya Cliff Muntu, Wahyu Hidayat ataupun pengguguran kandungan Utari, dikemukakan dengan berbagai alasan sebagai rangkaian kebohongan. Pertanyaannya apakah kasus ini benar-benar dituntaskan penanganannya – Jangan-jangan seperti dulu, kasus Wahyu dibongkar setelah dibunuh tahun 2003, ternyata kemudian terjadi lagi tahun 2007 dengan kasus Cliff Muntu. Lama-lama kasus sedemikian dianggap biasa… 
Inu Kencana Syafii berjasa bagi lembaganya – Ternyata tidak. Ia dibenci oleh koleganya sendiri. Diancam akan dibunuh berikut keluarganya, sehingga memerlukan perlindungan polisi. Kasus itu sendiri belum sepenuhnya terbuka dengan segenap perlakuan dan penindakan hukumnya, meski telah berlangsung hampir sepuluh tahun yang lalu. 
Kini Mindo Rosalina Manullang yang membutuhkan perlindungan. Bahkan sampai bersidang dengan mengenakan rompi anti peluru. Ancaman pembunuhan sedemikian memang tak boleh diabaikan. Ingat Hakim Agung Syahruddin – Begitu menjatuhkan hukuman pada Tommy, ia harus tewas ditembak oleh suruhan Tommy. Masih ingat Gayus Tambunan – Dua tahun lalu nama ini memenuhi kolom-kolom surat kabar. Menghiasi layar-layar kaca televisi, bahkan juga menjadi ejekan dalam penyamarannya. Ada yang mencaci, tapi jangan heran, ada pula yang memuji. Bagi yang mencaci, bahkan mengutuk habis, betapa seorang petugas kantor pajak mampu korupsi sampai milyaran rupiah. Bahkan meski sudah ditangkap dan berada dalam tahanan, ia masih bisa memperlihatkan kesaktiannya. Dengan menyuap petugas yang menjaganya, ia bisa jalan-jalan ke Bali, bahkan ke luar negeri. Akibatnya, justru para petugas itulah – yang mungkin terima uang suap tak seberapa – harus meringkuk di penjara. Ia juga berhasil menyogok hakim yang kemudian menggunakan uang sogokan itu untuk pergi umroh. Masya Allah! 
Bagi yang memuji, mereka merasa kagum akan kemampuan Gayus Tambunan yang meskipun masih berpangkat relative rendah, ternyata mampu memanfaatkan lahan basah di lembaga dan atau institusinya. Masalahnya, apakah Gayus hanya sendirian – Apakah hanya Gayus yang punya perilaku sedemikian – Ternyata tidak. Mungkin Gayus termasuk sial karena menjadi tumbal. Sementara banyak orang lain yang berbuat seperti yang dilakukannya, terkesan aman-aman saja. 
Kini, kasus Nazaruddin berganti naik panggung pemberitaan. Celoteh dan nyanyiannya serasa menahan napas banyak orang. Ditambah dengan kasus Nunun berkaitan dengan masalah cek pelawat. Sementara Miranda Swaray Goeltom, baru saja dinyatakan sebagai tersangka. Yang terima duit sudah mendekam di penjara. Termasuk Panda Nababan yang tempo hari merasa dizalimi dalam kasus ini. 
Dalam buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak, ternyata korupsi di lembaga tersebut memang sudah menjadi ‘sistem’. Terkesan sulit mengelak, namun ketika sudah merasakannya, sulit pula menghindar. Yang penting, bagaimana berusaha menyembunyikan hasil korupsi tidak terlalu mencolok sehingga tidak menarik perhatian penegak hukum atau KPK. Membaca halaman demi halaman hanya menambah geram pembacanya. Perbuatan Gayus memang sudah lazim terjadi. Lalu, kapan mereka akan mendapatkan gilirannya – 
UIZSU, PSSI dan Pujakesuma
Universitas tertua di Sumatera Utara UISU, lebih tua dari pada USU, sejak lama berada dalam situasi konflik. Penulis yang pernah bertugas di universitas tersebut selama dua belas tahun (1980-1992) harus menyaksikan sendiri serangkaian pertikaian yang tak pernah usai. Intrik, intimidasi, fitnah, berbagai isu mengabaikan amanah umat. Baik oleh karena perebutan kekuasaan pengelolaan fakultas dan universitas, maupun persoalan dana maupun wakaf yang diterima dari pihak lain. Pertikaian bahkan sampai ke ranah hukum, meskipun ternyata tak juga menyelesaikan masalah. Akibatnya, kini malah benar-benar berpisah. Satu nama yang dijalankan oleh dua lembaga yang terus menerus berseteru. Sekaligus menyebabkan proses belajar-mengajar terganggu, status dosen dan pimpinan fakultas/universitas menjadi tak jelas. 
Tak ada lembaga yang mampu – baik di pusat maupun di daerah – dan sanggup merukunkan apalagi menyatukan kembali mereka yang terpisah tersebut. Kepentingan kelompok, kepentingan pribadi, terkesan lebih menonjol ketimbang kepentingan lembaga. Siapa yang benar – Walahualam bissawab. 
Lain masalah, juga menjadi perhatian masyarakat. Masalah PSSI. Kelihatannya tak usai meski Ketua Umum yang baru, Prof. Djohar Arifin Hussein diharapkan akan dapat menyelesaikan masalah. Kelompok yang terpisah dari kebijakan Djohar, bahkan merencanakan Kongres Luar Biasa. 
Sementara di lapangan, permainan sepakbola dimana-mana selalu diganggu oleh berbagai kericuhan. Dalam sebuah rapat orang-orang Jawa saya mengutarakan bahwa orang Jawa memang sulit dipersatukan. Apalagi sepanjang masih ada kepentingan pribadi, ambisi jabatan, politik, ataupun proyek. 
Sebagai ilustrasi, saya kemukakan bahwa di kala kehidupan Badan Koordinasi Kesenian Jawa (BKKJ) dibawah pimpinan Haji Mas Soekardi yang kebetulan menjabat Ketua DPRD, banyak yang ingin mendekat. Penulis berikut mas Sugeng KS (alm) dan mas Djatiutomo (alm), dipercaya untuk ikut memperkuat kepengurusan BKKJ Medan. Rupanya posisi ini tak sejalan dengan pengurus lain yang punya ambisi politik. Sementara kami bertiga hanya urusan budaya. Akhirnya kami bertiga dipecat. 
Ketika penulis mengutarakan fakta itu tentu banyak yang protes. Nyatanya, waktu Brigjen Mudyono (alm) bersaing dengan Raja Inal Siregar (alm), dalam kondisi mayoritas pemilih orang Jawa, pak Mudyono tak menang. Kini, Pujakesuma, kumpulannya orang Jawa, juga mengalami nasib serupa. Ada yang dipimpin Komjen Oegroseno, ada yang dipimpin Sutarman. Tapi kedua kelompok ini Pujakesuma juga namanya. Seperti lakon wayang. ‘Pandawa Kembar’. Tinggal kita tunggu saja mana yang akan ‘badar’ (berubah kembali pada warna aslinya). *** 
Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, SH, Penulis adalah budayawan dan Guru Besar UMSU Medan.
sumber: harian analisa

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *